Mohon tunggu...
Kartika Tjandradipura
Kartika Tjandradipura Mohon Tunggu... Wiraswasta - Co-Founder Writing for Healing Community

Penulis dengan tujuan utama yaitu untuk meningkatkan mental health awareness dan self compassion. Untuk mengenal tulisannya lebih jauh, bisa dilihat di akun Instagram : @kartika_olive

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bullying yang Membunuh: Ketika Anak-anak Kehilangan Masa Kecilnya

29 November 2024   09:57 Diperbarui: 29 November 2024   09:57 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying pada anak (sumber : lavanguardia.com) 

Ketika mendengar kata "anak-anak," bayangan kita mestinya dipenuhi oleh tawa ceria, permainan sederhana, dan rasa ingin tahu yang tanpa batas. Tapi sayangnya, realita sering kali jauh dari imajinasi kita yang manis itu. Dalam beberapa hari terakhir, berita tentang seorang anak kelas 3 SD berusia 9 tahun yang meninggal akibat dibully oleh tiga kakak kelasnya menyeret kita kembali ke kenyataan pahit. 

Kepala anak itu dibenturkan ke tembok, dipukul, hanya karena dia menolak memberikan uang yang dipalak. Uang, barang kecil yang bahkan tidak seberapa, menjadi alasan hilangnya nyawa seseorang yang baru mulai memahami dunia.

Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana anak-anak bisa berubah menjadi pelaku kekerasan seperti itu? Dan kenapa ini terus berulang?

Bullying di usia anak-anak bukan cerita baru. Kita semua pernah mendengar kisah klasik tentang "anak besar yang suka ngusilin anak kecil" atau "kelompok anak yang merasa lebih kuat." Bedanya, dulu kejadian ini selesai dengan tangisan kecil dan teguran ringan dari guru. 

Tapi sekarang, yang kita hadapi adalah bentuk kekerasan yang mengarah ke kematian. Bagaimana bisa anak-anak, yang mestinya polos dan tanpa dosa, berubah menjadi pelaku kekerasan yang dingin?

Satu hal yang pasti: ini bukan sekadar "kenakalan anak-anak." Ini adalah tanda bahwa ada yang salah dalam sistem. Anak-anak tidak lahir dengan kemampuan untuk membunuh; mereka belajar dari lingkungan.

 Ketika melihat kekerasan dianggap normal atau dibiarkan tanpa konsekuensi serius, mereka menginternalisasi bahwa memukul, memalak, bahkan membahayakan nyawa orang lain, adalah hal biasa.

Ironisnya, kita sering kali lebih sibuk mencari siapa yang salah daripada mencari solusi. Setelah kejadian ini, kepala sekolah dinonaktifkan, sebuah langkah yang terlihat tegas tapi sebenarnya seperti menutup pintu setelah sapi keluar kandang. 

Apakah dinonaktifkannya kepala sekolah akan mengembalikan nyawa anak itu? Tidak. Apakah ini akan mencegah kejadian serupa di sekolah lain? Belum tentu.

Masalah bullying bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga rumah, masyarakat, dan bahkan media sosial. Lihat saja bagaimana konflik kecil di sekolah sering menjadi bahan lelucon di grup WhatsApp orang tua. 

Alih-alih bekerja sama mencari solusi, sebagian malah menyalahkan korban dengan dalih, "Ah, mungkin dia terlalu manja," atau, "Namanya juga anak-anak, ribut sedikit biasa." Sikap permisif seperti ini yang membuat bullying terus berkembang biak tanpa kendali.

Ada juga pola pikir "nggak mau ribet" yang sering menggerogoti orang dewasa di sekitar anak-anak. Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan, terlalu lelah untuk bertanya bagaimana hari mereka, dan terlalu percaya bahwa anak-anak "akan baik-baik saja." Padahal, seperti tanaman, anak-anak perlu dipupuk, diawasi, dan diajari sejak dini bahwa dunia tidak boleh diwarnai dengan kekerasan.

Dan mari kita bicara soal pelaku. Banyak dari kita yang langsung menyalahkan anak-anak kelas 4 dan 5 yang melakukan kekerasan ini. Tapi, pernahkah kita berpikir, dari mana mereka belajar? Apakah mereka tumbuh dalam lingkungan yang memperlihatkan bahwa kekerasan adalah solusi? Ataukah mereka juga pernah menjadi korban bullying sebelumnya? Dalam lingkaran kekerasan, pelaku sering kali adalah korban yang belum sempat sembuh.

Tragedi ini juga menyisakan pertanyaan penting: di mana empati? Kita hidup di zaman di mana kesuksesan diukur dengan nilai akademik, ranking, dan prestasi. Anak-anak diajarkan untuk menjadi yang terbaik, tapi jarang diajarkan untuk menjadi manusia. 

Empati, rasa peduli, dan kemampuan untuk memahami orang lain dianggap sebagai "mata pelajaran opsional" yang tidak akan muncul di rapor. Padahal, inilah keterampilan hidup yang sebenarnya akan menentukan masa depan mereka.

Ketika saya masih kecil, ada seorang guru yang pernah berkata, "Jangan pernah menyakiti orang lain karena kamu tidak tahu luka apa yang sudah mereka bawa sejak lahir." 

Kalimat itu sederhana, tapi penuh makna. Jika setiap anak diajarkan hal serupa, mungkin cerita tentang bullying tidak akan menjadi headline berita seperti sekarang.

Kita juga tidak bisa mengabaikan peran media. Tayangan kekerasan, baik itu di televisi atau game online, sering kali diserap mentah-mentah oleh anak-anak. 

Mereka melihat bahwa kekerasan bisa menghasilkan kemenangan, kekuatan, atau bahkan popularitas. Kombinasikan ini dengan kurangnya pengawasan, dan voila: lahirlah generasi yang menganggap kepala teman sebagai bola pingpong.

Sebagai orang dewasa, tugas kita adalah menjadi filter antara apa yang dilihat anak-anak dan apa yang mereka pelajari. Tapi apakah kita sudah melakukannya? Atau justru kita sibuk membagikan video viral yang menampilkan kekerasan tanpa sadar bahwa anak-anak kita juga menontonnya?

Mungkin, salah satu solusi paling sederhana adalah kembali ke nilai-nilai dasar yang sering kita lupakan: kasih sayang, rasa hormat, dan rasa tanggung jawab. Kita perlu menciptakan lingkungan di mana anak-anak merasa aman untuk berbicara, untuk bercerita, dan untuk mengungkapkan apa yang mereka rasakan tanpa takut dihakimi.

Sekolah juga harus menjadi tempat yang lebih dari sekadar tempat belajar matematika atau bahasa Indonesia. Sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak belajar menjadi manusia. 

Kita butuh kurikulum yang mengajarkan tentang rasa hormat, tentang memahami perbedaan, dan tentang bagaimana menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Kita butuh guru yang tidak hanya mengajar, tapi juga memperhatikan, mendengar, dan menjadi figur yang bisa dipercaya oleh anak-anak.

Dan untuk orang tua, tugas kita bukan hanya memberikan makan, pakaian, dan gadget terbaru. Tugas kita adalah memastikan bahwa anak-anak kita tumbuh dengan memahami bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi. Bahwa kekerasan, sekecil apa pun, adalah hal yang tidak bisa ditoleransi.

Kejadian ini adalah alarm keras yang tidak bisa kita abaikan. Ini adalah pengingat bahwa masa depan bangsa ada di tangan anak-anak, dan jika mereka terus-menerus diajarkan kekerasan, apa yang bisa kita harapkan dari generasi berikutnya? Kita harus berhenti menormalisasi bullying, berhenti mencari alasan untuk membenarkan kekerasan, dan mulai membangun lingkungan yang lebih sehat bagi anak-anak kita.

Seperti yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, "Kekerasan adalah senjata orang yang lemah." 

Dan anak-anak adalah cerminan dari kekuatan atau kelemahan kita sebagai orang dewasa. Jika mereka memilih kekerasan, itu berarti kita sebagai masyarakat telah gagal memberi mereka pilihan yang lebih baik.

"Anak-anak adalah peniru terbaik, tapi pendengar terburuk. Jika kita ingin mereka memilih kasih sayang daripada kekerasan, kita harus menunjukkannya lebih dulu. Karena warisan terbaik bukanlah uang atau prestasi, tapi dunia yang lebih manusiawi."


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun