Sudah dua bulan sejak aku keluar dari tempat rehabilitasi, yang kulakukan hanya pulang-kerja. Aku hanya keluar jika hanya persediaan makananku sudah habis. Aku sangat jarang bicara, aku hanya mengangkat suara jika suatu hal penting mengenai pekerjaan. Dirumahpun yang kulakukan hanya tidur, makan, dan pergi kekamar mandi. Tak ada televisi dan tak ada surat kabar. Semuanya terasa hambar. Bagiku, biarkanlah semuanya tanpa rasa, dan aku akan memulai kehidupan baru. Juga...aku tak punya teman. Tentu saja, bagaimana mungkin bisa punya?
***
Aku mengikat erat tali sepatuku, kemudian kusandak tas berwarna coklat yang agak kumuh dipundakku. Saat membuka pintu, secarik kertas terselip dibawah alas kaki, aku mengambilnya dan membaca isinya;
Untuk sahabat terbaikku, Rhein. Aku mohon lindungi dia. Kamu boleh membenci ayahku, bahkan kamu boleh membenciku. Tapi jangan dia, jangan adikku.
Jaga dirimu baik-baik, aku menyayangi kalian.
Tak ada nama pengirim, tapi aku tak bisa menjaga hatiku agar air mataku berhenti mengalir. Aku tahu persis siapa yang menulis surat itu, bagaimana tulisan tangannya, dan kata-kata aku menyayangi kalian. Itu adalah tulisan tangan Tristan. Aku menoleh kekanan dan kiri, berharap si pengirim belum pergi terlalu jauh. Namun aku tak menemukan siapapun.
***
"Sudah tiga bulan kita berada di tempat kerja yang sama, bekerja dibidang yang sama, tetapi tak pernah saling bicara sejak kali pertama-" Ia berdiri di belakang kursi meja makan, membawa nampan makan siangnya, hanya aku satu-satunya yang duduk sendiri dan memang setiap hari begitu. "Maaf mengganggu aku cuma...."
"Kamu cuma nggak dapat meja makan, duduklah." Kataku dengan singkat.
Aku dan dia. Duduk berhadapan dengan perasaan aneh, terlibat dalam percakapan kecil. Terkadang saat percakapan terhenti, dinginnya keheningan membuatku membeku. Ini adalaha perasaan yang sangat lama.
"Emm...aku bertanya-tanya...." Vanno memberanikan diri menatap mataku, begitu juga dengan aku. "Lupakan, kamu juga nggak bakalan jawab."ia tertawa kecil, ia segera menghirup kembali minumannya.
"Katakan," kataku, seolah tak ingin tahu "Aku akan mendengarkan dan-mungkin saja aku bisa menjawab."