Mohon tunggu...
Kara Cinta
Kara Cinta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

penghayal ulung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Dewi dan Lembut Lembayung

14 Maret 2023   11:11 Diperbarui: 24 Maret 2023   18:12 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan menukik Langit Ketujuh menunggangi Burung Jatayu—cengtri sama Hanuman dan Romo Sindhunata terbang tak gentar dihadang tilang karena di antara terang bintang tak ada itu akal-akalan Pasukan Halodek bernama ETLE—terdengar oleh Sang Dewi riuh rendah pesta pora hip hip hura dari sebuah perhelatan rakyat yang diramaikan oleh Sandyakala sebagai headliner, dan mohon maklum anaknya kepoan banget maka bertanyalah ia kepada gurunya, “Mereka tampak tak sengsara, Romo, bukankah itu petuahmu tentang nasib manusia ketika Patih Sengkuni berakhir ndheprok?”

Hanuman ngikik mendengar pertanyaan naif Sang Dewi, “Oh, Baginda Dewi, yang elok parasnya pasti membuat Rahwana pun swipe kanan tanpa pikir panjang kali lebar, kowe iki pancen ayu tenan tapi koq goblog.”

Tak sudi di-roasting manusia ataupun hewan yang berkulit maupun berbulu putih, Sang Dewi sewot menoyor Si Kunyuk, “Monyet lu!”

“Yhaaa, situ baru ngeh? Matamu picek, cok!” Hanuman melet-melet, lidahnya terjulur membiru menjijikkan berbekas es vanilla blue.

Sebelum adu bacot menjadi adu jotos, Romo Sindhunata menengahi, casciscus dalam kromo inggil yang setangkap Sang Dewi berjiwa Jaksel to the bone sekiranya begini, “Sedianya di kala fajar menghajar mundur lelap gelap seribu satu malam, semua harapan akan dimulai. Kebetulan tahun ini jatuh bersamaan dengan perayaan ke-23 sejak terbit Lembut Lembayung yang hadir melengkapi semarak spektrum kehidupan.”

“Opo Lembayung iku sama dengan warna fandom biasku Jeon Jungkook yang punya enam hyung? Nek cen kui aku ngerti, Romo,” tebak-tebak tak berhadiah Sang Dewi dengan sok tahu.

Hanuman ora paham pop culture selain film-film India, namun Romo Sindhunata tergelak tertawa lucu. “Deretan malaikat mengaminkan, Sridewi Asmaracinta memang multitalenta, jadi srimulat pun berbakat,” ujarnya menghela napas perut menyeka air mata haru di balik kacamata agar bisa menerawang jauh ke pemukiman pribumi berderet-deret empet-empetan memenuhi permukaan bumi, “Lembut Lembayung adalah pemuda yang sedang bergembira bergairah meraih mimpi yang belum usai tuk digapai.”

“Yang tinggi semampai dengan lengan bertato lagi nge-DJ itu?” tanya Sang Dewi menengok-nengok menelaah sekumpulan anak adam sejumlah dua tim bola plus pemain cadangan dan wasit berkepala warna-warni, ada yang hijau ngejreng mentereng, ada pula yang merona seperti seroja, tapi tak ada yang putih jersey Real Madrid.

“Oh, bukan, itu mah Johnny, neng. Tampan sosoknya kuyakin seakan sejelas semut di seberang lautan, tetapi percayalah, nak, ia hanya sebatas anganmu yang terbuai bayangan semu mahakarya kapitalis bengis,” jawab Romo, kepalanya yang ubannya tentu tak sebanyak ilmunya menggeleng-geleng, mulutnya komat-kamit merapal mantra yang di telinga Sang Dewi saking sungguh asingnya hanya tertangkap setiap syllable awalnya, terdengar kurang nombok lebih kembalian seperti a.. ca.. la… pa… ti….

Bukan sulap bukan sihir, bukan pula bimsalabim jadi apa prok prok prok, seketika raga Sang Dewi satset bergeser dari pundak Jatayu beralih bertengger di pucuk pohon beringin, helai rapuh rambut panjangnya yang darurat vitamin dan hair tonic melambai-lambai genit mengikuti arah angin menyapa sudut timur. Khawatir rambutnya akan semakin lepek, dengan bantuan kelihaian bergelayut Hanuman yang berulang kali meledek, “Wayolooo nek tak culke nggeblak kowe!” Sang Dewi berhasil turun menjejak tanah meski berakhir ngap-ngapan kehausan setelah terus-terusan menjerit manja tak biasa memanjat-manjat. 

Di bawah teduh rindang beringin berakar besar menjalar yang membuatnya kokoh berdiri melindungi seluruh rakyat Indonesia, dan diiringi tangis bombay Mbok Kunti teringat suaminya Jrangkong yang terjerat hutang budi pada para tukang judi, sesaat kemudian Romo Sindhunata t’lah selesai bertapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun