Lembut Lembayung pun dengan penuh kehati-hatian mengangkat tubuh ringan Si Kucing yang perwujudan manusianya cukup menjulang di atas rata-rata wanita nusantara dan menurut testimoni teman-teman sepermainan surgawinya di Taman Sriwedari tuh #bodygoals banget membuat iri dengki meski memang Sang Dewi terlahir a skinny b*tch tanpa harus diet ala-ala.
“Lo kecil banget anjir,” Lembut Lembayung tanpa sadar agak random mengomentari. Bibirnya pun langsung mingkem diam seribu bahasa, tapi karena ini perkataan yang terlontar secara spontan live in action jadi ya nggak ada opsi untuk di-unsend. Berusaha menenangkan hatinya agar berhenti jedag-jedug dag dig dug duarrr mengkhawatirkan guna lisan menjaga ucapan, Lembut Lembayung mengelus-ngelus halus bulu kuping berpendengaran tajam sang kucing hingga helai-helai hitam legam berterbangan seperti tiupan dandelion pengabul keinginan, lalu memangkunya di atas kedua kaki bersila bak dewa-dewa kuno yang kini hanya relief dahulu bertapa. Ketika sudah pewe dalam comfort zone-nya Si Kucing mengeong tenang pertanda senang, tak pernah lagi mau diubah-ubah oleh perkembangan zaman ataupun digusur pemerintah.
Berdua bersama dalam diam di atas genteng, jauh dari hiruk-pikuk ibukota dan gemerlap dunia malam penuh arak memabukkan, hanya sesekali disambut sepoi angin menyejukkan yang membawa semerbak wangi Lembut Lembayung mengelilingi Si Kucing Hitam dari semua sudut dan meruntun ke dalam jiwa, oh sungguh rumus jitu ketenangan batin itu sederhana rupanya. Perempuan titisan dewi berkedok kucing anime itu bolak-balik hampir saja ketiduran, pacilnya terkantuk-kantuk merem-melek rep-repan, saking nyamannya lupa akan segala fana, bahkan tak lagi teringat-ingat sebentar lagi Mas Agus yang juga sering dimirip-miripin kucing akan menggebrak-gedubrak ICE BSD dengan dahsyat irama bombastis "Daechwita", tak ingat betapa dibandrol sedemikian mahal barang-barang berlogo Balenciaga yang didambakan para OKB, tak ingat pula rasa-rasa kopi Starbucks racikan Mas Bakja yang hobi menggambar ikan-ikanan berenang di antara kosmos.
Sepersekian detik sebelum kesadaran Dewi Kucing memasuki dimensi mistik penuh kejanggalan di mana gigi-giginya sering kali tanggal, tajam telinganya mensinyalir sayup-sayup paduan suara bersyair icikiwir, “Hari ini, hari yang kau tunggu, bertambah satu tahun usiamu, bahagialah kamu…” dan melompatlah sang siluman dari pangkuan Lembut Lembayung agar kaki-kaki jenjang pemuda itu tak lagi kesemutan dan bisa berdiri tegak tuk ikut berbahagia tanpa harus bertepuk sebelah tangan.
Memang tak ada perlu meragukan perkataan Romo Sindhunata, tepat pada hari ke-25 bulan Maret tahun ini merupakan peringatan ke-23 kehadiran Lembut Lembayung, dengan penuh sukacita dirayakan oleh keenam kawan-kawan terdekatnya yang datang berduyun-duyun heboh mengusung kue bertuliskan HAPPY LEMBAYUNG DAY. Dengan terang benderang lilin-lilin yang t’lah disulut, ramai-ramai mereka bersahutan bernyanyi lagu Jamrud versi dangdut, berjoget-joget bergoyang dombret dilatari holopis kuntul baris dan balon-balon helium warna biru metalik, abu-abu, perak, dan putih yang ikut meliuk ke kanan dan ke kiri menari-nari di angkasa. Kehangatan menjalari hati kecil Sang Dewi melihat Lembut Lembayung tertawa sumringah, sorot matanya yang selalu memancarkan kejujuran bersih nuraninya tak bisa menutupi keharuan menyadari hari spesialnya ternyata akan abadi dikenang banyak orang.
Dalam perwujudan spesies fauna yang sejatinya karnivore tentu Sang Dewi tak diperbolehkan mengicip kue ulang tahun yang dipesan dari sebuah bakery di SCBD dan diantar ke Condet pakai GoCar tak berpenumpang, tetapi Lembut Lembayung tetap mengajaknya duduk-duduk nongkrong penuh canda tawa keakraban dan kepada siluman kecil malu-malu kucing itu tak lupa ia memperkenalkan teman-temannya satu per satu.
Mereka adalah Arunika yang s’lalu mengawali hari dengan positive vibes sehingga selalu terang dalam harapan, Chandramawa yang penuh kebijakan memahami yang tak pernah dirasakan dan memaafkan yang tak bisa dilupakan, Lalita sang adinda jelita cipta karya nan rupawan yang pesonanya menyinari kehidupan namun tetap selalu membumi, Palawa yang telah hancur dalam perjuangan dan akhirnya merasa jua kebajikan raga, Tila yang kecakapan wicaranya menyempurnakan tali silaturahmi mereka agar tak menjadi sia-sia, dan last but not least tentu tak lupa Raihan, satu-satunya manusia tulen dan bukan lelembut, yang sibuk memotret-motret menggunakan kamera ajaib pinjaman dari Doraemon.
Bersama-sama mengiringi Lembut Lembayung mendayu-dayu membawakan lagu-lagu Melayu, dengan kompak kawanan sekawan lama itu nyengir-nyengir memainkan musik asik, ada yang menggonjreng gitar akustik, ada yang memetik lentik kecapi, ada yang berseruling sunda, dan ada juga yang memukul kenong nong ji nong ro nong nong ji nong ro.
Dan meski dalam perwujudan hewan mamalia yang bukan lah manusia tentu Sang Dewi tak diperkenankan takdir untuk menimpali dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD dan KBBI, benaknya tetap bisa menangkap segala percakapan di antara mereka yang topiknya terbentang sejauh mata memandang, ocehan mereka tiada henti kesana kemari membahas segala hal mulai dari perdebatan tidak penting apakah pantat merupakan satu kesatuan atau berbongkah membelah dua, hingga yang lebih sarat makna seperti kisah-kisah nabi, serta rancangan anggaran yang dibutuhkan untuk mereka terus berkarya.
Mungkin memang benar adanya pepatah jangan pernah menilai buku dari sampulnya—terkecuali kalau pilihan font-nya bikin sakit mata dan ketika dibuka dalamnya bertebaran typo pula—karena tak pernah Sang Dewi mengira bahwa lelaki berpenampilan sedikit brandalan ini ternyata jika ditelaah jauh ke dalam relung hatinya terdapat jiwa muda membara yang penuh keteguhan memegang kuat idealisme sebagai pondasi penyokong kegigihannya mengejar mimpi-mimpi yang oh sungguh begitu tinggi seperti perawakannya, mengingatkan Sang Dewi kepada kelima kakak tingkatnya yang masing-masing sukses sebagai pandawa di Langit Tertinggi.
Meski pertemuan di antara mereka begitu singkat, sebagai pendengar setia segala kisah-kasih yang t’lah Lembut Lembayung arungi, Sang Dewi teryakinkan bahwa pemuda itu berkesabaran tanpa batas layaknya Yudistira, berkarakter kuat dan bersifat petarung pemberani sesakti Bima, memiliki ketekunan dalam mengasah kepiawaian keahlian yang didalaminya bagai Arjuna, menjaga kesetiaan sejati sepenuh hati dan s’lalu taat patuh kepada orangtua ala Nakula, dan tentunya berwatak bijaksana serta amanah mencontoh Sadewa.