Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Me Time" Kurayakan bersama Palembang Movie Club

31 Maret 2019   13:26 Diperbarui: 31 Maret 2019   13:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5. Aruna dan Lidahnya
Syukurlah PMC memberi voucher makan, jadi saat menikmati film ini tidak terlalu merasa lapar. Dari novelnya memang Aruna dan Lidahnya bikin lapar, apalagi buat saya pemuja makanan, makan enak adalah salah satu cara "me time" saya. Sempat sedih saat Palembang tidak terpilih sebagai lokasi film ini, hanya Surabaya, Pontianak dan Singkawang. Jadi saya tidak dapat membanggakan pempek dan gulo puan sebagai hasanah kuliner Sumsel seperti yang diceritakan di Novel-nya.

Untuk resep pempek dapat baca di sini, dan apa itu gulo puan dapat dibaca di sini Dari film ini, saya merasa begitu personal karena saat saya kecil Mbah suka membuatkan saya Rawon, sayangnya resepnya tidak sempat kami pelajari.

Menjadi menarik ketika mengangkat persahabatan, hubungan unik ini begitu tergambar. Karena saya memang punya sahabat aneh yang hanya muncul saat saya perlu dan Surabaya adalah salah satu kota tempat kami menikmati kuliner dan jalan kaki berdua as a friend.

Juga Pontianak, yang memiliki budaya yang tak jauh berbeda dengan Sumatera Selatan, budaya Rawa Gambut dengan akulturasi pada kuliner aneka kue lapisnya, pernah saya bahas di sini. Akting aktor dan aktrisnya tidak perlu diragukan, sangat detail termasuk blockingnya. Banyak hal yang terkesan lugu tetapi terasa jleb juga dalam beberapa pesan moral.

Saya merasa kadang ada kesulitan memahami film focus on Wregas ini karena subtittle terjemahan, yang memang menurut saya juga padanan katanya agak sulit untuk tepat menggambarkan dialog. Saya mencoba memahami film batu yang mengangkat filosofi masyarakat Jawa yang dari bahasa saja menurut saya ribet, sangat kaya dengan berbagai klasifikasinya dan sulit mencari padanan katanya baik dalam Bahasa Indonesia ataupun Bahasa Inggris, jadi perlu definisi untuk memahaminya. Apalagi budaya Jawa yang marah pun lebih banyak menyindir melalui kata-kata.

Pun pilihan kata inteprator saat dialog di Aruna dan Lidahnya memilih diksi yang paling halus. Seringkali memang bahasa Inggris dipilih untuk feel free mengungkapkan sarkas yang bagi masyarakat Indonesia tidak santun. Terima kasih PMC untuk kesempatan Movie Talk nya. Semangat terus mendukung perfilman Indonesia.

Selamat Hari Film Nasional.

Kompal
Kompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun