Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Kita, Indonesia

5 November 2019   13:56 Diperbarui: 5 November 2019   14:14 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompal Kompak (Dok.Kompal)

"Kampung adalah identitas diri bangsa Indonesia, dengan berbagai karakternya"


Setiap lebaran tiba tradisi mudik adalah tradisi yang ditunggu-tunggu. Berjumpa dengan sanak kadang saudara handai taulan dan jiron tempat kita atau keluarga kita berasal. Eufhoria yang dibagikan oleh sahabat bagaimana persiapannya buat balik kampung yang diimbangi pula berbagai drama mengenai persiapan bahkan pemilihan balik ke kampung mana jika suami istri masing-masing punya kampung halaman.

Tetapi saya tidak pernah mengalami keseruan itu, alasannya sederhana saja saya tidak pernah punya kampung halaman asal.

Kakek nenek saya, baik dari pihak Ayah atau Ibu saya tinggal di Palembang sejak muda, meski mereka mengaku berasal dari Jawa, tetapi tak ada tanah Jawa yang perlu dijenguk.

Seingat saya,  Ayah saya pulang ke tempat ia dilahirkan hanya sekali seumur hidup. Saya juga punya suami yang bernasib sama, keturunan Jawa yang tak punya bumi Jawa lagi untuk dijenguk.  Tetapi kami tidak sendiri, sebagian besar jiron di kampung kami tinggal memang seperti kami, bukan berdarah Palembang ataupun daerah Sumsel lainnya, tetapi dari lahir bertumbuh, berpenghidupan bahkan dikebumikan di sini.

Sebuah kenyataan yang sering saya rasakan bahwa saya seorang Muslim keturunan Jawa pun tetap merasa minoritas kala berada di antara teman-teman yang mampu menjelaskan dengan detail silsilah keluarga hingga tanah asal keluarga, apalagi saat saya mengikuti acara yang dihadiri oleh teman-teman dari kampung adat, saya makin tidak paham identitas asal saya.  Kondisi saya makin menjadi karena saya memiliki muka Batak dengan suara menggelegar berlogat Bahasa Melayu Palembang menjadikan semakin tak jelasnya identitas kesukuan saya.

Tapi untuk mengaku orang Palembang pun sulit, tak ada satu bentuk budaya Sumsel yang saya kuasai, bahkan pernah saya ngobrol dengan para Ibu yang berbahasa asli Sumsel yang memiliki ratusan dialek ini pun membuat saya mengalami gegar budaya.

Terkadang hal ini membuat  saya  tidak merasa ada keterikatan batin dengan tempat saya dibesarkan, sebuah kampung pinggiran kota Palembang ini. Apa yang dapat saya banggakan sebuah kampung yang dikepung kompleks perumahan tanpa akar sejarah dan budaya yang kuat. Rasa iri begitu kuat kala para rekan membanggakan kampung halamannya. Saya tentu tak dapat menandingi karena saya tak punya kampung seperti mereka.


Kami orang Palembang juga

Suatu waktu saya mendapat kesempatan untuk melakukan pengabdian masyarakat di beberapa wilayah desa peduli gambut Sumatera Selatan.  Anggaplah ini sebentuk week end escape untuk merasakan kehidupan sehari-hari mereka, meski hanya sebagai pengamat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun