Membicarakan monolog terkenal "to be or not to be" dari Hamlet memang bukan hal baru, tapi mencoba mengaitkannya dengan kesehatan mental? Nah, itu bisa jadi hidangan lezat bagi otak yang haus makna atau sekadar camilan ringan untuk pembaca santai yang bosan scrolling media sosial.Â
Mari kita bicarakan bagaimana frasa legendaris dari si Pangeran Denmark ini, yang lebih banyak berbincang dengan tengkorak ketimbang orang hidup, sebenarnya punya hubungan erat dengan pergulatan mental manusia masa kini.
Dilema Hamlet dan Kegalauan Zaman Now
Saat Hamlet merenungi, "to be or not to be, that is the question," dia bukan sedang memilih antara makan nasi padang atau mie ayam. Dia benar-benar berada di tengah pertanyaan eksistensial: hidup dengan segala kesakitannya atau menyerah dan membebaskan diri dari penderitaan itu.Â
Bagi kaum milenial dan generasi Z yang penuh tanda tanya tentang masa depan, ini terdengar seperti renungan di tengah malam saat pekerjaan menumpuk tapi hati ingin liburan. Bedanya, Hamlet tidak punya akses ke kopi dingin atau self-help book bertuliskan, "Kamu Hebat, Kok!"
Ironisnya, kalimat itu begitu relevan di dunia yang kian cepat dan penuh tuntutan. Seseorang yang berjuang dengan kesehatan mental kerap dihadapkan pada dilema internal serupa: terus bertahan dalam tekanan atau menyerah pada keletihan mental yang mendera. Dan tidak, memilih opsi pertama tidak selalu berarti mendadak menemukan semangat hidup sambil tertawa bahagia di bawah sinar matahari. Lebih sering, itu berarti bangun dengan berat hati sambil berkata, "Oke, mari coba bertahan satu hari lagi."
Perjuangan Modern: Dari Hamlet ke Hektik
Sejujurnya, Hamlet sepertinya tidak pernah menghadapi presentasi Zoom yang mendadak ngelag atau notifikasi email di hari Minggu sore. Tapi prinsipnya tetap sama, hidup ini berat, Saudara-saudara! Di balik pencitraan media sosial yang tampak bahagia dengan filter cerah, banyak yang berjuang menahan air mata di balik layar.Â
Perasaan terjebak antara "harus tetap kuat" dan "ingin menyerah" bukan sekadar kalimat puitis; itu kenyataan yang dihadapi banyak orang setiap hari. Dan saat semua orang berkata, "Stay positive!" dalam nada seperti robot motivasi, ada kalanya seseorang hanya ingin mengucapkan, "Boleh tidak, aku hanya diam dulu tanpa solusi muluk-muluk?"
Humor satire di sini adalah bahwa masyarakat sering terobsesi dengan ide "to be", terus berjuang, terus bekerja, terus terlihat sukses, tanpa benar-benar mempertimbangkan beban yang dipikul. Frasa "fake it till you make it" mungkin terlihat keren di spanduk seminar, tapi jarang dibahas betapa melelahkannya berpura-pura terus. Di sisi lain, "not to be" adalah pilihan yang tidak pernah diucapkan lantang karena stigma dan rasa takut. Padahal, mengakui kelemahan dan meminta bantuan justru adalah wujud keberanian, bukan kekalahan.
Meromantisasi Penderitaan: Budaya Toksik di Sekitar Kita
Tak hanya Hamlet yang hobi mendramatisasi penderitaan. Media dan budaya kita kerap mengagungkan cerita tentang "bertahan dalam kesakitan" seolah itu tiket emas menuju keberhasilan. Lirik lagu, film, bahkan cuitan viral sering menampilkan perjuangan mental seolah itu semata-mata bagian dari perjalanan sukses. Ketika seseorang berkata, "Aku dulu depresi, tapi sekarang aku CEO," semua orang bertepuk tangan. Tapi saat seseorang berkata, "Aku depresi, dan aku butuh bantuan," tiba-tiba suasana jadi senyap seperti sinyal WiFi yang lenyap saat di tengah hutan.
Mentalitas ini berbahaya. Menormalisasi penderitaan sebagai syarat keberhasilan justru membuat orang takut untuk bicara dan meminta dukungan. Mereka khawatir terlihat lemah, takut dicap "tidak cukup kuat." Bukannya terbantu, mereka malah merasa terisolasi, terjebak dalam labirin mental yang makin gelap.
Ada Apa dengan "To Be"?
Pilihan "to be" dalam konteks kesehatan mental bukan berarti seseorang harus tersenyum lebar setiap hari atau bersemangat tanpa henti.Â
Itu bisa berarti menerima kenyataan bahwa beberapa hari memang buruk, dan itu wajar. Itu bisa berarti bangun dari tempat tidur meski badan terasa berat seperti membawa kantong belanja penuh galon air.Â
Ini adalah usaha kecil, yang mungkin tak terlihat heroik, tapi sangat berarti. Bertahan hidup bukan tentang menjadi sempurna; itu tentang menghargai napas berikutnya, satu per satu.
Namun, bertahan juga harus disertai dengan dukungan. Kesehatan mental bukan hanya tanggung jawab individu, melainkan juga masyarakat. Teman, keluarga, dan bahkan kebijakan publik memiliki peran dalam menciptakan lingkungan di mana pilihan "to be" terasa mungkin.Â
Cobalah bayangkan Hamlet memiliki terapis yang kompeten atau dukungan kelompok. Mungkin monolognya tidak seberat itu, dan ceritanya bisa bergeser ke komedi dengan ending bahagia. Siapa tahu?
Menyikapi "Not to Be"
Di sisi lain, membicarakan "not to be" harus dilakukan dengan hati-hati. Ada stigma besar terhadap ide menyerah atau merasa putus asa, yang sering membuat orang menutup diri dan enggan berbagi. Kita harus membuka ruang bagi percakapan yang jujur tentang hal ini, bukan dengan cemoohan atau nasihat singkat seperti, "Jangan begitu, dong!", kalimat yang diucapkan dengan semangat serupa "kopi pagi biar semangat" tapi hasilnya nihil.
Menghadapi rasa putus asa memerlukan empati, bukan hanya kata-kata motivasi ala office poster, "Not to be" adalah seruan yang butuh didengar, dipahami, dan direspon dengan tindakan yang tepat: mendampingi, mendengarkan, dan, jika perlu, mencari bantuan profesional. Memperkuat kesadaran bahwa mengakui keinginan untuk menyerah bukan akhir dari segalanya, melainkan awal untuk mencari solusi, adalah langkah pertama yang penting.
Akhir Kata: Memilih "To Be" Bersama
Dalam keseharian yang penuh hiruk pikuk, dilema "to be or not to be" tetap menjadi pertanyaan yang relevan. Ketika kehidupan terasa seperti adegan dramatis Shakespeare, kita harus ingat bahwa tidak ada yang harus memainkan peran utama sendirian. Memilih "to be" berarti memilih untuk melangkah bersama, meski dengan langkah yang pelan dan terseok. Memilih "to be" juga berarti mengakui bahwa kadang kita butuh istirahat, butuh dukungan, dan yang paling penting, butuh saling memahami.
Akhirnya, jika Hamlet punya akhir yang lebih bahagia, mungkin karena dia menemukan komunitas yang mendukung atau sekadar teman yang berkata, "Hei, kamu baik-baik saja. Mau cerita sambil ngopi?" Dan di era sekarang, mungkin itulah soliloquy yang paling kita butuhkan: bukan untuk ditanyakan sendiri, tapi untuk didengar bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H