Mohon tunggu...
kartika putri
kartika putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

-

Selanjutnya

Tutup

Financial

Analisis Kenaikan PPN dari 11 Persen Menjadi 12 Persen pada Januari 2025: Dasar Kebijakan, Dampak Ekonomi, dan Dampak Sosial

8 Januari 2025   23:34 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:40 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Pada Januari 2025, Indonesia akan menyaksikan penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Keputusan ini dipastikan langsung langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR pada Rabu (13/11), Menkeu menjelaskan, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong, prinsip ini juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian. Kenaikan ini diharapkan dapat memperkuat stabilitas fiskal dan mengurangi ketergantungan terhadap pinjaman asing, namun juga menimbulkan pro kontra dari berbagai sektor masyarakat dan pelaku ekonomi.

Dasar Kebijakan

Dasar kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, Menjaga keadilan dalam sistem perpajakan, Mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, Memperkuat stabilitas ekonomi. 

Terkait barang mewah, Pemerintah telah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen. Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada regulasi pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor. Pemerintah juga telah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu atau yang disebut oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

Analisis Dampak Ekonomi

Kenaikan tarif PPN diperkirakan akan menghasilkan penerimaan tambahan yang signifikan, yang dapat membantu dalam mendanai defisit anggaran pemerintah. Namun, dampak langsungnya terhadap konsumen sendiri adalah peningkatan harga barang dan jasa yang dapat memicu inflasi. Sebagai tanggapan, Bank Indonesia mungkin harus menyesuaikan kebijakan moneter untuk menstabilkan nilai tukar dan tingkat inflasi.

Di sisi lain, Dr. Haris Munandar, seorang ekonom senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, menunjukkan bahwa "Meskipun inflasi jangka pendek mungkin terjadi, efek stabilisasi dari kebijakan fiskal yang lebih sehat akan bermanfaat dalam jangka menengah dan panjang."

Tanggapan Sektor Usaha

Pernyataan dari Kamar Dagang dan Industri (KADIN) menyebutkan, "Kami memahami kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan, namun sangat penting untuk menjaga keseimbangan sehingga tidak menghambat pertumbuhan sektor usaha yang sedang berjuang pulih dari dampak pandemi."

Untuk itu, Ketua Umum KADIN Anindya Novyan Bakrie, dapat memahami kebijakan pemerintah yang bakal menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diiringi dengan kebijakan stimulus ekonomi (insentif) bagi masyarakat menengah kebawah yang berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang. 

Respon Masyarakat dan Kebijakan Sosial

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun