Ibu Irene C. Sinaga yang memandu diskusi terpumpun kelompok Tanah Air yang membahas segala permasalahan mengenai women empowerement, sebuah isu krusial bahwa pengarusutamaan gender masih menjadi problem negeri ini termasuk dalam pengelolaan tanah dan air, padahal sudah hal yang jamak justru perempuan yang mengola tanah dan air serta sumber daya alam lainnya jauh lebih terbukti dalam melestarikanya. Namun persoalan  berbagai ketimpangan hak perempuan dengan budaya patriarkhi, isu kesetaraan, kemampuan, pemberdayaan, kesejahteraan dan perlindungan dikaji dengan menyisir kisi-kisi berbagai bidang keilmuan, baik secara ekonomi, sosial budaya dan politik.
Kelompok ketiga, kelompok Bahasa yang dipandu Taufik Rahsen, yang membahasa bagaimana pagelaran, festival dan berbagai kegiatan kampong menumbuhkan penyadaran akan nilai-nilai Pancasila dalam balutan kearifan local.
Dinamika diskusi-diskui tersbut mengalir dengan pola musyawarah mencapai mufakat itu.  Dalam sharing pengalaman saat diskusi terpumpun itu pula terungkap bagaimana kegigihan para  pembakti yang hadir, karena mereka relawan yang pergerakanya lebih spontan dan sporadis tanpa perlu direncanakan namun memberi hasil nyata. Diskusi saling silang ini diharapkan semakin memperkuat jejaring untuk memperbesar sumber daya dalam menggali potensi nilai-nilai lokal yang memperkuat penyadaran masyarakat akan nilai-nilai luhur bangsa ini.
Diskusi ini pula memberi saya pencerahan bahwa bangsa ini adalah sekumpulan entitas ciptaan Maha Esa  dengan berbagai  heterogenitasnya berbalut dalam kemanusiaan,  namun saling bersatu padu membentuk satu kesatuan untuk berkehidupan dan menghidupi seluruh sendi-sendi kehidupan dalam semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan Negara ini dalam mencapai kesejahteraan bersama.
jika ditilik dari geografinya , kita mengenal 3 budaya berpenghidupan masyarakat kampung yang hidup di negeri ini yakni agraris (pertanian), forestry (Kehutanan) dan maritim (baik sungai maupun laut).  Dimana  masing-masing kampung dengan berbagai aktivitas sosio,budaya dan ekonominya termasuk kehidupan politiknya, secara turun temurun melahirkan  tradisi serta kebiasaan yang hidup secara turun temurun dan memunculkan keanekaragaman  budaya dan adatnya, ya jika bicara mengenai adat di kampung tentu tak berbasa pada prosesinya semata, tetapi juga  pada perilaku,  hukum yang berlaku termasuk penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang tersedia.
Dengan berbagai  keanekaragaman pola kehidupan masyarakat kampung di Indonesia  ini ternyata ada satu kesamaan yakni pola hidup gotong royong.  Dimanapun kampung berada segala kegiatan dilaksanakan secara bersama dengan semangat kekeluargaan. Hal itu benar-benar tercermin dalam persamuhan ini.
Satu identitas yang sangat tidak ingin hilang, dengan sebuah pemusnahan sejarah dan budaya panjang ini dengan sebuah dalih pembangunan untuk kemajuan bersama.Â
Problem makin kompleks kala upaya keras untuk mempertahankan citra asli kampung, termasuk mempertahankan budaya gotong royongnya. Persolaan ini diperhadapkan dengan persoalan ekonomi dimana Saat ini dengan pembangunan luar biasa demi percepatan ekonomi menggeser ruang-ruang public yang seharusnya menjadi ciri khas kampung untuk saling berinteraksi satu sama lain. Problem lain yang dihadapi oleh kampung penyangga metropolitan adalah krisis identitas selayaknya yang saya alami selama ini tergerus dengan budaya pop akibat pembangunan yang member identitas baru yang tidak mengakar pada sejarah seperti kampung-kampung di negeri ini pada umumnya. Nama sebuah tempat selalu memiliki sejarah yang penuh makna, semakin lama akan makin banyak orang-orang seperti saya yang tidak menyadari kesejarahan kampungnya dan semakin terkikis ikatan batin dengan kampung-kampungnya.
 Saling Silang Budaya
Persamuhan nasional ini  semakin meriah dan tidak monoton, katrena selain selain  pembekalan material dan  diskusi antar pembakti kampung, dilakukan pula pertunjukan seni budaya dari berbagai daerah.  Pembukaan resmi persamuhan ini dilakukan pada hari kedua dengan  pertunjukan tari dan rampag bedug daerah Banten,  monolog pembacaan pidato 1 Juni 1945 yang dibawakan Wawan Setiawan dalam pembukaan yang membawa memicu semangat jiwa pancasila pada setiap peserta. Juga pertunjukan aneka tari, salah satu yang paling memukau saya pribadi adalah Tari Sbo Telsain, yang penuh makna akan kedualatan pangan, gotong royong dan parenting yang sekarang semakin mahal kursu-kursusnya.
Hari ketiga agenda semakin padat karena bertepatan dengan hari sumpah pemuda. Upacara bendera  bukan hal yang langka juga kita lakukan, tetapi menjalani upacara  peringatan hari nasional dengan cara sipil baru kali ini kami rasakan yang diadakan di halaman hotel, Anyer dekat Pantai Marbella Anyer.Â