Mohon tunggu...
Karresa Esa
Karresa Esa Mohon Tunggu... Human Resources - Semakin tinggi ilmu kita, semakin tawadhu

Lahir dan besar di Bontang, Kaltim dan pernah kuliah di Sleman, Yogyakarta.. Id Facebook : Karresa Kar Id Instagram : @Karresa blog : https://duniapenablog.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mang Aen, Harapan Seorang Petani

28 Januari 2016   16:51 Diperbarui: 2 September 2019   13:50 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumber Gambar :  https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSlca6EByVqqeilZpobXdfUYFivBcNbWFARH9DQCBPpNh55YpNBFNLU6YP2vQ

Liburan telah tiba. Liburan akhir tahun selama seminggu menjadikan suasana kantor menjadi meriah menjelang berakhirnya pekerjaan kita masing-masing. Teman-teman kantor sudah sepakat untuk berlibur ke pulau Derawan di Kabupaten Berau. Mereka sudah menyiapkan rencana jauh-jauh hari untuk berlibur, menghilangkan penat rutinitas pekerjaan sehari-hari. Di dalam hiruk pikuk suasana bahagia di goup medsos kita, ada salah satu karyawan yang tidak dapat merasakan euforia tersebut yaitu saya. Tambahan pekerjaan dalam memasarkan sebuah produk di suatu desa terpencil di pulau Jawa dibebankan kepada saya. Alasannya ialah saya mendapatkan giliran saat liburan kali ini harus terjun ke lapangan, dalam hal ini ialah ke suatu desa terpencil yang berada di pulau Jawa. Mau tak mau harus saya kerjakan demi kesejahteraan di masa yang akan datang.

Akhirnya saya meninggalkan kota tempat saya bekerja sekaligus kota kelahiran saya. Dengan menempuh perjalanan darat selama 5 jam menuju bandara. Sesampai di bandara, akhirnya saya take off menuju tempat dimana saya akan memasarkan produk selama sebulan. Perjalanan melalui udara memakan waktu 2 jam. Setibanya saya di desa terpencil tersebut, saya menginap di kantor pemasaran tempat saya bekerja. Dalam istirahat saya, tak lupa saya melihat foto-foto teman-teman kantor yang asyik berlibur dan tak sedikit pula yang menggoda saya karena tidak mengikuti liburan yang teman-teman nikmati. Saya pun hanya tersenyum dan berkata "ya sudah lah dinikmatin saja pekerjaan lembur ini."

Keesokan hari nya, di pagi hari yang begitu cerah saya bergegas untuk bekerja akan tetapi tiba-tiba atasan menyuruh saya untuk beristirahat karena saya baru saja datang ke tempat ini. Kesempatan ini tak saya sia-sia kan untuk keluar kantor berjalan mengitari rumah-rumah kayu masyarakat disana sembari melihat pemandangan berupa hamparan sawah di bawah kaki bukit yang begitu luas. Udara segar menyapa jiwa ini dan menyentuh relung qolbu dengan menghirup sangat dalam udara-udara polos yang tidak pernah tersentuh oleh keperkasaan polusi-polusi pabrik di perkotaan.  Pikiran pun tenang sejenak oleh suasana di pedesaan tempat saya bekerja. Beristirahat di suatu pendopo beralaskan kayu dan beratapkan seng-seng tua dan Terbesit kata di dalam benakku, "seandainya saya disini hanya liburan, tidak bekerja, nyaman banget pastinya". Tak lama saya sedang menikmati suasana itu, seseorang datang  menyapa saya. Dengan membawa cangkul di pundak kiri nya dan membawa bekal di tangan kanan serta di kepalanya memakai topi caping. "Assalamualaikum mas, tegur Pak Tani. "Wa'alaikumsalam", balas ku. Perkenalan pun dimulai oleh Pak Tani.

"Mohon maap mas, mas nya baru datang pertama kali ya ke desa ini ?" Tanya Pak Tani dengan senyuman.

"Iya pak, baru sehari saya disini". "Saya kebetulan lagi dapat tugas di kantor cabang pemasaran di desa ini". Balas saya seraya tersenyum.

"Oow pantesan aku baru lihat sampeyan". "kalo boleh tahu mas nya ini asalnya dari mana ?" Tanya Pak Tani.

"Dari Bontang, Kalimantan Timur". Jawab saya.

"Jauh juga ya mas, ya selamat datang di desa kami mas". Balas Pak Tani dengan senyuman.

"oow iya pak". seraya tersenyum. "Bapak yang punya sawah ini kah pak"? Ujar ku.

"Iya mas cuma 2 petak saja"."Yaudah mas, tar ngobrol-ngobrol nya di lanjut, saya mau bertani dulu di sawah". "Oiya, panggil saja aku Mang Aen". Sembari menuju sawah untuk bekerja.

"Siap Mang Aen". Jawab saya.

Sebenarnya saya ingin mengobrol banyak tentang keseharian Mang Aen, namun beliau harus bergegas bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Akhirnya saya dengan setia menunggu Mang Aeng sembari melihat nya bercocok tanam. Dalam hening ku memandang aktifitas Mang Aen yang tak kenal lelah. Panas matahari yang menyengat kulit keriputnya, keringat yang menetes dari rambut nya hingga membasahi pipinya, sesekali beliau mengusap keringat di pipinya dengan memakai kain yang berada di lengan bajunya, tak menyurutkan cangkulan demi cangkulan beliau dalam mengolah tanah surga yang telah diberikan Tuhan kepada Negara kita Indonesia demi mengais rezeki untuk kehidupan keluarga Mang Aeng. Pak Tani memiliki berbagai faktor produksi sendiri termasuk lahan pertanian, cangkul dan lain-lain yang ia olah sendiri, namun hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan hidup keluarganya yang sederhana. Kesederhanaanya mengilhami penulis dalam mensyukuri segala sesuatu yang kita miliki dan perjuangan nya menjadikan acuan penulis untuk selalu bekerja keras dalam keterbatasan yang kita miliki.

Akhirnya Mang Aen telah selesai bercocok tanam. Beliau menghampiriku untuk berteduh di sebuah pendopo di sekitar sawah. Tak lupa Mang Aen menawariku bekal yang ia bawa dari rumah, ikan asin, nasi dan sambal. Saya pun menolak karena jatah yang ia bawa hanya 1 sehingga saya khawatir kalau saya ikut memakannya akan mengurangi jatah makan siangnya. Namun Mang Aen tetap bersikeras untuk memakan nya bareng-bareng, ya sudahlah saya ikut memakannya walau hanya dikit saja. Walaupun serba kekurangan, Mang Aen tetap berbagi. Selesai kita makan berdua di dalam kesederhana'an, saya memulai perbincangan dengan Mang Aen.

"Mang, udah berkeluarga kh ?

"Sudah mas, anak saya 3 udah sekolah semua. Yang paling tua kelas 2 SMA". Jawab Mang Aen.

"Kalo mas udah bekeluarga belum" ? berbalik bertanya Mang Aen.

"Belum mang, masih single hehehe". Jawab ku sambil tertawa.

"Oiya mang, apakah cukup hasil dari bertani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari istri dan anak-anak mang"?

"Alhamdulillah cukup mas, asalkan produk-produk beras impor tidak menguasai pasar-pasar disini, biasanya pada akhir tahun, produk dari luar khususnya Thailand yang banyak dijual di pasaran ini". Mang aen menjawab.

"Itu karena kelangkaan beras di daerah sini Mang Aen, maka dari itu pemerintah mengambil kebijakan impor beras agar harga stabil lagi karena kebutuhan akan beras di daerah sini tepenuhi". Saya mencoba memberi penjelasan kepada Mang Aen.

"Duh mas, aku heran kenapa sih pemerintah harus impor, kan bisa biaya untuk impor dialihkan ke teknologi, kalo gak cukup uang nya ditambahin lah anggarannya untuk teknologi pertanian. Mas pasti mengerti kan, hasil pertanian kita kalah dengan negara maju karena teknologinya, padahal negara kita lahan pertaniannya sangat lah luas". Ujar Mang Aen menggebu-gebu.

"Bener itu Mang. Kalo gagal panen mang, ada jaminan gak dari pemerintah daerah sini ? Setahu saya kalau di luar negeri tuh ada jaminan petani yang mengalami gagal panen".  Saya bertanya kembali sembari memberi sedikit informasi.

"Kalau gagal panen ya nasib mas, kami pasti merugi, tidak ada jaminan dari pemerintah daerah sini. Lagian kalau kita panen banyak mas, hasil kami dibayar murah, padahal sampai ke konsumen harganya bisa melejit. Ini tidak terlepas dari permainan para tengkulak yang menimbun beras, lonjakan harga tersebut sama sekali tidak dirasakan keuntungannya oleh kami para petani dan pedagang kecil. Sebab, harga pembelian para tengkulak dari petani tidak tinggi. Sementara dengan menahan stok, para tengkulak  bisa mendapatkan harga jual yang tinggi dari masyarakat". Jawab Mang Aen.

"Duh segitunya ya mang kondisi Mang Aen dan kawan-kawan disini sebagai petani beras. Kalau untuk harga pupuk urea bersubsidi disini pak ? Setau saya harga eceran tertinggi(HET) pupuk urea bersubsidi untuk saat ini Rp. 1400/kg". Saya kembali bertanya sembari memberikan sedikit Informasi.

"Sebenarnya harganya cukup murah dan sangat terjangkau mas, namun setelah melewati beberapa pintu harganya semakin membengkak dan tentunya memberatkan kami sebagai petani. Kemarin-kemarin aku beli pupuk bersubsidi harganya sampai 4000/kg mas, jauh banget pembengkakan harganya. Aku berharap pemerintah dapat memberikan pengawasan hingga ke tingkat bawah agar pupuk bersubsidi dapat dirasakan harga murahnya oleh petani." Jawab Mang Aen penuh kesal.

Begitu banyak Masalah yang dirasakan Mang Aen sebagai petani. Saya mencoba untuk menghibur Mang Aen dengan mengarahkan arah pembicaraan yang lebih santai.

"Mang Aen nama kepanjang Mang Aen apa ?" Tanyaku penuh penasaran.

"Nama lengkap ku Marhaen mas". Jawab Mang Aen.

"Wuihh itu nama lengkap Mang Aen kayak ideologi yang dibuat Bapak Proklamator kita, Bung Karno". Ujar ku seraya terkejut.

"Iya mas, aku tahu kok. Bapakku dulu memberi nama ini karena kagum akan Ideologi Pak Sukarno yang sangat memperhatikan kaum kami para petani". Balas Mang Aen.

"Iya semoga aja kedepannya orang-orang elit  di dalam pemerintahan negara kita ini lebih memperhatikan kaum petani. Apa yang dicita-citakan bapak proklamator kita terhadap negara ini tidak tergerus dengan ganasnya modal-modal asing untuk membangun negara ini. Jangan sampai negara Agraris sebagai karakter bangsa Indonesia hilang diterkam oleh keperkasa'an barang-barang Impor".

Setelah 2 jam perbincangan, akhirnya Mas Aen ijin pamit duluan, karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ia tinggalkan. Selama seminggu lebih saya bekerja di desa ini, selalu saya sempatkan untuk bertemu Mas Aen dan keluarga. Bercerita penuh makna kesederhana'an yang menginspirasi saya untuk selalu semangat dalam bekerja. Pekerjaan yang saya dapatkan di saat teman-teman kantor berlibur menjadikan ku lebih mensyukuri hari-hari lembur yang diberikan perusahaan oleh saya.

 

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun