Sejak itu, Bulan hanya boleh makan masakan rumah dan warung langganan. Dia pun menurut tanpa membantah sedikit pun karena sudah lelah dan kapok jatuh sakit hanya karena makanan.
Dua hari kemudian jam 2 siang, sebuah mobil minibus berhenti di depan gerbang. Aku bergegas keluar untuk buka pintu gerbang.
"Ibu, ayah, eyang!" teriakku kegirangan.
Usia eyang sudah 72 tahun dan tidak kuat duduk lama. Ayah memutuskan sewa mobil travel saat menuju kemari dan saat pulang nanti supaya bisa sewaktu-waktu berhenti sebentar di rumah makan, tempat peristirahatan atau pom bensin untuk gerakkan tubuh.
Kami bertiga bergegas cium tangan mereka lalu bantu bawa barang masuk.
"Eyang, mandi dulu. Air panas sudah aku sediakan. Nanti habis mandi kaki eyang, aku pijati," kata Bulan.Â
Kami semua tersenyum melihatnya.
"Eyang, lihat! Teh kering ini nanti bisa jadi bunga yang cantik mekar," kata bulan sambil membawa teko kaca bulat yang kemarin dibeli.
Bulan setelah mendengar ceritaku terpikir beli teko kaca supaya bisa melihat teh bunga kering mekar saat diseduh. Teko di rumah terbuat dari almunium dan tertutup rapat, sehingga tidak memungkinkan untuk melihat perubahan teh bunga kering.
Ayah dan ibu setelah selesai mandi dengan penuh antusias duduk di samping eyang.
"Teh ini dari pak Xie. Di tabung ada tulisan 'Teh Untuk Orang Tua Tersenyum'," jelasku.