Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Takut?

27 November 2019   11:36 Diperbarui: 22 Juli 2020   21:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Itu apa sih? (sumber: koleksi pribadi)

"Kenapa harus lewat Puncak Sekuning si,Kak?", protesku pada driver ojol.

"Ini kan rute tercepat, Mbak", Sahutnya kalem.
Dia tidak salah, jalur dari Bukit Besar memang rutenya melewati area itu.

" Takut, Mbak?" Dia bertanya balik.
Aku memilih diam, membaca novel e-book yang kupinjam dari perpustakaan online.
"Biasa aja lah, Mbak. Kita ini makhluk bukan hanya kasat mata. Selama tidak mengganggu tidak masalah" celotehnya.

Aku hanya diam, mataku sibuk pada layar handphone. Aku menjaga agar mataku tidak mengarah pada cermin di spion.

Titik-titik air hujan karena sejak sore tadi hujan rintik-rintik turun di Palembang. Padahal waktu menunjukkan baru pukul delapan malam. Tapi terasa sangat sepi.
Lajur jalan yang tidak terlalu panjang ini terasa begitu jauh, entah mengapa aku merasa laju mobil ini sangat lambat.

Aku benci dengan ekor mataku. Meski aku telah berupaya menghindari melihat ke tepi jalan, tapi masih saja aku terlihat mereka yang duduk sendiri di bawah pohon atau termangu di pojokan, sendiri.

"Ciitttt..." Mobil ini mengerem mendadak, ketika di depan kami sepasang laki-laki dan perempuan tiba-tiba menyebrang.

Dua sejoli itu berlalu begitu saja, mobil yang kutumpangi berhenti beberapa menit. Aku tahu driver ini butuh menenangkan diri dari keterkejutannya.

"Maaf, Mbak. Lagian mereka kok menyebrang seenaknya" omel sang Driver yang dilanjutkan dengan celotehannya.

Aku tetap diam memilih sibuk menenggelamkan diri dengan bacaanku, padahal mataku lelah akibat goyangan kendaraan ini.

"Mbak, aku boleh kan mampir sebentar ambil paket dulu, itu penting banget mbak, kurir baru bisa mengantarnya besok pagi".

Aku diam

 "Mbak, mohon banget, sebenarnya aku menuju tempat yang searah dengan tujuan Mbak. Kalo aku antar mbak dulu, baru ambil paket kita bolak-balik"dengan nada memelas ia memohon.

Aku mengangguk setuju.

Rintik-rintik hujan masih terus membasahi jalanan yang sepi. Ia mengarah ke sebuah kantor jasa pengantaran di Belakang Gedung Besar, Bank Indonesia.

"Aku ikut turun" ucapku saat mobil berhenti di depan kantor itu.

"Cuma sebentar kok, Mbak. Lagian hujan. Payung aku lupa bawa..." belum selesai dia berceloteh aku udah keluar duluan. Menerebas hujan yang ternyata  cukup deras.

Tidak sampai beberapa menit ia telah mendapatkan paketnya, ia letakkan di kursi bagian belakang

"Loh kok gak langsung masuk, udah gak dikunci dari tadi" katanya sambil terkekeh.
Aku memilih masuk ke mobil setelah dia masuk.
"Kenapa sih,Mbak?"tanyanya penasaran.

Aku diam, aku tahu rute sehabis ini melewati simpang Bangau, seseorang seringkali berdiri menunggu di bawah pohon rindang di sana. Entah bagaimana ia mengenalku, tapi setiap aku lewat ia selalu melambaikan tangannya.
Keramahan yang mengganggu. Sungguh, itu sangat mengganguku.

Dan itu terjadi, saat melewati tempat ia biasa mojok ia melambaikan tangannya ke arahku. Ah.. Tapi boleh jadi aku yang GR, dia bukan melambai kepadaku malam ini.

Kami pun berbelok ke simpang golf. Driver tanpa sengaja menekan tombol membuka jendela pintuku.

Aroma kembang kanthil yang wangi menyeruak, ya sebatang pohon cempaka besar tumbuh dengan bunga merekah, udara malam dan dingin memperkuat aromanya.

" Waduh, maaf Mbak, gak sengaja" , ia buru-buru menutup jendelanya.

"Kok aroma wangi ini masih ada di sini ya,Mbak?" ia bertanya dengan gusar.
"Wangi apa, busuk"komenku keki
Seketika aroma itu menghilang. Mobil ini berpacu cepat, tapi terasa perjalanan ini semakin jauh.

Aku mengangkat telpon dan menelpon suamiku " Ayah, tolong buka pintu depan"ucapku singkat.

"Udah, lewat pintu belakang aja" sahut suamiku dengan nada cuek. Bisa ditebak, dia tengah asik mabar.

"Gak, aku lagi nggak nyaman"aku memaksa.
"Okelah..."sahutnya setengah hati.
Tibalah kami di depan rumahku. "Mbak, pintunya belum dibuka, saya antar saja ya sampe pintu belakang"ucap sang driver.

" Astaga...apa itu?"ucapnya kala melihat sesosok bayangan putih.

Kemudian ia berkomat-kamit.

"Udahlah Mas, biasa ajalah. Lah apa kabar yang numpang dari tadi di belakang" ucapku sambil menunjuk kursi belakang.

"Innalilahi...ini gimana,Mbak?" tanyanya panik melihat beberapa sosok yang sebenarnya sudah ikut perjalanan kami dari tadi.

"Kakak takut?" ,tanyaku balik. Sambil aku mengumpat dalam hati "rasain tuh".

" Mbak....."katanya dengan muka memelas.

"Turun, turun semua" celotehku. "Balik sana", sambungku lagi.

" Udah, Mas. Aman, selow aja, gak usah ngebut-ngebut"celotehku. "Semua udah  gak ngikut, dan sampe rumah gak akan ada yang ikut kok" Ujarku lagi.

Aku tahu dia masih shock dengan "Tante" di sudut rumahku yang menatapnya dari tadi. Dia GR, Tante itu kesel sama Noni Centil dari Gedung BI yang ogah pulang.  Tante adalah perempuan berambut panjang, bermuka pucat dan jutek dengan rambut panjang tergerai kurang perawatan, sedangkan Noni adalah perempuan berambut pirang, bermata biru, berpakaian tulle elegan, ya jangan minta dia senyum sih. Taringnya bikin bergetar.

Kalo dua sejoli dari Puncak Sekuning udah kabur dari tadi.

"Udah..dia bukan liatin kamu, pulang saja. Percayalah. Gak akan ada yg ikutin kamu, eh..tadi janji mau nganterin kan?"' celetukku.

" Gimana Mbak..untuk pulang sendiri aja aku takut"gumamnya.

"Perlu ku minta salah satu nemenin?"aku menawarkan padanya.

" Oh ya jangan"ucapnya. Sesaat aku keluar dari mobil dia tancap gas.

Suamiku nongol dengan santai "banyak banget teman yg diajak pulang"celotehnya terkekeh.

" Hooh, nyebelin. Alamat 3 malem kita susah mesra-mesraan"sahutku mangkel.

Si Cebol dari lapangan golf udah mendahului masuk kamar. Udah beberapa dekade aku udah berkenalan, dan sebagian kecil makhluk yang bisa masuk rumah bahkan kamarku.

Selain itu menunggu di luar, mereka mau ngapain, aku gak tahu. Apa perlu aku kirim mereka ke rumahmu untuk menjelaskan mengapa mereka suka kumpul depan rumahku?.
Kalau mau nanti kuminta mereka main ke rumahmu deh, pastikan saja jangan tutup cermin di kamarmu. Mereka suka pakai media itu untuk menunjukkan keberadaaan mereka. Cobalah sesekali bersisir di tengah malam. Biasanya dia akan datang dan menemanimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun