Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 33

30 April 2022   10:56 Diperbarui: 30 April 2022   10:59 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Besok pagi dini hari jam 02:00, mereka berangkat naik bis dari terminal Kampung Rambutan menuju Banyuwangi. Jam 00:30, taksi yang bude pesan sudah sampai di depan pagar. Aku sudah bangun untuk bantu masak menyiapkan bekal buka puasa dan mengantar hingga pagar rumah.

"Bude, bekal untuk sahur dan buka puasa untuk di bis sudah aku suruh Wiwi masukkan ke dalam tas ransel dia," kataku sambil berjalan dengan membawa tas berisi 2 termos teh hangat manis ke arah taksi.

Bude yang mau masuk kamar mandi, mengangguk dan menjawab, "iya, terima kasih".

 "Wi, termos ini panas. Bawanya jangan miring, nanti tumpah," pesanku ke Wiwi yang sudah duduk di dalam taksi. 

Wiwi mengambil cuti sebanyak 10 hari. Sehari sebelum pulang Singapura, dia akan menginap lagi semalam di sini.

Bulan sejak 5 hari yang lalu pulang Semarang untuk menghabiskan waktu libur semester selama 3 minggu lebih. Nanti setelah masuk semester baru, dia mulai membuat skripsi.

Aku yang hanya mendapat libur di tanggal merah, memutuskan untuk tinggal di rumah. 

Rumah langsung terasa sepi begitu taksi berjalan keluar gang dan menghilang dari pandangan mataku. Makanan yang telah masak kumasukkan sedikit ke dalam kotak makan siang. Pagi ini aku tidak ada nafsu untuk sarapan. Selesai mengemas tas bekal, aku kembali tidur dan terbangun di jam 06:15.

Di dalam bis terjadi percakapan antara bude dan Wiwi. 

23 tahun yang lalu di siang hari yang terik, bude yang baru sebulan berusia 15 tahun memutuskan untuk kabur dari rumah suami, juragan Bono dengan membawa satu amplop penuh berisi uang hasil mencuri dari dalam laci ruang kerja suami, dompet berisi uang 200 ribu, dan kalung serta cincin di tubuh.

Bude berlari kencang menuju rumah orang tua untuk pamit mau kabur meninggalkan Banyuwangi untuk selamanya.

Orang tua bude hanya buruh tani harian dan memiliki 12 anak. 4 anak meninggal dunia karena sakit. Anak yang tertua dan no.4 perempuan sudah menikah. Sisa 5 anak laki dan bude yang terakhir. 

Warna kulit kuning langsat, paras ayu nan jelita dan kecerdasan yang dimilikinya bude menjadikannya pusat perhatian sekampung terutama, si juragan beras - juragan Bono yang turun menurun memiliki sawah dan ladang ratus hektar di banyak daerah.

Suatu hari kaki ayah bude terputus kena gilas traktor mesin panen padi yang mendadak jalan setelah diperbaiki karena macet.

Juragan Bono mau membiayai seluruh biaya pengobatan hingga sembuh. Tetapi, dengan syarat diperbolehkan menikahi bude. Orang tua bude menolak keras dan ayah memilih mati. Bude yang tidak tega melihat penderitaan ayah, merelakan diri untuk dinikahi tetapi dengan syarat menikah setelah ayah sembuh.

Juragan Bono setuju. Ayah bude marah besar dengan keputus sang anak tapi, bude menjawab, "Ayah jangan khawatir. Setelah ayah sembuh dan aku menikah, nanti aku akan cari cara untuk kabur dari rumah juragan Bono. Yang terpenting sekarang adalah menerima kesempatan untuk ayah hidup sehat lagi".

Seluruh keluarga besar bude tidak ada yang datang saat acara pernikahan digelar. Bude bertahan selama sebulan. Lalu, dengan tekad bulat kabur di siang hari bolong setelah suami pamit ke para istri dan anak mau pergi ke Surabaya untuk bertemu rekan bisnis selama 5 hari.

"Ayah, ibu, tolong ambil uang ini. Aku tidak tahu ada berapa tapi, ini bisa jadi pegangan hidup bila juragan Bono setelah aku pergi membuat onar," pinta bude dengan menangis. Di rumah yang merupakan gubuk reyot saat itu hanya ada kedua orang tua dan kakak perempuan paling tua sedang mampir mengantar makanan.

Berempat menangis keras dan berpelukkan erat. Sejak itu bude dan kakak tertua saling memberi kabar lewat surat. Setiap bulan saat di Semarang, bude pasti mengirim uang hasil jualan kue ke kakak tertua untuk dikasih ke orang tua. Dan, kebiasaan itu berlanjut hingga kerja di Singapura sampai sekarang.

"Bapakmu dan bunda sekitar 5 tahun yang lalu tanpa sengaja bertemu di Singapura. Bunda sedang menemani nyonya besar belanja di Orchard Road..." Bunda berhenti bicara untuk menghapus air mata.

"Saat itu dia sedang berjalan sambil memeluk seorang gadis muda," lanjutnya dengan nada bergetar marah. "Saat mata kami tidak sengaja bertemu, sepertinya dia mengenali bunda karena terus menatap bunda tidak memperdulikan gadis muda yang merayu genit di pelukkan."

Wiwi menarik nafas panjang dalam-dalam setelah mendengar semua itu.

"Sekarang rencana bunda apa?" tanyanya, bingung.

"Setiap hari ke-2 lebaran, bapakmu selalu mengadakan pesta besar-besaran di rumah. Semua orang kampung bebas datang untuk makan dan minum. Biasa seluruh istri dan anak juga ikut hadir memakai seragam yang sama. Bunda mau kamu juga datang untuk bertemu bapak dan saudara tirimu..." bude menelan ludah. "Bunda berencana hari itu untuk memperkenalkan kamu ke bapak," lanjutnya dengan mengelus lembut pipi Wiwi. 

Keesokan hari sekitar jam 6 pagi, bis yang ditumpangi mereka memasuki terminal Karangente. Orang tua dan para kakak lelaki sudah menunggu di ruang tunggu kedatangan, terminal.

"Wulan!!" teriak kakek dan nenek dengan langsung berebut untuk peluk dan cium. Wiwi berjalan pelan di belakang sambil menenteng kardus berisi oleh-oleh dan koper pakaian.

"Anakmu yang mana?" tanya kakak no.11. 

Anggota keluarga bude semua memiliki kulit warna kuning langsat. Wiwi yang menyadari perbedaan warna kulitnya yang mencolok menjadi minder dan seketika menghentikan langkah kaki.

Kakek yang melihat dia menyadari perasaan yang sedang berkecamuk di dalam hati.

"Kamu pasti Wiwi, cucuku! Cucuku sungguh ganteng dan gagah," pujinya sambil berjalan tertatih-tatih dengan tongkat di ketiak untuk memeluk dan cium Wiwi.

"Wi! Kenapa bengong begitu!! Cepat kasih salam dan cium tangan kakek nenek dan pamanmu ini!" panggil bunda setelah lepas dari pelukkan nenek.

Paman Bimo, kakak no. 11 memiliki usaha angkot sehingga diperbolehkan parkir di dekat pintu ruang tunggu kedatangan.

"Ayo, semua bismillah dulu," serunya saat bersiap menyalakan mobil angkot. "Wi, nanti malam kita shalat tarawih bersama," lanjutnya setelah mobil jalan. 

Menjelang jam buka puasa, semua saudara datang membawa keluarga masing-masing dan makanan.

Wiwi hanya bisa diam dan menyahut seadanya saat diajak mengobrol. Hatinya berkecamuk rasa kesal, marah, bingung dan bahagia. 

'Semua terasa sangat asing. Sepertinya tidak mengetahui kebenaran itu lebih baik,' katanya dalam hati. 'Tetapi, aku harus berani tidak takut menghadapi kebenaran hidup... Bunda, terlihat sangat bahagia,' batinnya lagi dengan pelupuk mata terasa basah.

"Mas! Kata mamaku mas ini hebat lulusan Singapura!" Tiba-tiba muncul seorang anak remaja laki usia SMP. "Aku mau seperti mas. Ayo, cerita bagaimana cara mendapat beasiswa," lanjutnya.

Sapaan dan pertanyaan anak itu sedikit menghibur hati Wiwi yang sedang kehilangan semangat.

"Duduk sini," pinta Wiwi lalu mengelus rambut anak itu. Ketika telapak tangan dia menyentuh rambut anak itu, muncul energi hangat dan panas mengigit kuat kulit telapak tangan lalu menjalar hingga ke bahu kanan.

Wiwi, untuk pertama kali dalam hidup menyadari memiliki ikatan batin dengan anak di depan mata dan seluruh orang yang berada di dalam rumah itu.

-bersambung

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun