Rasa kesal memuncak di ubun-ubun kepala. Berbagai pertanyaan memuncrat di kepala tapi, tak bisa keluar dari mulut.
Sekolah aku tidak beda dengan gedung sekolah yang lain. Saat kejadian sekitar sore hari yang berarti anak sekolah sudah bubar pulang ke rumah. Untuk apa tentara datang tengah malam buta atau pagi hari hanya untuk menjaga gedung sekolah yang kosong di keesokan hari!?
Lagipula yang tahu di dalam sekolah itu ada asrama putri dan biara khusus biarawati pasti hanya kalangan tersendiri.
Sedangkan di luar sana semua orang teriak,"Di mana negara!? Kenapa tidak ada polisi dan tentara yang turun tangan saat itu!!?
"Aku sedang mencari teman yang tiada di saat itu. Aku tahu temanku itu penyelamat kita," ucapku pendek lalu pergi meninggalkan suster.
"Memang apa yang anda mau lakukan bila ketemu dia!?" seru suster ketus, tapi aku tak peduli dan terus jalan menjauh.
Saat berjalan menjauh mendadak aku teringat cerita papa tentang ayahnya.
Kakek dari papa adalah 100% Tionghoa, tapi dapat gelar Pahlawan Daerah. Saat penjajahan Belanda hingga Jepang, dia aktif membantu di medan perang.
Suatu hari saat penjajahan Jepang, rumahnya didatangi tentara Jepang. Di rumah ada istri hamil besar dan tua serta 5 anak kecil.
Kakek diminta untuk beritahu lokasi kaum tentara pribumi sembunyi. Kakek bersikeras untuk diam hingga akhirnya dipukul tanpa ampun hingga hampir mati. Nenek yang berusaha melerai kena tendangan keras. 5 anak kecil menangis keras karena takut.
Tentara Jepang pun pergi meninggalkan suami istri terluka parah penuh darah. Kelak di masa kemerdekaan jasa kakek itu membuahkan bintang Pahlawan Daerah dan anak otomatis menjadi anggota Pemuda Pancasila.