Ketika mendengar kata "anak-anak," bayangan kita mestinya dipenuhi oleh tawa ceria, permainan sederhana, dan rasa ingin tahu yang tanpa batas. Tapi sayangnya, realita sering kali jauh dari imajinasi kita yang manis itu. Dalam beberapa hari terakhir, berita tentang seorang anak kelas 3 SD berusia 9 tahun yang meninggal akibat dibully oleh tiga kakak kelasnya menyeret kita kembali ke kenyataan pahit.Â
Kepala anak itu dibenturkan ke tembok, dipukul, hanya karena dia menolak memberikan uang yang dipalak. Uang, barang kecil yang bahkan tidak seberapa, menjadi alasan hilangnya nyawa seseorang yang baru mulai memahami dunia.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana anak-anak bisa berubah menjadi pelaku kekerasan seperti itu? Dan kenapa ini terus berulang?
Bullying di usia anak-anak bukan cerita baru. Kita semua pernah mendengar kisah klasik tentang "anak besar yang suka ngusilin anak kecil" atau "kelompok anak yang merasa lebih kuat." Bedanya, dulu kejadian ini selesai dengan tangisan kecil dan teguran ringan dari guru.Â
Tapi sekarang, yang kita hadapi adalah bentuk kekerasan yang mengarah ke kematian. Bagaimana bisa anak-anak, yang mestinya polos dan tanpa dosa, berubah menjadi pelaku kekerasan yang dingin?
Satu hal yang pasti: ini bukan sekadar "kenakalan anak-anak." Ini adalah tanda bahwa ada yang salah dalam sistem. Anak-anak tidak lahir dengan kemampuan untuk membunuh; mereka belajar dari lingkungan.
 Ketika melihat kekerasan dianggap normal atau dibiarkan tanpa konsekuensi serius, mereka menginternalisasi bahwa memukul, memalak, bahkan membahayakan nyawa orang lain, adalah hal biasa.
Ironisnya, kita sering kali lebih sibuk mencari siapa yang salah daripada mencari solusi. Setelah kejadian ini, kepala sekolah dinonaktifkan, sebuah langkah yang terlihat tegas tapi sebenarnya seperti menutup pintu setelah sapi keluar kandang.Â
Apakah dinonaktifkannya kepala sekolah akan mengembalikan nyawa anak itu? Tidak. Apakah ini akan mencegah kejadian serupa di sekolah lain? Belum tentu.
Masalah bullying bukan hanya tanggung jawab sekolah, tapi juga rumah, masyarakat, dan bahkan media sosial. Lihat saja bagaimana konflik kecil di sekolah sering menjadi bahan lelucon di grup WhatsApp orang tua.Â