Publik Indonesia dikejutkan oleh ulah lajang berusia 36 tahun, calon PhD di Manchester yang melakukan tindak pidana, memperkosa 190 laki-laki muda di Maschester.Â
Dengan modus operandi date rape, Sosok Reynhard yang ganteng, pinter, tajir melintir plus alim sebenarnya idaman semua wanita. "Bibit unggul" buat jadi calon Ayah. Kalo pernah nonton catatan si Boy, yaaaa....itulah gambaran si Reynhard. Kekurangan dia cuma satu, manja nggak mandiri dan bisanya cuma ngandelin harta Bokap meski bisa sekolah di tempat yang kerennya kebangetan dan impian ribuan anak Indonesia itu.
Tampilannya yang seperti Prince Charming sudah mampu membius beberapa pemuda untuk percaya dengan dia kok. Plus dia juga menggunakan obat bius khusus memperlancar modus operandinya, karena modal dusta (modus) aja gak cukup.
Lebih seru ketika yang punya nama mirip apalagi kebetulan semarga dengan laki-laki ganteng kelahiran Jambi pun tidak luput dari serangan teror inbox dan mention, karena nama hampir mirip. Reaksinya kayak percobaan Hidrogen Peroksida dicampur air sabun dan ragi roti di wadah berleher panjang. Panas, ngagetin karena semburan busa gede, tapi gak ngefek banyak kecuali celotehan panjang di berbagai media sosial. Besok-besok juga kalo ada yang lebih heboh akan bahas yang lain. Â
Karena dunia digital udah makin marak, pindahlah obrolan warung kopi ke media sosial. Media sosial tanpa batas membuat siapapun bisa berkomentar. Bahkan media pun sibuk mencari berita latar belakang si Reynhard ini.Â
Hmmmm sepertinya waspadalah yang pernah sekelas dengan Reynhard, bersiaplah untuk dicari-cari.
Mulai dari keluarganya yang tajir melintir, karena Saibun (Baca :Â Saibun Galau) punya usaha persawitan dan bank perkreditan rakyat. Bokapnya juga masuk DPO kasus illegal logging Polisi Kehutanan Jambi, tapi katanya sekarang dirawat di rumah sakit Singapura.
Belum lagi yang marah-marah karena KBRI sudah tahu dan telah memberikan dampingan hukum, kenapa nunggu media Inggris, padahal sidangnya udah lama kan?.
TKP (Locus Delicti) di Wilayah Hukum Inggris, Korban WN Inggris, jadi hukum pidana yang berlaku Hukum Inggris. Secara sistem hukumnya beda banget Indonesia dengan Inggris. Indonesia menggunakan sistem Eropa Kontinental/Civil Law (mengikuti sistem hukum Belanda), sedangkan Inggris menggunakan sistem  Anglo Saxon/ Common Law.
Dalam proses peradilan pidananya sangat berbeda dengan sistem peradilan pidana di Indonesia. Jadi jangan kaget dengan sistem peradilan yang marathon, bukan seperti di Indonesia.
Karena kasus pidana asusila , maka persidangan ini tertutup ya lebih jelas baca aja di sini .Â
Hal ini juga  berlaku  di Indonesia kok. Persidangan memiliki asas "terbuka untuk umum" kecuali ditentukan lain dalam Pasal 153 ayat 3 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu yang diatur dalam Pasal 70 ayat (2) UU PTUN: Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum, Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama, sidang pemeriksaan gugatan perceraian, Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Militer, perkara yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU  dan Pasal 51 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup.
Masalahnya kebiasaan orang Indonesia membacanya sepanjang tidak diatur artinya dibolehkan, dan memang begitu asas hukum kita.
Karena hal ini hanya menegaskan pada persidangan, proses peradilan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan pra persidangan justru pemberitaan gencar. Bukan hanya pelaku (jika maksudnya memberi sanksi sosial pada pelaku). Bahkan korban pun tidak jarang terekspose. Kalo bukan oleh pers, bahkan yang datang pun bisa menyebarkan melalui media sosial tanpa filter apapun.
Lha istilah persidangan terbuka untuk umum juga tidak dimaknai terlalu luas, bahkan siapaun  tidak hanya awak media boleh memfoto dan menyebarluaskan jalannya sidang terbuka, dengan alasan transparansi.
Masih ingat kasus Kopi Jessika dan Ahok yang seru banget liputan medianya?. Peliputan masif oleh media. Bahkan ada siaran langsung berjam-jam.
Belum lagi acara sidang seperti sebuah reality show,dibuat talkshow  dengan komentator yang gak ada hubungannya dengan sidang. Betul ada ahli hukum yang sering kali ahlinya ahli core of the corenya hukum, karena semua kasus dia paham tanpa perlu menyentuh berkasnya selembar pun.
Tapi seringkali juga, pers juga sering "pura-pura lupa" dengan kemungkinan trial by the press, mengingkaran praduga tak bersalah, atau justru memberi beban baru pada korban, langsung maupun tak langsung, keluarga dan kerabat korban dan pelaku.
Ekspose berlebihan itu teror yang luar biasa, sebagaimana terjadi pada kasus Reynhard, dari Bapaknya, Ibunya sampa Adiknya yang dokter itu semua orang sudah tahu identitasnya. Dengan menggunakan bahasa seolah menaruh simpati, tetapi membongkar aib ini dan menjadi ini juga kesalahan mereka, dari yang mengatakan salah didiklah, terlalu memanjakan, kurang perhatianlah. Termasuk pribadinya, kecenderungan seksualnya sampai pada berbandai-andai tanggapan gimana kalo pelakunya penganut agama tertentu.
Di Palembang acara liputan kriminal  di televisi juga masih menjadi tontonan yang menarik perhatian banyak orang, makanya gak heran bangga banget para pengacara saat kasusnya diekspose. Kan itu promo, diman pengacara kan gak boleh pasang iklan secara kode etik. Saya justru lebih bingung saat keluarga pelaku mewek di depan kamera minta keadilan.
Blahh...kadang pengacara lupa buat jaga hak klien, lebih bangga kala jadi juru bicara ketimbang penasihat hukum. he..he...he
Boleh ngomong kotor gak sih? Pelakunya manusia berusia 38 tahun, dengan tingkat pendidikan dan rajinnya dia beribadah ke gereja sudah cukup menguatkan jika keluarga cukup baik membekali pendidikannya dan pembinaannya.
Istilah Hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan keadilan, tampaknya memicu perilaku banyak orang untuk eigenrichting atau main hakim sendiri.
Main hakim sendiri bukan hanya pada pukul maling sampe bonyok, komentar kita tentang pelaku, korban, keluarga atau apapun yang dikait-kaitkan dengan Reynhard.
"Woi ..Bikcik, ini kan buat jadi pembelajaran"
Ya...muasabah gak ada salahnya memang, tetapi setidaknya kita bisa memilih mana yang sebenarnya untuk muasabah atau sekedar bergosip  efek cerudikan (baca :kepo) atau malah menjadi pelaku teror dan main hakim sendiri.
Pesona Reynhard tampaknya juga membius bangsa ini untuk bahagia main hakim sendiri.
Bikcik, kan gak ada undang-undangnya yang melarang kita komentar terhadap kejadian seperti ini?. Ya kan kembali ke pribadi masing-masing juga. Celotehan ini juga berusaha untuk muasabah. Dan ini tidak hanya berlaku pada  Kasus Reynhard Sinaga semata kok.
Eh... Satu hal yang paling bikin gereget obat bius GHB Â yang dipake si Reynhard ternyata tidak termasuk narkoba di negeri ini, jadi kalo ada yang punya obat itu tuduhannya "hanya" punya obat keras. Apakah harus ada korban baru ada konsnsus memasukkan obat itu sebagai narkoba?. Eh...soal narkoba aku pernah celoteh di Mencapai Bahagia Melalui Korisoprodol
Selamat sore, selamat menyambut week end, tetap bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H