Setahun kemudian, Bulan lulus dengan nilai cum laude dan mendapat pekerjaan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Luar Negeri.
"Dari politikus menjadi diplomat," godaku ketika Bulan memberitahu telah lulus seleksi.Â
"He,he,he! Mimpiku masih sama, mbak," jawabnya dengan menyengir lebar.
"Bulaaan!! Mbak, bangga padamu," lanjutku dengan memeluk dirinya.
Bude setiap pagi selalu bangun jam 5 pagi untuk menyiapkan sarapan dan bekal kami berdua.
"Bintang! Bulan! Cepat bangun mandi sarapan!" teriaknya dari dapur setiap kami belum terlihat bangun di jam 05:30.
Kehadiran bude di rumah ini sungguh membantu kehidupan kami berdua.Â
"Lan, bangun. Ini hari pertama kamu kerja," panggilku dengan menarik selimutnya.
Jam 06:30, kami bergegas lari kecil menuju stasiun.Â
Bulan saat sedang makan malam setelah 3 bulan bekerja dengan seru cerita tentang senior di kantor bernama Rangga.
"Mas Rangga itu selalu membantuku. Dia lulusan jurusan hubungan internasional dari universitas Padjajaran di Bandung dan sudah 4 tahun bekerja di kemenlu," katanya.
"Sabtu ini di kantor ada acara dan dia mengajakku untuk ikut misa sore di katedral setelah pulang kantor. Dia juga katolik," lanjutnya.
"Ooh, intinya kamu mau minta ijin buat jalan dengan mas Rangga hari Sabtu ini?" godaku.
Bulan tertawa terkekeh-kekeh. Bude dan aku tertawa melihat tingkahnya.
Di dalam hati kecilku muncul perasaan bahwa adikku yang manja ini sepertinya sebentar lagi akan pergi meninggalkan keluarga ini dan membentuk keluarga sendiri.
Waktu berlalu dan memasuki bulan Desember. Bulan di hari Sabtu pagi yang cerah saat sedang makan pagi bertanya padaku dengan wajah cemas, "Mbak. Apa mbak marah kalau aku menikah duluan?"Â
"Tidak," jawabku santai.Â
"Kamu kenapa tanya seperti itu? Apa ada yang melamarmu?" tanya bude.
Bulan menganggukan kepala.Â
"Mas Rangga, kemarin saat makan malam bertanya apa aku mau menikah dengannya. Aku bingung harus menjawab apa karena selama ini kita hanya berteman dan tidak pernah membahas soal keluarga."
Rangga adalah anak tertua dari 3 bersaudara, laki-laki semua. Ayahnya pejabat eselon 1 di departemen keuangan. Ibunya hanya ibu rumah tangga dan menderita stroke sejak 12 tahun yang lalu.
Adik no.2 hanya beda 2 tahun tetapi yang terkecil beda 10 tahun. Saat Rangga berusia 17 tahun, ibu jatuh sakit terkena stroke hingga membuat tubuh bagian kiri lumpuh total. Sejak itu sebagai anak tertua, dia yang mengurus kedua adik. Hubungan dia dengan adik terkecil sangat erat.Â
Kondisi kesehatan ibu walau masih sulit berjalan sendiri sudah membaik dan sudah bisa berbicara walau tidak jelas.
Bulan kemarin dilamar dengan catatan diminta untuk mempertimbangkan kondisi keluarga dia. Selama ini adik terkecil yang paling sering di rumah merawat ibu saat ayah dan kedua kakak bekerja. Rangga sangat sayang adik terkecilnya.
"Posisiku di kantor semakin tinggi dan nanti dipindah kerja keluar negeri. Sebelum pindah kerja keluar negeri, aku mau menikah terlebih dahulu," kata Bulan menirukan perkataan Rangga kemarin.
"Kalau aku mau menikah dengannya, nanti dia akan bawa seluruh keluarga saat natal ini berkunjung ke Semarang untuk memintaku secara resmi" lanjutnya.
"Lebih baik kamu telepon ibu tanya pendapat mau tidak punya menantu seperti Rangga. Mbak tidak masalah dengan kondisi keluarganya," jawabku dengan santai.
Ibu setelah diskusi dengan ayah dan eyang mengatakan menerima kondisi keluarga Rangga. "Yang terpenting itu Rangga. Dari ceritamu, ibu yakin dia anak yang sopan, tahu diri, taat dan bertanggung jawab. Mendapatkan pria seperti itu sungguh sulit," kata ibu.
Lamaran Rangga diterima Bulan. Tanggal 24 Desember, Rangga sekeluarga datang dan menginap 4 hari 3 malam di Semarang. Aku dan bude juga datang ke Semarang. Tanggal pernikahan diputuskan tahun depan tanggal 26 Desember.Â
Bulan selama setahun bertunangan dengan Rangga.
Januari awal tahun 2003, di hari Sabtu pagi yang cerah aku mengeluarkan kartu undangan dari dalam kotak pos.
Kartu undangan pernikahan dari Kang Xi Ka yang diadakan bersamaan hari lahirnya di tanggal 15 Mei tahun ini.
6 tahun setelah kami berpisah, Kang Xi Ka yang pertama menikah dari antara kami berlima. Calon suami adalah Mao Hui, sahabat karib dari bangku sekolah. Impian Kang Xi Ka untuk memiliki 3 anak bisa terwujud.Â
Berita pernikahan ini sudah kuketahui sejak akhir tahun lalu saat Kang Xi Ka mengabari lewat surat elektronik bahwa dia telah dilamar dan menentukan tanggal pernikahan di 15 Mei.
Amplop kartu undangan kubuka dengan hati-hati.
Maret pertengahan, Cahaya setelah 13 tahun di Amerika Serikat pulang ke Indonesia untuk liburan sebulan. Aku menawarkan Cahaya untuk menginap 3 hari 2 malam di rumahku sebelum lanjut ke KotaBaru.
Pesawat yang dinaiki Cahaya mendarat Sabtu pagi jam 04:00 di bandara Soekarno Hatta. Aku pergi sendiri menjemput ke bandara.
"Cahaya! Sini!!" teriakku sambil melambaikan tangan.
Cahaya tumbuh tinggi dan langsing. Kulitnya terlihat makin putih.
Cahaya bergegas cari jalan keluar dari kerumuman untuk menemui aku.
"Bintang!!" serunya lalu berhambur lari untuk memelukku.Â
"Senang sekali bisa bertemu kamu lagi," kataku sambil memeluk erat dirinya dan mengusap air mata bahagia yang menetes.
Sepanjang jalan menuju rumah, kami berdua tidak berhenti mengobrol.Â
"Koko Cahayaaaaa!" teriak Bulan dari dalam rumah ketika mendengar bunyi taksi yang kami tumpangi berhenti.
Bude dengan tersenyum berjalan mengikuti langkah Bulan yang terburu-buru berlari untuk buka pintu gerbang.
Mereka berdua langsung berpelukkan erat. Cahaya setelah lepas dari pelukkan, menyapa dan mencium punggung tangan bude.Â
"Kamar koko sudah kurapikan di atas," kata Bulan dengan riang ceria.
Cahaya ada membawa 2 koper. Satu besar dan kecil. Koper besar ditinggal di ruang tengah dan koper kecil dibawa naik ke atas.
Aku dan Bulan mengantar hingga ke depan pintu kamar lalu meninggalkan dia sendirian untuk bersih-bersih dan istirahat.
Cahaya memutuskan untuk pindah kewarganegaraan demi pekerjaan yang sekarang dijalankan dan mengapai impian menjadi presiden Amerika Serikat.
Tahun depan, dia sambil bekerja akan meneruskan pendidikan untuk meraih gelar LL.M di universitas New York lagi.
Setelah selesai makan siang, Cahaya kuajak mengunjungi kelas Anak Maju. Siang ini Bulan harus mengajar kelas belajar berhitung. Cahaya dengan penuh antusias ikut membantu Bulan mengajar dan setelah itu bercerita membagi pengalaman kuliah dengan beasiswa di Amerika Serikat lalu bekerja menjadi pengacara.
Minggu pagi jam 07:00 setelah sarapan, aku dan Bulan menemani dia jalan keliling kota Jakarta dengan naik kereta, bis dan bajaj. Sebelum pulang, kami bertiga misa sore di gereja katedral.
Bude sejak kemarin sengaja memasak menu yang spesial untuk Cahaya. Kemarin ada iga bakar pedas dan bakso sapi kuah. Hari ini menu makan malam adalah sop buntut.
Semua makan dengan sangat lahap hingga tidak tersisa.
Senin pagi jam 07:00; aku menemani Cahaya pergi ke bandara Halim lalu, berangkat kerja. Jauh hari, aku sudah mengajukan ijin telat masuk kantor.
"Sampaikan salamku untuk semua keluarga dan teman di KotaBaru," pintaku. "Entah kapan aku bisa ada waktu main ke sana," lanjutku lalu berpelukkan erat dengannya dan berpisah lagi.
Malam hari saat sedang makan malam bertiga di rumah.
"Mbak, aku mau tanya..." Bulan berhenti sebentar untuk tarik nafas.Â
"Apa mbak masih memimpikan jadi istri Cahaya?" tanyanya dengan hati-hati.
"Iya, masih!" jawabku santai.
Bulan dan bude saling bertatapan.
"Bintang, semoga mimpimu jadi kenyataan dan segera menyusul Bulan," kata bude.
-bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H