Mohon tunggu...
MK
MK Mohon Tunggu... Freelancer - Cahaya Bintang

Saat diri dapat katakan CUKUP di saat itu dengan mudah diri ini untuk BERBAGI kepada sesama:)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pintu Depan 25

27 April 2022   15:55 Diperbarui: 27 April 2022   16:52 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Rumah ini belum memiliki banyak perabot. Ibu hanya membeli kompor beserta perlengkapan masak dan makan, meja makan, kasur, kulkas dan telepon. 

"Ayah nanti saat ke sini mau beli TV," kata Bulan sambil mencuci piring. "Mbak dan aku tidur berdua di kamar bawah. Mbak Milah sendiri di lantai atas. Tapi nanti waktu eyang datang, kita tidur bertiga. Eyang males naik turun tangga, takut jatuh," lanjutnya lagi. 

Selesai membereskan meja makan, kami bertiga duduk di lantai. Aku memperlihatkan dan menceritakan cerita di balik foto yang ada di album foto. 

Mereka berdua tertawa keras mendengar ceritaku bersama Kang Xi Ka, DX, Shidd, dan Shotaro dan menangis ketika ceritaku beralih ke keluarga pak Ma dan pak Xie. 

"Ma bersaudara itu sungguh hebat!" puji Bulan.

"Iya, berkat kerja keras berkerja membantu memajukan sesama walau hidup susah. Mereka bekerja membagi ilmu dengan mengajar anak dan orang tua yang buta huruf dan tidak bisa berhitung tanpa minta bayaran. Orang yang mereka ajari juga susah tetapi, tetap ingat balas budi. Makanan dan bahan makanan yang diberi para murid itu diambil secukupnya oleh mereka lalu dibagi ke orang yang juga membutuhkan " jawabku panjang lebar. "Intinya kita meski susah harus tetap ingat ikhlas berbagi. Berbagi itu akan mempermudah jalan hidup kita," tekanku. 

"Hebat sekali kisah orang-orang yang kamu temui di sana," komentar kak Milah. "Kamu setahun di sana memiliki sahabat menyenangkan seperti mereka berempat lalu, bertemu orang kita yang sukses dan makan di toko kue legendaris bersama pemilik yang merupakan figur publik. Sungguh pengalaman yang mustahil dialami oleh oleh orang kebanyakan," lanjutnya dengan mata berbinar.

"Iya, benar! Mbak Bintang hebat sekali! Aku kagum," puji Bulan.

Komentar mereka membuatku tertawa kecil. 

"Aku juga tidak mengerti kenapa jalan hidupku saat di sana bisa membawaku bertemu mereka," kataku sambil mengingat satu persatu wajah mereka yang kutemui saat di Tiongkok.

Menceritakan kembali cerita di balik foto itu membuat waktu berlalu dengan cepat tanpa tidak terasa sama sekali.

"Ini teh pemberian pak Xie. Tulisan ini artinya 'Teh Untuk Orang Tua Tersenyum'. Sepertinya pak Xie mau teh ini kami beri ke orang tua sebagai oleh-oleh," kataku dengan menunjukkan tabung teh pemberian pak Xie untuk menutup cerita yang ada di balik album foto.

"Harum sekali teh ini! Terbayang wajah bahagia eyang meminum teh yang harum dan pasti cantik saat diseduh nanti," kata Bulan sambil membuka tutup tabung lalu, menghirup dalam-dalam aroma wangi harum yang menyerbak keluar.

"Iya, harum sekali! Tercium sampai ke sini," sambung kak Milah yang duduk di sampingnya. 

Di tengah semerbak wangi harum teh bunga, perutku berbunyi keroncongan.

"Mbak, sudah lapar?" tanya Bulan sambil menurunkan tabung teh dari hidung.

"Iya, ini kenapa jadi lapar? Padahal, baru makan soto," tanyaku bingung.

"Sepertinya ini sudah siang. Tunggu! Sebaiknya jam weker di dalam kamar ditaruh di luar ," kata Bulan dan segera beranjak berdiri lari ke dalam kamar.

"Mbak! Ini sudah jam setengah dua belas, lho!" teriaknya dari dalam kamar.

Aku dan kak Milah bergegas membereskan album foto dan tabung teh lalu, masak telur dadar untuk dimakan bersama soto ayam sisa tadi.

"Untung ibu beli kulkas duluan jadi bisa stok bahan makanan yang banyak," kata Bulan sambil cek isi kulkas untuk cari bahan memasak makan malam.

Bulan sejak kecil tidak bisa makan sembarangan karena menderita alergi yang tidak jelas pemicunya. Ibu paling khawatir dengannya. Saat SD, dia ada makan banyak makanan di saat pesta ulang tahun teman sekolah di sekolah. Sampai di rumah, waktu mandi di tubuhnya ketahuan ada bentol merah dan sore hari mendadak demam. Lalu, saat eyang kasih makan nasi uduk yang dibeli di warung yang baru buka di sekitar pasar, bibirnya tidak lama bengkak. Dia juga tidak bisa makan snack bungkusan seperti anak kecil yang lain karena bisa demam setelah memakannya.

Sejak itu, Bulan hanya boleh makan masakan rumah dan warung langganan. Dia pun menurut tanpa membantah sedikit pun karena sudah lelah dan kapok jatuh sakit hanya karena makanan.

Dua hari kemudian jam 2 siang, sebuah mobil minibus berhenti di depan gerbang. Aku bergegas keluar untuk buka pintu gerbang.

"Ibu, ayah, eyang!" teriakku kegirangan.

Usia eyang sudah 72 tahun dan tidak kuat duduk lama. Ayah memutuskan sewa mobil travel saat menuju kemari dan saat pulang nanti supaya bisa sewaktu-waktu berhenti sebentar di rumah makan, tempat peristirahatan atau pom bensin untuk gerakkan tubuh.

Kami bertiga bergegas cium tangan mereka lalu bantu bawa barang masuk.

"Eyang, mandi dulu. Air panas sudah aku sediakan. Nanti habis mandi kaki eyang, aku pijati," kata Bulan. 

Kami semua tersenyum melihatnya.

"Eyang, lihat! Teh kering ini nanti bisa jadi bunga yang cantik mekar," kata bulan sambil membawa teko kaca bulat yang kemarin dibeli.

Bulan setelah mendengar ceritaku terpikir beli teko kaca supaya bisa melihat teh bunga kering mekar saat diseduh. Teko di rumah terbuat dari almunium dan tertutup rapat, sehingga tidak memungkinkan untuk melihat perubahan teh bunga kering.

Ayah dan ibu setelah selesai mandi dengan penuh antusias duduk di samping eyang.

"Teh ini dari pak Xie. Di tabung ada tulisan 'Teh Untuk Orang Tua Tersenyum'," jelasku.

"Waah! Kalau begitu kamu harus foto kita saat minum teh ini untuk kenangan," saran ayah lalu pergi naik ke kamar untuk ambil kamera. 

Teh bunga kering yang berwarna coklat dan harum itu saat diseduh berubah menjadi bunga peony yang segar berwarna pink. Aroma wangi semakin harum semerbak beriringan dengan kelopak bunga yang berurutan terbuka.

Cekrek! Cekrek! Aku mengabadikan dari berbagai sudut, bunga yang sedang berusaha mekar. Lalu, cekrek! Wajah tersenyum bahagia alamiah eyang, ibu, dan ayah terabadikan dalam roll kamera.

"Rasa teh ini luar biasa istimewa," komentar eyang dengan tersenyum lebar diikuti ayah dan ibu yang berkomentar sama.

Aku, Bulan, dan kak Milah bergegas tuang teh ke gelas masing-masing untuk mencicipi rasanya.

Rasa air teh yang ringan dan lembut menguyur permukaan lidahku. Saat itu rasa manis yang halus muncul lalu lewat seketika mengalir ke dalam tenggorokan.

"Rasa teh ini sungguh luar biasa," puji eyang lagi.

Untuk sesaat kami semua terdiam meresapi dalam-dalam sensasi kenikmatan yang timbul dari teh bunga ini.

Di waktu yang berlainan di Shanghai, teh bunga peony warna kuning bermekaran. Lalu,di Harbin, teh bunga peony warna oranye bermekaran. Kemudian, di Bangladesh, teh bunga peony warna ungu bermekaran dan di Jepang, teh bunga peony warna merah bermekaran.

Kami berlima saling bertukar foto di surat elektronik. Foto yang berisi wajah cerah bersinar bahagia para orang tua serta kakek dan nenek saat sedang minum teh bunga peony ini.

Kami yakin pak Xie dari atas sana pasti juga ikut tersenyum bahagia saat teh bunga peony pemberiannya diminum mereka yang diselimuti rasa bahagia.

-bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun