Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perlukah Belajar Hidup Susah?

14 Januari 2025   17:33 Diperbarui: 15 Januari 2025   18:53 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengumuman kelulusan SMA/SMK sederajat menyisakan problem serius. Sebagian dari mereka yang lulus jenjang SMA/SMK akan terserap ke perguruan tinggi, baik PTN maupun PTS. 

Namun yang lebih besar akan memasuki lapangan kerja, baik formal maupun informal. Masalahnya, di tengah sempitnya lapangan kerja belakangan ini, daya tampung dunia kerja tidak sebanding dengan jumlah angkatan kerja yang ada.

Mereka yang tidak tertampung di perguruan tinggi dan lapangan kerja akan menjadi penganggur-penganggur baru.

Persoalan utamanya ialah tidak semua anak siap menjandi penganggur dengan segala konsekuensinya. Masih lebih mending mereka yang dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi. 

Terbuka kesempatan memperoleh pembinaan lanjutan. Namun tidak bagi mereka yang kurang beruntung dan terpaksa menjadi penganggur.

Secara mental semua orang tidak siap menjadi penbganggur. Mereka yang pernah bekerja, meski berasal dari keluarga kekurangan, sebagian besar tidak siap menjadi penganggur dan menjalani hidup susah. Dunia sekolah dengan status pelajar memberi batas dan jarak yang tegas dengan mereka yang belum bekerja dengan berbagai alasan.

Apalagi fakta membuktikan status pelajar dengan pengangguran mempunyai tempat yang berbeda di lingkungan masyarakat. Seorang pelajar tidak peduli latar belakang sekolah dibebaskan dari tanggung jawab mencari pekerjaan. Jika pun berkeliaran di mal, atau kongkow di tepi jalan dengan berpakaian seragam, masih bisa dipahami.

Diakui bahwa seorang lulusan SMA/SMK tidak mempunyai kesiapan mental memadai ketika masuk dunia pengangguran. Kebanyakan anak tidak disiapkan melakoni hidup seperti itu. Mereka dibiarkan sendirian terlempar dari pusaran dan menghadapi hidup yang sesungguhnya. Akibat tidak ada kesiapan, kebanyakan terbentuk oleh alam.

Jika beruntung, mereka akan berkembang ke arah yang positif. Namun tak jarang mereka jatuh dalam pelukan penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, atau geng-geng remaja. Dorongan kebutuhan hidup memaksanya kreatif daripada sebelumnya. Sayangnya, kreativitas muncul lebih karena terpaksa, dan kadang-kadang negatif atau cenderung merugikan orang lain.

Oleh karena itu, belajar menjalani hidup susah perlu diajarkan kepada anak. Mereka perlu mengalami bagaimana rasanya kekurangan. Mereka perlu mengetahui bagaimana rasanya dalam musim paceklik. Anak-anak yang lahir di desa dengan segala kekurangan terbiasa hidup kekurangan. Jika ada nasi, mereka bisa makan umbi-umbian, ketela, talas, bahkan gadung yang bisa beracun.

Tidak cukup mereka mendapat informasi dari televisi atau koran soal ada orang yang makan nasi aking atau ditolak di rumah sakit karena tidak ada biaya. Mereka perlu mengalami sendiri bagaimana rasanya menjadi orang susah dan kekurangan.

Tidak pada tempatnya anak dididik menjadi pemimpin lepas dari kesusahan. Angan-angan hidup berkecukupan seperti digambarkan televisi perlu dibuang jauh. 

Bukannya mereka tidak mampu mencapainya. Demi mengubah diri keluar dari kesusahan yang dihadapi, perlu kerja keras. Kemah, aoutbond, dan mendaki gunung adalah cara-cara modern agar anak merasakan krisis dan menjalani hidup susah.

Celakanya, kebanyakan orang tua justru mengatakan jangan sampai anak mengalami kesusahan seperti halnya orang tuanya pada masa lalu. Maka demi "balas dendam", anak justru dimanjakan. Segala permintaan dipenuhi. Dalam pemahamannya, anak yang dipenuhi segala kebutuhannya akan lebih baik dari orang tuanga. 

Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak orang tua justru sengsara dan terlunta-lunta ketika ternyata anaknya tidak mau merawat ketika orang tua memasuki usia lanjut.

Anak-anak bentukan keluarga kecukupan justru lebih sering membawa orang tuanya ke panti jompo karena tidak mau direpotkan. Einstein percaya untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya adalah memeras keringat alias kerja keras. 

Spirit kerja keras menjadi motivasi utama mereka yang tidak pernah puas dengan yang telah diraih selama ini. Kebiasaan menyuapi anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa, rasa tertekan, rasa konflik, atau krisis panjang sehingga jiwa getas (Mujiran, Koran Jakarta, 26 Juli 2008).

Tanpa tempaan, stressor jiwa menjadi lembek. Bila tidak berletih berdamai dengan stres, hidup akan gagal andai harus jatuh miskin. Tugas guru dan orang tua adalah mengajak anaknya berempati pada kesusahan hidup orang lain. 

Anak perlu mengalami berbagai macam stressor dalam hidupnya. Jika perlu, anak di-live in-kan di panti jompo atau panti asuhan agar tahu betapa berharganya kehidupan.

Anak-anak yang tidak bisa menghargai makanan perlu tinggal bersama orang miskin di lembaga-lembaga sosial. Mereka juga perlu diajak mengerti bahwa di sawah satu bulir padi yang jatuh saja dimabil petani.

Variasi stressor, anak belajar mengalami berbagai macam tekanan hidup. Anak perlu mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan krisis dalam hidup.

Anak juga tidak lantas putus asa ketika mengalami kegagalan. Bila tidak terbiasa dengan hidup susah, sontekan kecil saja diselesaikan dengan bunuh diri. 

Gara-gara putus cinta, kehilangan kerja, atau sulit mencari pekerjaan, lantas mengakhiri hidup. Dalam pendidikan mereka yang terbentuk akan menep.

Dengan terbiasa mengalami beragam situasi sulit, anak lebih terbiasa ketika suatu saat mengalami perubahan hidup, termasuk ketika harus mengalami kesusahan. 

Menjadi orang kaya dan berkecukupan semua orang tidak perlu belajar. Untuk menikmati kehidupan serba berkecukupan, semua orang tidak akan canggung menjalaninya. Namun untuk menjalani hidup susah, kebanyakan orang tidak siap.

Tanpa terbiasa hidup susah, dan anak hidup berkecukupan, ia tidak akan tahan banting. Lebih banyak anak sukses lahir dari keluarga tidak berkecukupan. Hidup prihatin yang dijalani semenjak dini telah menempanya menjadi orang yang tegar dan tabah menghadapi semua kesulitan.

Mengajarkan prinsip hidup ugahari atau menunda pemuasan adalah keharusan. Ugahari berarti menggembleng seseorang ke arah hidup prihatin selain menjunjung tinggi disiplin dan kebenaran. 

Anak-anak yang terbiasa menunda pemuasan, misalnya, tampak dari cara mereka makan yang menyisihkan yang enak seperti daging dan telur untuk dimakan belakangan.

Mengajar anak hidup susah juga perlu diberi tahu bahwa dalam hidup uang bukanlah segala-galanya. Perlu ditanamkan bahwa sahabat lebih bernilai daripada uang. 

Pepatah lama mengatakan, satu orang musuh sudah terlampau banyak. Mempunyai uang banyak, tetapi banyak musuh tidak ada artinya. Tak semua semerbak kehidupan dapat dipuaskan dengan uang. Hanya mereka yang disiapkan dengan baik yang mampu menghadapi ganasnya hidup belakangan ini. 

Maka, di tengah gugatan pendidikan yang mengabaikan proses belakangan ini, wacana pendidikan ugahari atau matiraga relevan dikembangkan lagi. Wallahu a'lam.

Penulis adalah guru SMAN 13 Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun