Tentu saja hal itu tidak dipahami seperti saat ini, selain aku pun tak menyadari perundungan itu yang sebenarnya membuat aku tak ingin sekolah.Â
Di hari malam  minggu bapak dengan vespa bututnya mengantarku ke Plaju. Berharap nenek mampu menasihatiku untuk tetap bersekolah.Â
Melihat jembatan Ampera dan Sungai Musi itu adalah kesenangan tersendiri. Tentu saja ajakan ke Plaju dengan senang hati kuterima.Â
Sepertinya Bapak sudah ngobrol sama Nenek soal ulahku. Padahal Nenek itu terkenal cerewet dan bengis dalam disiplin belajar pada cucu-cucunya.Â
Ia selalu bilang ia sangat menyesal tidak menyekolahkan ibuku dan bibiku ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena kondisi ekonominya.Â
Ia membaca Quran surat Maryam dengan merdu. Dan aku cuma gegoleran di dekatnya.Â
Pada saat itu aku tidak tahu, pasca membacanya, ia memberitahuku surat yang ia baca.Â
Ia bertanya tahukah aku arti ayat itu. Tentu saja aku jawab tidak tahu. Ia tersenyum lalu ikut berbaring di sampingku.Â
Surat itu berkisah tentang Nabi Idris A.S, seorang Rasulullah yang hidup di surga karena kecerdasan dan banyak kawan. Bahkan para malaikat pun adalah sahabat-sahabatnya.Â
Nenek bercerita bahwa Nabi Idris adalah keturunan ke-6 dari Nabi Adam A.S. Beliau orang yang cerdas dalam literasi baik huruf maupun angka, bahkan dikisahkan fondasi penghitungan waktu dengan pembagian 6 dikemukakan oleh beliau.Â
Selain itu ia pandai menjahit dan paling penting ia gemar mencatat pengetahuan yang ia peroleh dengan membuat kepingan tanah liat dan menorehkan tulisan di sana agar dapat dipelajari oleh orang lain.Â