Mohon tunggu...
Kaskatella
Kaskatella Mohon Tunggu... Freelancer - freelance

All About Food and lifestyle

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menelisik Sudut Pandang Merdeka Belajar: Kampus Merdeka dan Fenomena Salma Salsabil

31 Mei 2023   20:29 Diperbarui: 31 Mei 2023   20:43 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap Jiwa adalah Melody dan Membutuhkan Pembaharuan. 

Kutipan dari Stephanie Mallarme ini, menggambarkan kesuksesan Salma Salsabil di dua tempat. Pertama, terpilih sebagai juara Indonesian Idol 2023. Kedua, lulus dan mendapatkan gelar sarjana dengan jalur prestasi. Kedua prestasi ini langsung memeriahkan Semarak Merdeka Belajar.

Heri Abi selaku Pihak Humas ISI Jogja pun mengamini berita tersebut. Ia menambahkan kalau prestasi yang diraih perempuan asal Probolinggo, Jawa Timur ini merupakan hasil konversi SKS yang didapat di bangku kuliah. Fenomena Merdeka Belajar-Kampus Merdeka pun menguat. Terbesit untuk menelisik dan mengupas sudut pandang lain dari kurikulum tersebut.

Lalu pertanyaannya, apakah kurikum merdeka tersebut? Apakah kurikulum tersebut memberikan ruang bagi para mahasiswa untuk berkarya dan menjadi dirinya sendiri? Kemudian kalangan mana saja yang bisa menerapkan teori ini dan apa tujuan akhirnya?   

Dilansir dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Merdeka Belajar-Kampus Merdeka adalah implementasi dari Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim, Kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka merupakan pembelajaran di perguruan tinggi yang otonom dan fleksibel sehingga tercipta kultur belajar yang kreatif dan inovatif, sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.

Program utama yaitu: kemudahan pembukaan program studi baru, perubahan sistem akreditasi perguruan tinggi, kemudahan perguruan tinggi negeri menjadi PTN berbadan hukum, dan hak belajar tiga semester di luar program studi. Mahasiswa diberikan kebebasan mengambil SKS di luar program studi, tiga semester yang di maksud berupa satu semester kesempatan mengambil mata kuliah di luar program studi dan dua semester melaksanakan aktivitas pembelajaran di luar perguruan tinggi.

Berbagai bentuk kegiatan belajar di luar perguruan tinggi, di antaranya melakukan magang/praktik kerja di Industri atau tempat kerja lainnya, melaksanakan proyek pengabdian kepada masyarakat di desa, mengajar di satuan pendidikan, mengikuti pertukaran mahasiswa, melakukan penelitian, melakukan kegiatan kewirausahaan, membuat studi/ proyek independen, dan mengikuti program kemanusisaan. 

Semua kegiatan tersebut harus dilaksanakan dengan bimbingan dari dosen. Kampus merdeka diharapkan dapat memberikan pengalaman kontekstual lapangan yang akan meningkatkan kompetensi mahasiswa secara utuh, siap kerja, atau menciptakan lapangan kerja baru.

Terdapat tiga indikator yang menjadi opsi dalam kurikulum ini yakni mandiri belajar, mandiri berubah dan mandiri berbagi. Dimana penerapannya mengkombinasikan pembelajaran serta teori dengan praktek.

Mungkin istilah jaman dulu yang tak asing di telinga kita adalah belajar sambil "bermain" atau "berani kotor itu baik". Sayangnya kegelimangan dari kurikulum ini tidak serta merta diterima dengan baik.

Dilansir dari Portal Bandung Timur, kehadiran kurikulum yang berbasis kemandirian ini bisa memunculkan masalah baru.

Pasalnya setiap daerah yang ada di Indonesia belum tentu memiliki kematangan infrastruktur dan bisa memicu ketimpangan sosial. Kurikulum ini baru bisa diterapkan di Kota besar, dikarenakan sudah siap akan segala fasilitasnya.

Di satu sisi, saya setuju jika penerapan kurikulum ini memang butuh persiapan dan perjalanan panjang. Tetapi dalam persiapan tersebut, perlu disiapkan berbagai perubahan-perubahan yang bisa memperkuat jalannya teori tersebut.

Jika perubahan bisa bergerak dengan signifikan dan konsisten, saya rasa tidak ada keraguan dalam menggunakannya. Perlu adanya sinergitas antara pendidik dengan murid, agar tidak ada hierarki dan kesenjangan komunikasi yang bisa memperlambat kemajuan teori ini.

Ya misalnya saja, kehadiran mobil dan motor listrik saja didukung penuh oleh Pemerintah melalui pajak satu persen. Masa ini saja tidak?

Canda ya.

Jika kita melihat di negara lain, metode pembelajaran teori dan praktek tentu sudah tak asing. Salah satunya adalah Amerika Serikat, yang terkenal dengan istilah Learning by doing.

Learning by doing sendiri sudah lama dipopulerkan oleh John Dewey. Ia adalah seorang philosopher, pemerhati pendidikan yang menggunakan metode metacognitive yang bertujuan untuk melatih apa yang dipelajari, agar bisa diaplikasikan secara konkret.

Teori yang sama dan lebih familiar tentu sudah diterapkan di SMK. Hal ini dikenal dengan Teaching factory. Dimana model pembelajaran ini menitikberatkan pada produksi/jasa. Tujuannya tentu saja untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan siap kerja. Saking fenomenalnya teori ini, Kepala Sekolah SMPN 5 Semarang, Aloysius Kristianto pun menjadikannya role model di tempatnya mengajar.

Misalnya adalah jika seseorang terbiasa bermain gitar dan mempelajari dari Youtube. Tentu hasilnya akan berbeda, jika dia berkuliah di bidang seni musik. Terdapat teori dan bimbingan secara khusus untuk mengetahui bagaimana chord yang tepat. Bagaimana mengkombinasikan nada dan sebagainya. Sehingga trial dan error sudah digunakan secara maksimal di ruang belajar.

Murid tidak perlu risau, bagaimana ilmu tersebut bisa digunakan dalam ranah masyarakat, seperti lingkungan kerja. Dimana mereka hanya menginginkan segi kepraktisan dan pengalaman yang sudah harus didapatkan di bangku kuliah.

Padahal, di dunia "pertogaan", teori adalah senjata utama yang diajarkan. Selebihnya mereka harus mencari sendiri tentang "passion" yang mereka inginkan.

Jadilah gelombang pengangguran yang selalu menerpa para sarjana. Istilah kuliah hanyalah menganggur dengan gaya pun menjadi label yang menyakitkan untuk dipopulerkan.

Mungkin harapan besar menggantung oleh para sarjana. Pasalnya selepas kuliah, mereka berpikir bisa mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Nyatanya, mereka harus gigit jari. Bersaing dengan orang yang berpengalaman, demi mendapatkan satu bangku kepastian untuk menyambung hidup.

Apalagi kalau bukan pekerjaan, dimana pengklasifikasian strata menjadi berubah. Tergantung dimana kamu mendapatkan nafkah sebagai penyambung hidup.

Saat ini per Agustus 2022, terdapat 8,42 juta jumlah pengangguran di Indonesia. Dimana terdapat 12 persen terisi oleh Sarjana. Alasannya tentu klasik, tidak ada pengalaman setelah kuliah dan dianggap tidak memiliki skill kompeten untuk bersaing di dunia kerja.

Belum lagi, problematika yang sering muncul. Dimana pekerjaan yang didapatkan tidak sesuai dengan jurusan. Semakin menambah deretan panjang, permasalahan tenaga kerja di negeri ini.  

Walau sebenarnya kualitas dan keterampilan dapat dikatakan relatif, artinya bisa dilatih. Tetapi tetap saja, industri menggunakan sisi pragmatis dan ekosentris demi menyelamatkan perusahaannya.

Hal yang paling mengejutkan adalah sarjana tertinggi yang sulit mendapatkan pekerjaan adalah di bidang seni. Hal ini dikarenakan seni musik dan sebagainya hanya dianggap hobi pribadi. Sehingga prospek kerja dianggap tidak cerah dan hanya berpusat pada dirinya.

Padahal jika ditelisik lebih dalam, seni memiliki banyak peluang untuk meraih kesuksesan. Misalnya menjadi penyanyi, penulis naskah dan sebagainya. Jika kita melihat kegemilangan KPop dan DraKor, peran sarjana seni sangatlah berperan untuk membesarkan nama negaranya.

Salah satunya adalah Bong Joong Ho, sutradara kawakan dan peraih piala Oscar ini merupakan lulusan Akademi Seni Film Korea. Kecintaannya pada seni, membawa salah satu karyanya Parasite menjadi film Korea Selatan pertama yang meraih piala bergengsi di Big Apple tersebut.

Adalagi Meryl Streep, artis legendaris dan peraih tiga piala Oscar ini juga terkenal sebagai lulusan Master Fine Arts dari Yale School of Drama. Ilmu yang melimpah dari Ivy League dan penerapan acting yang sangat bagus membawanya menjadi salah satu artis terbaik sepanjang masa.

Jadi sangat jelas, jika konotasi dari sarjana seni dianggap sebagai hobi pribadi dikarenakan tidak ada ruang yang menghubungkan antara dunia kerja dengan jurusan. Jurusan dibuat tidak dibarengi dengan realita di lapangan, sehingga angka pengangguran semakin meningkat dan menjadi beban ke pemerintah. Padahal seharusnya jurusan dibuat sesuai dengan apa yang dibutuhkan di lapangan, bukan sebaliknya.

Untuk lulusan seni dalam bidang keartisan, menurut pengamatan awam saya tentu masih jarang. Bahkan beberapa artis atau sutradara terkenal saja berasal dari background yang sebenarnya sangat bertolakbelakang dengannya.

Namun apa daya? Jalan rejeki menjadi salah satu kata yang paling sering terdengar. Padahal sejatinya, jalan rejeki bisa diatur jika adanya koorporasi, bukan kompetisi.

Sadar akan hal ini, langkah ISI Jogjakarta patut diacungi jempol. Mereka punya landasan besar mengapa mengambil keputusan tersebut. Selain dari segi "ketakutan statistik" yang menghantui, nama dari Salma Salsabil tentu sudah mengharumkan almamater.

"Weh, lulusan ISI Jogjakarta bisa jadi jebolan Indonesian Idol loh! Kamu mau tidak?" sekilas gambaran pribadi tentang personal branding yang bisa mereka pakai. Kenapa tidak? Wong kesuksesan alumni adalah testimoni kok. Jadi tidak sulit rasanya untuk mem-marketing-kan nama kampus menjadi lebih besar.

Kedua, langkah ini juga mengantisipasi adanya drop out. Loh kok bisa? Dalam dunia keartisan, jam terbang yang tinggi dan padatnya kesibukan bisa menjadi alasan yang paling sering ditemui. Mempadukan antara kuliah sambil bekerja adalah tantangan yang paling berat dan sangat berisiko. Kamu bisa kehilangan keduanya. Multitasking menjadi sebuah pilihan dan bakat bagi mereka yang menguasainya.

Padahal, tidak semua orang bisa mengerjakannya dengan baik. Ada orang yang lebih condong fokus pada single tasking. Atau malah berakhir pada Jack of All Trades. Dia bisa mengerjakan apapun, namun dengan hasil ala kadarnya. Menyedihkan. Kemungkinan tersebut bisa diperparah dengan adanya drop out. Alhasil kegemilangan mahasiswa tersebut tidak bisa tersorot dikarenakan alasan yang klasik.

Salah satunya adalah Madonna. Artis yang terkenal dengan lagu Material Girl ini, meninggalkan beasiswa tari di Universitas Michigan dan mengejar karirnya. Sekarang, ia dikenal sebagai Penyanyi dengan penjualan album terlaris sepanjang masa versi Guinness World Records.

Alycia Keys, John Mayer, Lady Gaga dan bahkan Kanye West adalah sekelompok seniman yang berprestasi yang akhirnya memilih drop out, untuk mengejar karir.

Melalui Salma Salsabil, istilah sarjana seni identik susah mendapatkan pekerjaan atau bekerja salah jurusan pun bisa ternetralisir secara bertahap. Pasalnya nama baik dan hasil ijazah pun dipertaruhkan. Ya masa iya, sudah capek-capek sekolah, akhirnya ijazah hanya formalitas. Padahal Pendidikan itu sangatlah penting.

Dengan adanya Salma Salsabil, diharapkan terbukanya ruang untuk bereksperimen secara mandiri pun terbuka lebar. Penggunaan teori dan implementasi praktek adalah titik yang fundamental, untuk menciptakan lulusan yang kompeten dalam dunia kerja. 

Critical thinking yang didapatkan di perguruan tinggi bisa menjadi bekal oleh para sarjana, untuk bisa berinovasi demi kemajuan bangsa. Sehingga istilah ijazah hanya formalitas bisa menghilang, dan melihat sisi lain dari kekuatan pendidikan. Mengutip dari Mahatma Gandhi, senjata terbaik adalah pendidikan. Mari Semarakkan Merdeka Belajar!

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun