Awan pasti lelah sekali, sekali lagi kejadian yang menimpaku hari itu bukanlah salah Awan. Awan hanya ingin istirahat, tidak meminta lebih. Karena awan memang tidak pernah meminta lebih pada anak-anaknya. Awan hanya marah ketika kami menunda makan dan sholat, menjaili anak orang dan bersikap tidak sopan pada orang tua.
Mata kakiku pernah membiru sebab Awan, tapi tidak dengan mata hatiku. Awan tetapkan salah satu bintang dihatiku. Bintang yang ingin selalu ku lihat sinarnya. Bintang yang sesekali pernah redup tapi tak pernah hilang sinarnya. Bintang yang menitipkan sinarnya lewat arti namaku. Aku akan terus mengingat kejadian itu, tetapi bukan sebagai keabadian "kesalahan" seorang ayah kepada anaknya, namun mengingat bahwa setiap manusia satu dan lainnya ibarat "langit" dan "awan". Langit ikhlas menerima awan yang tak selalu putih dan kadang dirudu mendung berkal-kali. Lalu awan juga memaklumi langit yang tak selalu biru dan punya waktu khusus untuk berubah gelap. Setiap manusia punya disisi lain yang kadang-kadang sulit dipercaya namun harus diterima. Menerima selayaknya sisi kita yang lain juga ingin diterima.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H