Meromantisasi Penderitaan: Budaya Toksik di Sekitar Kita
Tak hanya Hamlet yang hobi mendramatisasi penderitaan. Media dan budaya kita kerap mengagungkan cerita tentang "bertahan dalam kesakitan" seolah itu tiket emas menuju keberhasilan. Lirik lagu, film, bahkan cuitan viral sering menampilkan perjuangan mental seolah itu semata-mata bagian dari perjalanan sukses. Ketika seseorang berkata, "Aku dulu depresi, tapi sekarang aku CEO," semua orang bertepuk tangan. Tapi saat seseorang berkata, "Aku depresi, dan aku butuh bantuan," tiba-tiba suasana jadi senyap seperti sinyal WiFi yang lenyap saat di tengah hutan.
Mentalitas ini berbahaya. Menormalisasi penderitaan sebagai syarat keberhasilan justru membuat orang takut untuk bicara dan meminta dukungan. Mereka khawatir terlihat lemah, takut dicap "tidak cukup kuat." Bukannya terbantu, mereka malah merasa terisolasi, terjebak dalam labirin mental yang makin gelap.
Ada Apa dengan "To Be"?
Pilihan "to be" dalam konteks kesehatan mental bukan berarti seseorang harus tersenyum lebar setiap hari atau bersemangat tanpa henti.Â
Itu bisa berarti menerima kenyataan bahwa beberapa hari memang buruk, dan itu wajar. Itu bisa berarti bangun dari tempat tidur meski badan terasa berat seperti membawa kantong belanja penuh galon air.Â
Ini adalah usaha kecil, yang mungkin tak terlihat heroik, tapi sangat berarti. Bertahan hidup bukan tentang menjadi sempurna; itu tentang menghargai napas berikutnya, satu per satu.
Namun, bertahan juga harus disertai dengan dukungan. Kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga masyarakat. Teman, keluarga, dan bahkan kebijakan publik memiliki peran dalam menciptakan lingkungan di mana pilihan "to be" terasa mungkin.Â
Cobalah bayangkan Hamlet memiliki terapis yang kompeten atau dukungan kelompok. Mungkin monolognya tidak seberat itu, dan ceritanya bisa bergeser ke komedi dengan ending bahagia. Siapa tahu?
Menyikapi "Not to Be"
Di sisi lain, membicarakan "not to be" harus dilakukan dengan hati-hati. Ada stigma besar terhadap ide menyerah atau merasa putus asa, yang sering membuat orang menutup diri dan enggan berbagi. Kita harus membuka ruang bagi percakapan yang jujur tentang hal ini, bukan dengan cemoohan atau nasihat singkat seperti, "Jangan begitu, dong!", kalimat yang diucapkan dengan semangat serupa "kopi pagi biar semangat" tapi hasilnya nihil.