Mohon tunggu...
Karnita
Karnita Mohon Tunggu... Guru - Guru

"Aku memang seorang pejalan kaki yang lambat, tapi aku tidak pernah berhenti." — Abraham Lincoln.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Quo Vadis Pengawasan Kebijakan Pendidikan: Antara Anomali dan Realitas Pahit?

11 Januari 2025   18:55 Diperbarui: 11 Januari 2025   18:55 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Quo Vadis Pengawasan Kebijakan Pendidikan:  Antara Anomali dan Realitas Pahit

Oleh Karnita

 

"Quo vadis, Domine?"—kemana engkau pergi, Tuhan? Begitulah pertanyaan yang pernah dilontarkan seorang murid kepada gurunya, yang kini juga kita ajukan kepada kebijakan pendidikan di negeri ini. Ke mana arah pengawasan pendidikan yang sejatinya bertugas melindungi kualitas dan keberlanjutan sistem pendidikan kita? Pengawasan yang seharusnya menjadi pilar utama, kini malah terjebak dalam anomali dan paradoks yang mengaburkan tujuan mulia dari pendidikan itu sendiri.

 

Kebijakan pendidikan di Indonesia kerap kali dihadapkan dengan kontradiksi. Di satu sisi, pemerintah gencar merumuskan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Namun di sisi lain, implementasi kebijakan tersebut sering kali terhambat oleh pengawasan yang tidak optimal, bahkan cenderung tidak transparan. Dalam hal ini, kita seperti sedang berjalan di atas dua kaki yang tidak seimbang—mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik, tetapi sering kali tersandung oleh ketidaksesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.

 

Anomali pertama yang bisa kita lihat adalah betapa banyaknya kebijakan pendidikan yang dikeluarkan tanpa adanya evaluasi yang jelas terkait pengawasan. Sebuah kebijakan bisa saja diluncurkan dengan semangat yang tinggi, tetapi jika tidak disertai pengawasan yang baik, hasilnya seringkali jauh dari harapan. Sejatinya, pengawasan bukanlah sekadar formalitas belaka. "Acta non verba," kata orang Latin—tindakan, bukan kata-kata. Namun, kenyataannya, banyak kebijakan yang terabaikan begitu saja di lapangan karena kurangnya pengawasan yang efektif.

 

Paradoks kedua yang muncul adalah ketika kebijakan yang satu berusaha meningkatkan kualitas pendidikan, sementara kebijakan lainnya justru membuat beban pendidikan semakin berat. Hal ini terjadi ketika pengawasan kebijakan pendidikan menjadi terpecah—terlalu fokus pada administrasi dan laporan formal, tanpa mempertimbangkan kondisi real di lapangan. Guru dan tenaga pendidik lainnya menjadi terjebak dalam rutinitas administrasi yang membebani, sementara kualitas pengajaran yang sebenarnya terlupakan begitu saja. "Mati lampu di tengah jalan," ibarat pepatah, banyak guru yang terhalang semangat mengajarnya oleh beban administratif yang tiada habisnya.

 

Beban administratif ini menjadi sebuah ironi. Di saat kebijakan pendidikan terus digembar-gemborkan untuk meningkatkan kualitas, pengawasan kebijakan yang ada justru menjadi penghalang terbesar. Para guru yang seharusnya fokus mengajar dan memberi inspirasi kepada siswa, justru terpaksa menyisihkan waktu untuk mengisi laporan dan formulir yang panjangnya tak berujung. Kita seperti memasukkan bola emas ke dalam kotak yang sempit—pengawasan pendidikan jadi tidak efektif karena tidak ada ruang untuk inovasi.

 

Di sisi lain, jika kita menengok pada sistem pengawasan pendidikan, kita akan melihat bahwa banyak kebijakan yang gagal dieksekusi dengan baik akibat minimnya pemahaman tentang tantangan yang ada di lapangan. "Bagai menanam pohon di tanah kering," kebijakan tersebut hanya akan mati sia-sia jika tidak diberikan perhatian lebih. Sebagian besar pengawasan yang dilakukan terkesan hanya formalitas—sebuah ritual yang tidak menuntut akuntabilitas yang sesungguhnya dari kebijakan yang diterapkan.

 

Implikasi dari pengawasan yang lemah adalah kurangnya transparansi dalam distribusi anggaran pendidikan. Kita sering mendengar pernyataan bahwa anggaran pendidikan meningkat dari tahun ke tahun, tetapi sering kali kita tidak tahu ke mana anggaran tersebut sebenarnya dialokasikan. "Anggaran pendidikan bukan uang haram," seperti yang sering digembar-gemborkan, tetapi pada kenyataannya, rakyat tidak mendapatkan laporan yang jelas mengenai pengelolaannya. Tanpa transparansi yang jelas, kebijakan pendidikan akan menjadi semacam janji yang dibiarkan menguap begitu saja.

 

Sebagai alternatif, pengawasan kebijakan pendidikan harus didorong untuk lebih melibatkan masyarakat, terutama para guru dan orang tua. "Populus vult decipi," rakyat seringkali ingin dibodohi—jadi jangan biarkan mereka tetap dalam kebingungannya. Pemerintah seharusnya memberikan ruang lebih bagi masyarakat untuk ikut serta dalam mengawasi dan memberikan masukan terhadap kebijakan pendidikan. Pengawasan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga menjadi hak setiap warga negara, terutama yang terlibat langsung dalam pendidikan.

Tantangan pengawasan kebijakan pendidikan juga terletak pada ketidakjelasan dalam peran dan tanggung jawab setiap pihak. Sejatinya, kebijakan pendidikan tidak hanya melibatkan kementerian pendidikan, tetapi juga seluruh elemen negara. "Simul stabunt, simul cadent," kata pepatah Latin—bersama-sama kita berdiri, bersama-sama kita jatuh. Maka, pengawasan yang baik memerlukan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan untuk memastikan keberhasilan implementasi kebijakan.

 

Keterbukaan informasi juga menjadi kunci penting dalam mewujudkan pengawasan yang efektif. Pengawasan yang kuat tidak akan pernah terwujud jika tidak ada transparansi yang cukup mengenai kebijakan dan implementasinya. Ketidakjelasan dan ketertutupan informasi hanya akan semakin memperburuk ketidaksesuaian antara kebijakan dan pelaksanaan di lapangan. "Nihil sub sole novum," tidak ada yang baru di bawah matahari—kebijakan yang baik tanpa pengawasan yang tepat hanya akan menjadi sejarah kelam yang terulang.

 

Kesimpulannya, pengawasan kebijakan pendidikan harus menjadi lebih dari sekadar formalitas. Pengawasan yang efektif memerlukan komitmen yang kuat, partisipasi masyarakat yang lebih luas, dan keterbukaan informasi yang memadai. "Acta non verba," lagi-lagi kita harus ingat bahwa tindakan lebih penting daripada sekadar ucapan belaka. Tanpa pengawasan yang tepat, kebijakan pendidikan hanya akan menjadi angan-angan belaka, jauh dari harapan rakyat dan para pendidik. Mari kita bekerja sama untuk mewujudkan pengawasan yang lebih baik, demi pendidikan yang lebih berkualitas dan merata.

 

Penulis adalah  guru SMA Negeri 13 Bandung

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun