Hari ini tepat 10 tahun aku bekerja dan mendapat promosi menjadi kepala editor di kantor pusat yang berada di New York, Amerika Serikat.Â
Sebelum resmi pindah kerja 6 bulan lagi ke New York, bulan depan aku harus mengikuti pelatihan selama 2 minggu di New York.Â
Saat aku sedang bersiap mengurus bahan presentasi untuk ke New York, Dean-kepala biro Jakarta memintaku secara mendadak untuk mengantinya menghadiri rapat kinerja seluruh kantor cabang di Asia yang tahun ini digelar di Tokyo, Jepang.
"Bintang, minta tolong besok bawa paspormu dan kasih ke Meti untuk mengurus visa. Hari Minggu sore, kamu harus terbang ke Tokyo,"kata Dean dengan membawa berkas yang sudah dibuatnya.
Meti, sekretaris kantor punya waktu 3 hari kerja untuk mengurus visaku.
Rapat itu hanya berlangsung 2 hari dan sangat padat. Aku karena tidak punya waktu untuk bertemu Shotaro dan paman maka, tidak memberitahu mereka kedatanganku ini.
Rapat berlangsung sangat lancar. Rabu pagi jam 10:00, aku kembali ke Jakarta dengan mengunakan pesawat Garuda Indonesia.Â
Meti memesan kursi untukku di baris paling depan dan hanya berisi 2 orang. Menjelang pesawat mau terbang, kursi di sebelahku yang dekat jendela masih kosong. Tas kerja yang ada di pangkuan, kutaruh ke atas kursi kosong itu karena mengira tidak ada penumpang. Setelah itu tidur. Mata kututup dan mendadak dari kursi baris sebelah kiri terdengar keributan.
Pramugari bergegas mendekati pria Jepang yang mengoceh tidak jelas sambil mengipas kartu boarding pass.
Tak lama pramugari segera meminta seorang bapak paruh baya untuk berdiri dari bangku tengah dan pindah ke kursi di sampingku.Â
Keributan itu membuat kantukku hilang. Setelah pesawat lepas landas, aku memutuskan untuk mengisi kartu bea cukai. Kuperhatikan pria di sebelahku sekali-kali menengok ke arah kertas yang kuisi sambil bolak-balik paspor warna hijau berlogo Burung Garuda.