Mohon tunggu...
Kartika Kariono
Kartika Kariono Mohon Tunggu... Pengacara - Ibu Rumah Tangga

Mengalir mengikuti kata hati dan buah pikiran

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jika Diam Dapat Menjadi Pembunuh Diam-diam

11 Desember 2017   22:15 Diperbarui: 11 Desember 2017   22:48 1782
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Bisa diam nggak sih? Bawel amat", sering kita mendengar hal seperti itu?,  atau justru ucapan seperti itu muncul dalam benak kita sendiri?, diam seringkali dipandang hal yang lebih baik, setidaknya tidak menambah beban orang lain yang telah banyak persoalan yang sedang mereka hadapi, terkadang juga menjadi pribadi yang cukup menyikapi diam saja terhadap berbagai persoalan yang muncul juga lebih menenangkan. 

Apalagi seringkali media sosial seringkali menjadi "penggorengan" berita yang begitu mudah disebarkan hanya dengan mengandalkan jempol yang sekali klik. Jadi terkadang diam menjadi pilihan terbaik yang mendorong kita cenderung apatis terhadap apapun yang terjadi disekitar kita.

 Tidak sedikit berita menyesatkan merangsek dalam pikiran kita begitu mudah, juga orang-orang di sekitar kita. Membenamkannya menjadi sesuatu yang dianggap benar oleh masyarakat kita, hal ini juga terjadi pada persoalan penyebaran HIV-AIDS di dunia termasuk di Indonesia.

Pada zaman dahulu, HIV-AIDS dipandang penyakit "kutukan " dari Tuhan, penyakit bagi para pendosa. Apakah padangan demikian telah berubah, tampaknya sampai saat ini pun masih ada pandangan demikian. Bagaimana tidak, bahkan ketika ada  memperoleh sedikit "pencerahan" mengenai penularan HIV-AIDS, justru opini yang berkembang.

Bukankah hal biasa ketika kita mendapat pesan berantai melalui sosial media mengenai keinginan para ODHA untuk menyebarkan penyakitnya dengan berbagai cara, sebut saja dari terompet tahun baru, buah kalengan yang ditetesi darah mereka, modus melukai lalu memberi band-aid kepada yang terluka agar virus HIV-AIDS juga menular kepada mereka, memakai tusuk gigi lalu mengembalikannya ke tempat semula dan banyak lagi yang memberi cap bahwa dengan tertular HIV mereka berubah menjadi monster dan menginginkan semua manusia menjadi seperti mereka.

Sebuah stigma sebagai "manusia yang dikutuk Tuhan" pun akan disematkan kepada ODHA, jadi ada anggapan bahwa memfitnah "para terkutuk" bukanlah sebuah kejahatan.  

Padahal mereka lupa bahwa penyebar fitnah justru yang sesungguhnya melupakan fitrahnya sebagai manusia, termasuk yang mendiamkan peredaran hoax ini tanpa berupaya mengklarifikasinya. 

Hayo ada yang mau protes  "Kok yang diam saja  ikutan salah?".  Setidaknya ini menjadi sedikit pengakuan dosa saya yang hanya diam saja terhadap persoalan ini. Jadi saya ingin sharing mengenai kegulanahan saya mengenai dosa saya satu ini.

Pada Senin lalu ,tepatnya tanggal 5 Desember 2017 bertempat di Hotel Excelton Palembang, saya berkesempatan untuk menghadiri  di Workshop Blogger Kesehatan yang diselenggarakan Kementrian Kesehatan. Workshop ini merupakan bagian dari kegiatan Germas (Gerakan Masyarakat Hidup Sehat) dalam rangka menyambut hari AIDS sedunia yang biasanya dirayakan tanggal 1 Desember setiap tahunnya.

Salah satu sessi dalam workshop ini adalah testimoni dua orang ODHA. Beliau berdua adalah role model ODHA Kemenkes,  Ayu Oktariani dan Antonio Blanco, mereka menceritakan bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai ODHA.  Sebagai orang yang termasuk cuek dengan persoalan ini,saya tertegun ketika mendenger testimoni mereka. 

Dari tampilan keduanya yang  energic dan segar, ditambah tampilan yang cantik dan ganteng tidak akan ada orang yang mengira mereka adalah ODHA, dan memang demikian, ODHA tidak dapat dideteksi hanya dari tampilan fisik sesorang . ODHA hanya dapat deteksi melalui tes HIV. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun