"Saya tidak ingin hidup dalam kemewahan, saya ingin hidup dekat dengan rakyat," tegas Sunarto.
Kata-kata ini bukan sekadar retorika, tetapi sebuah cerminan nyata dari tindakan sehari-hari yang ia lakukan, menjadikan dirinya sosok yang mudah dijangkau oleh masyarakat. Kesederhanaan ini tentu sangat berbeda dengan apa yang sering terlihat dalam dunia pejabat kita. Pengawalan yang berlebihan, perlakuan khusus, serta kemewahan sering kali menjadi identitas yang melekat pada para pemimpin negara. Meskipun hal ini dianggap sebagai bagian dari protokol dan penghormatan, sering kali di baliknya terdapat ketimpangan yang mengorbankan kepentingan rakyat. Sunarto menunjukkan bahwa kehormatan sejati tidak datang dari fasilitas mewah atau penghormatan berlebihan, melainkan dari seberapa besar seorang pemimpin mampu menjalankan amanah dengan penuh kejujuran dan kesederhanaan.
Kehidupan yang Merendah dan Menginspirasi
Di tengah kemegahan yang kerap menyertai pejabat tinggi, Sunarto, Ketua Mahkamah Agung, tampil dengan kesederhanaan yang menyentuh hati. Dalam banyak kesempatan, ia lebih memilih untuk menghindari fasilitas mewah yang biasa diterima pejabat setingkatnya. Saat berada di bandara, misalnya, Sunarto duduk tenang bersama istrinya tanpa pengawalan ketat, seolah tak ada jarak antara dirinya dan rakyat.
"Jangan repot-repot, saya sudah biasa," ujarnya halus menolak tawaran mobil dinas dengan sikap rendah hati. Pilihan hidup yang jauh dari kemegahan ini memberikan pesan yang kuat bahwa sejatinya seorang pemimpin tidak perlu terlihat besar, tetapi justru merendah dan berbaur dengan rakyat yang dipimpinnya.
Kesederhanaan Sunarto bukan hanya terlihat dalam tindakannya, tetapi juga dalam prinsip hidup yang dipegang teguhnya. Dalam menjalankan tugasnya, ia tidak pernah menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau kemewahan. Keputusan-keputusan yang ia ambil selalu mengutamakan keadilan, bukan keuntungan, dan ia menjunjung tinggi integritas serta kejujuran. Sunarto membuktikan bahwa sesungguhnya kesederhanaan seorang pemimpin adalah kekuatan terbesar yang dapat menggerakkan perubahan, bukan kemewahan yang justru menjauhkan diri dari rakyat.
Mendengarkan dan Melayani: Pilar Kepemimpinan Sejati
Sunarto, Ketua Mahkamah Agung, memperlihatkan sikap yang jarang ditemukan pada pejabat tinggi: melayani, bukan memerintah. Bagi Sunarto, pemimpin yang sejati adalah mereka yang mampu mendengar, memahami, dan memenuhi kebutuhan rakyat tanpa memandang status atau kedudukan. Ia tidak melihat jabatannya sebagai alat untuk memperoleh kemegahan, melainkan sebagai amanah untuk memberikan pelayanan terbaik. Ketika mengunjungi kampus-kampus tempat ia mengajar atau berbicara dengan masyarakat, Sunarto selalu berusaha lebih dari sekadar menjadi simbol kekuasaan. Ia berbicara langsung dengan mahasiswa, mendengarkan keluhan mereka, memberikan dukungan moral, dan memberikan inspirasi untuk menjaga integritas di dunia hukum.
Dalam setiap interaksinya, Sunarto menunjukkan bahwa kepemimpinan yang sejati terletak pada kemauan untuk mendengarkan, berbagi, dan melayani. Ia tidak merasa lebih tinggi dari orang-orang yang ia pimpin, melainkan sebaliknya, ia berusaha merendahkan diri dan menyatu dengan mereka. "Kita harus bisa mendengarkan suara mereka, karena mereka adalah generasi penerus," kata Sunarto dalam sebuah kesempatan. Dengan prinsip ini, Sunarto menunjukkan bahwa seorang pemimpin bukanlah sosok yang memerintah dari atas, melainkan seorang pelayan yang dengan tulus mengabdikan diri untuk kesejahteraan rakyat. Keberadaannya di tengah masyarakat adalah contoh nyata dari pemimpin yang hadir untuk memberi, bukan untuk menuntut.
Integritas yang Tak Tergoyahkan: Hukum sebagai Landasan Kepemimpinan