Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Perlukah Belajar Hidup Susah?

14 Januari 2025   17:33 Diperbarui: 15 Januari 2025   13:23 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak pada tempatnya anak dididik menjadi pemimpin lepas dari kesusahan. Angan-angan hidup berkecukupan seperti digambarkan televisi perlu dibuang jauh. 

Bukannya mereka tidak mampu mencapainya. Demi mengubah diri keluar dari kesusahan yang dihadapi, perlu kerja keras. Kemah, aoutbond, dan mendaki gunung adalah cara-cara modern agar anak merasakan krisis dan menjalani hidup susah.

Celakanya, kebanyakan orang tua justru mengatakan jangan sampai anak mengalami kesusahan seperti halnya orang tuanya pada masa lalu. Maka demi "balas dendam", anak justru dimanjakan. Segala permintaan dipenuhi. Dalam pemahamannya, anak yang dipenuhi segala kebutuhannya akan lebih baik dari orang tuanga. 

Namun, kenyataannya tidak demikian. Banyak orang tua justru sengsara dan terlunta-lunta ketika ternyata anaknya tidak mau merawat ketika orang tua memasuki usia lanjut.

Anak-anak bentukan keluarga kecukupan justru lebih sering membawa orang tuanya ke panti jompo karena tidak mau direpotkan. Einstein percaya untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya adalah memeras keringat alias kerja keras. 

Spirit kerja keras menjadi motivasi utama mereka yang tidak pernah puas dengan yang telah diraih selama ini. Kebiasaan menyuapi anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa, rasa tertekan, rasa konflik, atau krisis panjang sehingga jiwa getas (Mujiran, Koran Jakarta, 26 Juli 2008).

Tanpa tempaan, stressor jiwa menjadi lembek. Bila tidak berletih berdamai dengan stres, hidup akan gagal andai harus jatuh miskin. Tugas guru dan orang tua adalah mengajak anaknya berempati pada kesusahan hidup orang lain. 

Anak perlu mengalami berbagai macam stressor dalam hidupnya. Jika perlu, anak di-live in-kan di panti jompo atau panti asuhan agar tahu betapa berharganya kehidupan.

Anak-anak yang tidak bisa menghargai makanan perlu tinggal bersama orang miskin di lembaga-lembaga sosial. Mereka juga perlu diajak mengerti bahwa di sawah satu bulir padi yang jatuh saja dimabil petani.

Variasi stressor, anak belajar mengalami berbagai macam tekanan hidup. Anak perlu mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan krisis dalam hidup.

Anak juga tidak lantas putus asa ketika mengalami kegagalan. Bila tidak terbiasa dengan hidup susah, sontekan kecil saja diselesaikan dengan bunuh diri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun