Mohon tunggu...
Karida Salim
Karida Salim Mohon Tunggu... Dokter - Seorang Dokter yang memiliki minat menulis

Seorang dokter yang menulis untuk membagikan pengalaman dan katarsis diri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terjebak di Dunia Paralel

9 Agustus 2024   07:54 Diperbarui: 9 Agustus 2024   09:02 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku terbangun dengan pandangan kabur dan rasa pusing yang membuatku ingin muntah. Samar-samar aku melihat langit berwarna ungu dengan dua matahari yang bersinar dari kejauhan. Ini pasti mimpi, pikirku. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi sebelumnya, tetapi hanya ingatan buram yang muncul. Aku ingat sedang berjalan pulang dari kampus melewati taman kota yang sepi. Lalu tiba-tiba ada cahaya terang dan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Kemudian semuanya menjadi gelap.
Aku berdiri perlahan, mencoba menstabilkan diriku. Rerumputan di bawah kakiku berwarna biru, dan di sekelilingku ada tumbuhan aneh dengan bentuk dan warna yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ketika aku menyentuh salah satu tanaman, ia mengeluarkan suara lembut seperti nyanyian. Aku terkejut dan mundur beberapa langkah.


"Di mana aku?" gumamku pada diri sendiri.


Aku memutuskan untuk berjalan, berharap menemukan seseorang atau sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, aku melihat sebuah desa kecil di kejauhan. Rumah-rumahnya terbuat dari bahan yang mirip dengan kristal, memancarkan cahaya yang indah. Aku mempercepat langkahku, berharap mendapatkan jawaban di sana.
Ketika aku mendekati desa, seorang pria tua dengan jubah berwarna emas menyapaku. Wajahnya berseri-seri penuh kehangatan.


"Selamat datang, Anak Muda. Kau pasti bingung," katanya dengan suara tenang.


"Aku... aku tidak tahu di mana aku berada. Apa ini mimpi?" tanyaku masih merasa kebingungan.


Pria tua itu tersenyum. "Ini bukan mimpi. Kau berada di dunia lain, dunia yang paralel dengan duniamu. Namaku Elian, dan aku adalah penjaga desa ini."


Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. "Bagaimana aku bisa sampai di sini? Aku hanya berjalan pulang dari kampus, dan tiba-tiba ada cahaya terang."


Elian mengangguk. "Kadang-kadang, portal antara dunia terbuka secara tiba-tiba. Itu jarang terjadi, tetapi tidak mustahil. Portal tersebut membawamu ke sini. Tidak semua orang bisa melihat atau melewati portal itu, hanya yang terpilih."


"Tapi, kenapa aku? Apa yang harus aku lakukan untuk kembali?" tanyaku dengan nada putus asa.


Elian menghela napas panjang. "Aku tidak tahu kenapa kau terpilih. Namun, untuk kembali ke duniamu, kau harus menemukan kristal portal yang tersembunyi di dalam hutan terlarang. Itu adalah satu-satunya cara untuk membuka portal kembali."


Mendengar itu, aku merasa sedikit lega. Setidaknya ada cara untuk kembali. "Baiklah, aku akan pergi mencari kristal itu. Bisakah kau membantuku?"


Elian mengangguk. "Aku akan memberikan peta dan beberapa bekal untuk perjalananmu. Tapi ingat, hutan terlarang penuh dengan bahaya. Kau harus berhati-hati."


Aku menerima peta dan bekal dari Elian, lalu memulai perjalanan menuju hutan terlarang. Jalanan menuju hutan semakin lama semakin sulit ditempuh. Tumbuhan aneh dan binatang-binatang asing muncul di sekitarku. Beberapa di antaranya tampak berbahaya, dengan gigi tajam dan mata yang bersinar dalam kegelapan.


Setelah berjalan beberapa jam, aku tiba di tepi hutan. Pohon-pohon di sini menjulang tinggi dengan daun-daun berwarna hitam pekat. Udara terasa lebih dingin dan suasana semakin mencekam. Aku mengambil napas dalam-dalam dan melangkah masuk.
Di dalam hutan, aku merasa seperti diawasi. Setiap langkahku diikuti oleh suara gemerisik daun dan bisikan-bisikan aneh. Aku terus berjalan mengikuti petunjuk di peta. Tidak lama kemudian, aku menemukan sebuah gua yang ditandai di peta. Itu adalah tempat di mana kristal portal seharusnya berada.


Aku memasuki gua dengan hati-hati. Di dalamnya gelap dan lembap. Aku menggunakan obor yang diberikan Elian untuk menerangi jalan. Setelah beberapa saat, aku melihat cahaya biru berkilauan dari dalam gua. Itu pasti kristal portal.
Namun saat aku mendekat, seekor makhluk besar muncul dari kegelapan. Tubuhnya seperti singa, tetapi dengan kepala ular yang menjulur panjang. Makhluk itu menggeram dan menatapku dengan mata merah menyala.


"Apa yang kau lakukan di sini, manusia?" suaranya menggema di seluruh gua.


"Aku... aku hanya ingin kembali ke duniaku. Aku membutuhkan kristal itu," jawabku dengan suara gemetar.


Makhluk itu mendekat, mengendus-endus diriku. "Hanya mereka yang memiliki keberanian dan niat tulus yang bisa mengambil kristal ini. Apakah kau memenuhi syarat itu?"


Aku menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya ingin kembali ke rumah. Aku tidak ingin menyakiti siapa pun."


Makhluk itu mengangguk perlahan. "Jika niatmu tulus, maka ambillah kristal itu. Tapi sebelumnya kamu harus menjawab dulu teka-teki ini. Apa yang keluar lebih dulu, ayam atau telur?"


Eh alah, sempat-sempatnya main tebak-tebakan?


Sambil cengengesan, aku menjawab, "Secara ilmiah, telur keluar lebih dulu. Dalam konteks evolusi, nenek moyang ayam bertelur jauh sebelum ayam modern ada. Mutasi genetik yang mengarah pada terbentuknya ayam terjadi di dalam telur yang berasal dari burung serupa ayam, tetapi bukan ayam sepenuhnya. Jadi, telur datang lebih dulu, karena proses evolusi dan reproduksi melalui telur sudah ada sebelum ayam muncul sebagai spesies yang kita kenal sekarang. Meskipun teka-teki ini sering digunakan untuk memicu diskusi filosofis tentang sebab dan akibat, secara evolusioner dan biologis, telur lebih dulu ada sebelum ayam."


"Baiklah, kamu boleh mengambil kristal itu," kata makhluk itu.


Aku mengangguk dan melangkah maju, mengambil kristal biru yang berkilauan itu. Saat aku menyentuhnya, aku merasakan kekuatan yang luar biasa mengalir melalui tubuhku. Cahaya terang memenuhi gua, dan dalam sekejap, aku kembali berada di tepi hutan.
Aku melihat pemandangan sekitarku berubah. Langit ungu dengan dua matahari perlahan menghilang, digantikan oleh langit biru yang familiar. Aku kembali ke taman kota, tempat di mana semuanya dimulai.


Dengan perasaan lega, aku berjalan pulang. Meski perjalananku di dunia lain penuh dengan bahaya, aku belajar banyak tentang keberanian dan niat tulus. Dunia yang aneh itu akan selalu menjadi bagian dari diriku, tetapi aku bersyukur bisa kembali ke rumah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun