Kami semua mendengar cerita pak Xie dengan diam.Â
Saat peristiwa Tiangmen, cucu laki satu-satunya meninggal saat demo di usia 18 tahun. Cucu yang memiliki impian meneruskan toko legendaris ini telah tiada.
Pak Xie dan keluarga sudah mengiklaskan kepergian anak itu. Masa depan toko ada di tangan Tuhan. Mereka yakin kelak pasti toko ini ada yang meneruskan.
Pengalaman hidup yang mengajarinya untuk tidak larut dalam kesedihan dan kekhawatiran. Pendiri toko ini seorang kasim. Semua tahu bahwa menjadi kasim berarti tidak bisa memiliki anak.Â
Setelah toko buka sebulan, kasim itu kerepotan kerja sendiri. Suatu sore saat sedang tutup toko, datang seorang perempuan muda yang miskin bersama 3 anak kecil. Satu digendong di punggung dan 2 digandeng. Anak yang besar memeluk guci abu. Abu itu adalah ayah mereka yang bekerja jadi tentara di kota.
Mereka datang dari desa untuk menjemput abu ayah yang tewas dalam perang saudara. Perempuan itu hanya punya uang cukup untuk beli 2 bakpao. Rasa kasihan mengerakkan hati kasim untuk memberi makan. Keempat orang itu diajak masuk dan dimasaki makanan. Bakpao matang tidak ada yang tersisa.
Karena sudah sore, kasim menawarkan mereka untuk tinggal semalam. Saat kasim sedang membuat bakpao di jam 2 pagi, perempuan itu terbangun dan ikut membantu. Keluarga perempuan itu hanya ketiga anak yang sedang tidur maka, kasim menawarkan dia untuk menetap membantu usahanya. Marga kasim itu Xie. Ketiga anak itu setelah menikah dan memiliki anak menamai anak mereka dengan marga Xie.Â
"Kalian setelah ini mau ke mana? Sekarang sudah jam 2 siang. Saking asyik ngobrol sampai tidak terasa waktu berlalu," tanya pak Xie, tiba-tiba.
"Kami hanya mau keliling Dongcheng. Selain aku, semua sudah pernah masuk ke Kota Terlarang. Rencana setelah makan siang ke sana tapi, pemandangan dari sini sudah cukup buatku. Teman-teman, uang tiket kita belii es krim saja. Aku tidak minat ke dalam," jawabku.
"Yakin nanti tidak menyesal?" tanya Shotaro.Â
Aku mengangguk keras. Â "Yakin!"
DX segera mengatur posisi kami untuk foto bersama pak Xie dan masing-masing.Â
Foto Kota Terlarang yang tadi dipotret DX saat kami baru datang, kelak menang lomba foto wisata Tiongkok dan dipakai sebagai ikon resmi wisata kota Beijing.
"Pak Xie, terima kasih banyak untuk waktu, cerita dan makanan ini. Ini sungguh perayaan ulang tahun yang tidak akan terlupakan," kata Shotaro.
"Iya, terima kasih banyak pak! Hasil foto ini akan saya kirim 3 hari lagi," janji DX.
"Wah, kalau begitu nanti kita makan siang bersama lagi. Saya tunggu kalian di jam makan siang," jawab pak Xie.
Kami berlima saling menatap karena bingung harus menjawab apa.Â
"Eh... baik terima kasih tawarannya! Kami pasti datang lagi," jawab Kang Xi Ka dengan cepat dan memecah keheningan.Â
Saat menuju tempat parkir, DX meminta bantuan semua orang untuk membantu dia mencetak foto malam ini dan besok. DX ada ide untuk membuat album foto khusus pak Xie.
Kami semua menyetujui idenya. Sepulang dari tur setelah mandi dan makan malam, semua kumpul di ruang makan. Isi asrama hanya kami berlima. DX membawa perlengkapan mencuci dan mencetak roll film ke ruang makan.
Kami membagi tugas menjadi 2. Para pria mencuci dan mencetak foto, aku dan Kang Xi Ka bikin album sesuai ukuran contoh lembar foto yang DX kasih.
Shidd membuat jemuran foto dengan mengikat tali dari gagang pintu samping ke kran air. Menurutnya, tali jemuran itu bisa muat 100 lembar foto.
DX membatasi kami untuk kerja selama 2 jam. Setelah 2 jam, semua berhenti kerja, beresi ruang makan lalu balik kamar masing-masing.Â
Di hari ketiga jam 10 pagi, semua pekerjaan selesai. Kami bergegas mengayuh sepeda menuju toko kue pak Xie.
"Wah! Kalian sungguh tepat waktu. 15 menit lagi jam makan siang," puji pak Xie. "Saya tidak sabar mau melihat hasil karya kalian," lanjutnya.
Shidd segera berlari ke samping pak Xie untuk membantu menuntunnya naik tangga. Di atas, berbagai hidangan daging, sayur dan buah sudah terhidang rapi.
"Kamu tenang saja. Makanan ini dimasak dengan minyak sayur semua," kata pak Xie ke Shidd di sampingnya. Shidd tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Luar biasa hasil foto ini!" puji pak Xie sambil membolak-balik album.
Aku dan Kang Xi Ka juga membuat album khusus untuk foto kami berenam terpisah dari foto lainnya.
"Ini bagus sekali..." pak Xie, menangis sambil menatap foto kami berenam sedang tersenyum lebar di depan toko. "Senang sekali punya 5 cucu yang tampan dan cantik ini," katanya dengan mata berbinar.
Selesai makan siang, kami semua merasa sangat berat dan sedih harus berpisah dengan pak Xie. DX dan Kang Xi Ka, berjanji akan sering datang mengunjungi di toko. Kami bertiga juga berjanji sebelum pulang akan menemuinya lagi.
Pak Xie, mengusulkan untuk buat pesta perpisahan untuk kami bertiga seminggu sebelum kami pulang dan kami setuju.
Di luar dugaan, seminggu kemudian pak Mark datang saat malam hari mencariku di asrama.
"Bintang, apa kabar?" tanyanya ke aku yang bingung dengan kedatangannya.
"Kabar baik. Bapak, silakan duduk," jawabku.
"Langsung saja. Bapak mau tanya kamu tahu foto ini milik siapa?" tanyanya lagi dengan memperlihatkan sebuah album.
"Ini punya pak Xie... Kenapa ada di tangan bapak?" tanyaku semakin keheranan.
"Siang ini saat dipanggil untuk makan, beliau ditemukan duduk diam membeku dengan tersenyum memeluk album foto ini," jawab pak Mark dengan suara serak.
Air mataku langsung menetes jatuh dengan deras.
"Tujuh hari lagi jenazah beliau dimakamkan. Bila kalian berlima ada waktu, tolong datang ke alamat ini. Foto ini akan kami taruh dalam genggaman tangannya," kata pak Mark sambil menghapus air mata.Â
Setelah pak Mark pergi, aku segera mencari yang lain. Semua langsung menangis mendengar berita sedih ini.
Istri pak Mark adalah anak dari adik perempuan pak Xie. Adiknya itu juga membantu di toko.Â
Seminggu sebelum aku, Shidd, dan Shotaro pulang, sesuai janji kami berenam kami mengadakan pesta perpisahan. Pesta perpisahan dalam bentuk penghormatan terakhir ke pak Xie.
 Sebelum ke pemakaman, kami mampir toko bunga untuk membeli bunga mawar merah 5 tangkai. Bunga itu satu persatu kami taruh ke dalam peti mati yang dibuka kembali khusus untuk kami. Wajah pak Xie terlihat sangat tenang. Senyum manis terukir di wajah yang membeku. Tangannya memegang foto kami berenam di dada.
Pak Mark, mengabadikan kami berlima yang mengenakan kaos putih dan celana hitam berfoto dengan foto pak Xie terakhir yang dipotret DX yang dipajang di depan peti mati.Â
Saat peti mati dimasukkan ke tanah, aku dan Kang Xi Ka menangis berpelukkan. DX, Shidd, dan Shotaro berdiri sendiri-sendiri sambil menghapus air mata.Â
"Terima kasih kalian berlima sudah datang," sapa pak Ma setelah upacara pemakaman selesai. Keempat Ma bersaudara datang beserta keluarga. Pak Lu dan istri juga datang. Di pemakaman itu juga banyak pejabat penting yang hadir. Tetapi, menurut pak Ma yang paling penting adalah kehadiran kami berlima. Sejak bertemu kami, pak Xie banyak tersenyum dan terlihat semangat bahagia. Sudah puluhan tahun sosok pak Xie yang seperti itu, menghilang.Â
-bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H