Hal ini juga  berlaku  di Indonesia kok. Persidangan memiliki asas "terbuka untuk umum" kecuali ditentukan lain dalam Pasal 153 ayat 3 dan 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : kasus-kasus dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan dan beberapa kasus tertentu yang diatur dalam Pasal 70 ayat (2) UU PTUN: Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum, Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama, sidang pemeriksaan gugatan perceraian, Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU Peradilan Militer, perkara yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU  dan Pasal 51 UU Sistem Peradilan Pidana Anak, sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup.
Masalahnya kebiasaan orang Indonesia membacanya sepanjang tidak diatur artinya dibolehkan, dan memang begitu asas hukum kita.
Karena hal ini hanya menegaskan pada persidangan, proses peradilan mulai dari penyelidikan, penyidikan dan pra persidangan justru pemberitaan gencar. Bukan hanya pelaku (jika maksudnya memberi sanksi sosial pada pelaku). Bahkan korban pun tidak jarang terekspose. Kalo bukan oleh pers, bahkan yang datang pun bisa menyebarkan melalui media sosial tanpa filter apapun.
Lha istilah persidangan terbuka untuk umum juga tidak dimaknai terlalu luas, bahkan siapaun  tidak hanya awak media boleh memfoto dan menyebarluaskan jalannya sidang terbuka, dengan alasan transparansi.
Masih ingat kasus Kopi Jessika dan Ahok yang seru banget liputan medianya?. Peliputan masif oleh media. Bahkan ada siaran langsung berjam-jam.
Belum lagi acara sidang seperti sebuah reality show,dibuat talkshow  dengan komentator yang gak ada hubungannya dengan sidang. Betul ada ahli hukum yang sering kali ahlinya ahli core of the corenya hukum, karena semua kasus dia paham tanpa perlu menyentuh berkasnya selembar pun.
Tapi seringkali juga, pers juga sering "pura-pura lupa" dengan kemungkinan trial by the press, mengingkaran praduga tak bersalah, atau justru memberi beban baru pada korban, langsung maupun tak langsung, keluarga dan kerabat korban dan pelaku.
Ekspose berlebihan itu teror yang luar biasa, sebagaimana terjadi pada kasus Reynhard, dari Bapaknya, Ibunya sampa Adiknya yang dokter itu semua orang sudah tahu identitasnya. Dengan menggunakan bahasa seolah menaruh simpati, tetapi membongkar aib ini dan menjadi ini juga kesalahan mereka, dari yang mengatakan salah didiklah, terlalu memanjakan, kurang perhatianlah. Termasuk pribadinya, kecenderungan seksualnya sampai pada berbandai-andai tanggapan gimana kalo pelakunya penganut agama tertentu.
Di Palembang acara liputan kriminal  di televisi juga masih menjadi tontonan yang menarik perhatian banyak orang, makanya gak heran bangga banget para pengacara saat kasusnya diekspose. Kan itu promo, diman pengacara kan gak boleh pasang iklan secara kode etik. Saya justru lebih bingung saat keluarga pelaku mewek di depan kamera minta keadilan.
Blahh...kadang pengacara lupa buat jaga hak klien, lebih bangga kala jadi juru bicara ketimbang penasihat hukum. he..he...he
Boleh ngomong kotor gak sih? Pelakunya manusia berusia 38 tahun, dengan tingkat pendidikan dan rajinnya dia beribadah ke gereja sudah cukup menguatkan jika keluarga cukup baik membekali pendidikannya dan pembinaannya.