Mohon tunggu...
Karmani Soekarto
Karmani Soekarto Mohon Tunggu... Novelis - Data Pribadi

1. Universitas Brawijaya, Malang 2. School of Mnt Labora, Jakarta 3. VICO INDONESIA 1978~2001 4. Semberani Persada Oil 2005~2009

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Wajarkah Sumbangan 225M untuk Rio?

5 Maret 2016   23:51 Diperbarui: 6 Maret 2016   08:54 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masih segar dalam ingatan pesan pak Harto, dadi uwong Ojo gumunan, Ojo Kagetan.
Gumunan artinya gampang heran atau mudah kagum. Ojo Gumunan adalah larangan untuk tidak mudah kagum atau heran dengan keadaan dan peristiwa yang ada di dunia ini.

Masyarakat kita sekarang ini mudah sekali untuk gumun atau kagum terutama ke hal hal bersifat materi dan duniawi.
Nah apa hubungannya pesan itu dengan Rio Harianto yang memulai menapak karirnya di F1.

Rio membutuhkan dana untuk membayar team Manor sebesar 225M. Besarkah itu? Bagi kita tentu besar sekali bila diukur dengan tingkat daya beli kita yang masih rendah terkait dengan Income per Capita RI. Tentu orang biasa mengukurnya bila uang 225M dibelikan dengan sesuatu tentu jumlahnya berjibun, katakanlah sepeda motor yang tiap unitnya seharga 20Jt maka didapatkan 11.250 unit, wow jumlah yang besar. Untuk apa motor sebanyak itu, bagaimana menaikinya?

Bagi perusahaan industri manufacturing besarkah pengeluaran itu untuk belanja iklan? Tentu perusahaan yang berskala MNC, multi national corporation. Tentu tidak.

Kita ambil contoh yang gampang saja didepan mata saat kita menyaksikan CR7, data yang aku kutip dari dream.co.id. dibawah ini:

Sementara di luar lapangan, CR7 memperoleh pendapatan hampir sama dengan nilai kontraknya yakni US$ 21 juta (Rp 274 M) per tahun. Untuk kontrak terbarunya dengan Nike kabarnya CR7 digaji US$ 8 juta (Rp 105 M) per tahun.

Selain itu, CR7 juga menandatangani kontrak iklan dengan perusahaan-perusahaan seperti Herbalife, Castrol dan Samsung. Jika dia meninggalkan Madrid, klub yang membelinya harus menyediakan dana U$1miliar.

Kita lihat Nike saja yang gampang. Aku sebut Nike adalah perusahaan berskala MNC, multi national corporation. Hasil produksi manufakturnya hampir semua orang tahu, terutama Sepatu Olah Raga, walau masih ada barang barang produksi lainnya yang terkait dengan aktivitas olah raga. Nike membelanjakan kebutuhan akan iklan demikian besarnya.

Memang biaya iklan dalam tahun pertama bisa membuat perusahaan merugi tetapi tentu laba Nike demikian besarnya kalau melihat belanja iklan demikian besarnya.

Dalam ilmu akutansi belanja iklan dikatagorikan kedalam Selling Expense, pada tahun yang sama boleh dibebankan sebagai biaya berapapun besarnya, bila dibandingkan dengan membeli Gedung umpamanya, 20 tahun baru selesai menjadi biaya melalui penyusutan. Maka banyak perusahann yang menyewa gedung dari pada membangun gedung sendiri, kecuali gedung juga memiliki nilai promosi, gedung yg merupakan land mark negara tertentu, sebut saja Menara Kembar Malaysia, Jam Gadang Arab Saudi memang layak dibangun guna promosi.

Nah sekarang anda pasti tahu bagaimana orang termakan iklan Nike, para olah ragawan, mahasiswa, pelajar memiliki kebanggaan bila berolah raga atau kegiatan out door menggunakan sepatu Nike, apalagi sepatu yang sangat ringan itu designnya dilengkapi warna dan bantalan udara Nike Air, rasanya memakai tidak mengenal lelah. Akupun pernah nerasa bangga memakai Nike Air sehingga grup kami gerak jalan 17,5 Km sebanyak 13 orang dengan waktu tempuh 130 menit, bisa menjuarai Petro Cup 1995. Sepatu itu ringan, sehingga tidak ada yg cidera seperti lepas kuku jari kaki bila menggunakan sepatu lain. Itu masih di kota Jakarta belum kota kota lain yang dirambah Nike. Hasilnya tentu keuntungan besar bagi Nike. Itulah kegunaan iklan.

Kemudian Pertamina menyumbang US$3Jt, besarkah itu bagi kaca mata kita utk meletakkan pada proporsi wajar? Kita lihat dulu apakah Pertamina menjual hasil produksi manufacturingnya untuk export misal saja BBM, pelumas. Kalau ya pengeluaran itu tidak besar karena keuntungan yang diraup dari iklan tentu segera kembali, tetapi bila Pertamina tidak menjual hasil produksinya sebagai barang export pengeluaran sumbangan itu cukup besar. Karena BBM dan Pelumas Pertamina tanpa iklanpun sudah laris manis untuk kebutuhan di dalam negeri.
Disini kita mulai sedikit paham mengenai belanja iklan dan apa kegunaan iklan.

Adakah perusahaan multi national di Indonesia yang hasil produksinya di export ke negara negara Eropa, kalau jawabannya ada pasti perusahaan tersebut memiliki standar ISO 14000, standar yang sangat terkait dengan manajemen lingkungan. Lha kalau tidak memiliki ISO 14000 ini tidak bisa menjual barang produksinya ke Eropa, bisa tetapi harus melewati negara ke tiga yg memiliki ISO 14000, tentu keuntungan sudah tidak maximal, malahan mungkin besar keuntungan perusahasn di negara pihak ke tiga.

Selanjutnya adalah Ojo Kagetan. Makna harfiah dari Ojo Kagetan ini adalah jangan mudah kaget. Falsafah Ojo Kagetan bermakna kita harus mawas diri ‘eling lan waspodo’ terhadap perubahan sekeliling dan lingkungan kita. Ojo Kagetan juga bermakna persiapan diri menghadapi perubahan sekeliling. Kita harus selalu mawas diri dan bersiap dengan aneka kejutan yang menyertai setiap perubahan. Dengan tidak terkaget-kaget terhadap kejutan-kejutan di sekeliling kita, kita akan lebih tegar dan sumeleh.

Ojo Kagetan merupakan panduan tidak reaktif  terhadap segala yang terjadi. Karena jika kita menyelesaikan dengan bersikap reaktif, maka kemungkinan besar keputusan maupun tindakan kita bersifat emosional. Tantangan terbesar dari penerapan Ojo Kagetan ini ialah emosi dan harga diri kita, yang bisa ‘sak dheg sak nyet’ muncul ketika terjadi sesuatu hal yang sensitif disekeliling kita.

Masih nengambil contoh sambungan diatas, CR7 memperoleh pendapatan US$ 44 juta (Rp 575 miliar) tahun lalu, yang membuatnya menjadi atlet dengan bayaran tertinggi ke-9 di dunia.

Baru-baru ini, CR7 memperpanjang kontrak senilai US$ 23 juta (Rp 300 miliar) per tahun hingga 2018. Angka tersebut menjadikan CR7 sebagai atlet aktif dengan bayaran tertinggi di dunia.

Nah bagaimana hubungannya dengan Rio Harianto dengan kebutuhan dana 225M. Besarkah itu? Mari kita mendudukkan pada proporsi wajar.

Melihat kebutuhan dana yang demikian besarnya Yayuk Basuki yang duduk di Komisi Sepuluh tentu merasa keberatan karena pengeluaran 225M bukan termasuk biaya pembinaan Atlit yang bersifat amatir, Rio masuk kategori Olah Raga profesional sebaiknya tidak membebani keuangan negara.

Nah sekarang malah muncul wacana Menpora untuk nemotong gaji PNS. Seharusnya Menpora tidak melakukan itu, bila Rio sendiri mendengar ini baginya tentu merupakan beban mental, membebani PNS dengan olah raga yang ia geluti tentu tidak relevan.

Nah sekarang siapa yang paling pas mengemban ini sesungguhnya. Yang paling pas adalah perusahaan swasta yang hasil produksi dijual atau diexport ke daratan Eropa atau Amerika. Tetapi rasa rasanya tidak ada perusahaan manufacturing yang memenuhi kebutuhan itu.

Nah sekarang balik lagi kedalam negeri sendiri, kira kira siapa yang diuntungkan dengan biaya iklan yang akan dikibarkan di Sirkuit Barcelona oleh Rio dengan mobil F1nya ini. Yang paling diuntungkan adalah Hotel dan Garuda. Kenapa? Sasaran iklan itu tidak lain untuk menarik kunjungan Wisatawan mancanegara utk datang ke Indonesia dengan melihat obyek wisata yg demikian banyaknya di tanah air. Wisatawan yang datang ke Indonesia masih kalah banyak dengan negara tetangga seperti Malaysia dengan iklan gedung kembarnya yang nerupakan Land Mark negara itu. Masih kalah unggul dengan Thailand dan Singapore negara yang sekecil itu.
Kalau wisatawan itu datang dengan paket wisata pastilah mereka perlu penginapan setidak tidaknya hotel.
Bagaimana mereka datang dengan paket wisata? Tentu mereka memerlukan pesawat. Setidak tidaknya mereka tertarik menggunakan pesawat Garuda atau dengan sebutan GA.
Kenapa wisatawan yang berkunjung ke Indonesia masih kalah dengan negara tetangga. Disini letaknya. Kurang informasi, kurang iklan berskala international.

Nah kita ambil contoh iklan gratis berskala international yang mencuat ketika dunia memperdebatkan dimana letak Benua Atlantis yang hilang, yang menurut buku karya Arysio Nunes dos Santos dalam bukunya Atlantis, The Lost Continent Finally Found dan setelah reda kemudian menyusul buku Eden in the East karya Steppen Oppenheimer seorang profesor dari Oxford University beberapa tahun silam yang seperti gayung tak bersambut.

Seharusnya moment seperti itu bersambut bahwa nyata benua Atlantis adalah di Asia Tenggara, pasti dunia international yang dilihat Indonesia, dengan mengiklankan diri benua yang hilang itu di Indonesia, tidak ada salahnya. Moment itu hilang begitu saja.

Iklan wisata dan Garuda tentu tidak bisa dipisahkan, saling terkait dan jangan lupa dengan keimigrasian.
Nah kenapa kita butuh mereka datang ke Indonesia, pasti wisatawan yang kebingungan membelanjakan uangnya di hari tua dengan berwisata. Di Indonesia pasti dia membelanjakan uangnya, nah inilah yang kita sebut kita butuh devisa berupa mata uang asing, Dollar US atau Euro. Mereka butuh Rupiah sementara kita perlu mata uang asing. Itulah Devisa.

Industri pariwisata seperti Bali, Bunaken, Gn Bromo, Raja Ampat, Anak Gn Krakatau tidak membutuhkan biaya produksi besar layaknya perusahaan manufacturing, hanya butuh informasi, advertensi atau iklan.
Karena tidak ada perusahaan yang mempunyai kepentingan akan event international itu itu agar kebutuhan Rio terpenuhi yang layak mencari kebutuhan mestinya Kementerian Pariwisata dan Kementerian yang membawahi BUMN Garuda (dan Imigrasi).

Memang seharusnya event demikian masih melibatkan negara dalam arti salah satu dari kementerian itu dan yang paling pas adalah Kementerian Pariwisata. Kementerian Pariwisata adalah ujung tombak yang bertanggung jawab menjual objek wisata agar wisatawan manca negara mau datang ke Indonesia. Orang orang yang duduk di kementerian ini bekerja dengan pihak departemen luar negeri memiliki tugas untuk memasarkan kepada calon calon wisatawan manca negara, maka setidak tidaknya orang orang pariwisata memiliki jiwa dagang, memasarkan objek wisata. Tinggal Garuda mengangkutnya, imigrasi memberika Visa on Arrival bagi negara negara tertentu untuk kunjungan wisata.

Tahun 2016 Kemenpar mentargetkan kunjungan wisma sebanya 12 Jt wisman yang akan menyumbang devisa negara sebesar Rp. 172T. Melihat jumlah devisa yang direncanakan tentu Kemenpar seharusnya memiliki tanggung jawab terhadap sumbangan terhadap Rio, bukan Kemenpora, karena olah raga Rio bukan amatir lagi tetapi profeisional yang hrs dibiayai oleh iklan.

Kalau sekarang Kemenpar tidak memiliki anggaran itu, paling tidak dimasa mendatang menganggarkan untuk keperluan demikian jangan melihat besarnya yang aduhai, tetapi yang dipikirkan adalah azas manfaat di kemudian hari, keuntungan yang nantinya akan diperoleh, wisatawan manca negara. Maka event event international seperti Formula 1, Sepak Bola dunia merupakan event yang diperebutkan oleh negara negara maju, karena ini benar benar bicara soal business.

Nah sekarang mari kita dudukan secara wajar, apakah sumbangan bagi Rio untuk membayar Team Nanor besar? Dengan melihat uraian sederhana tersebut adalah wajar.
Ojo gumunan kan ojo kagetan, ingat pesan mendiang pak Harto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun