Mohon tunggu...
Alvin Alif Nur Ahmad
Alvin Alif Nur Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa yang memiliki harapan dalam kebangkitan dan kemajuan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Al-Quran Bolehkah Dikaji?

25 Juni 2022   12:15 Diperbarui: 25 Juni 2022   12:28 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebelum berbicara lebih jauh berbicara dalam perspektif Al Qur'an, kita perlu mengawalinya dengan kesepakatan kolektif terlebih dahulu.

Hal ini perlu dilakukan untuk meminimalisir peluang kita terjebak dalam kesalahan berfikir dan kesalahan dalam menentukan sikap.

Pertama adalah Al-Qur'an merupakan kitab suci umat Islam yang harus di imani, Al-Qur'an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk umatnya dan nabi Muhammad SAW merupakan otoritas tertinggi Islam.

Kemudian yang kedua adalah Al-Qur'an sebagai teks (tanda-tanda) kitab suci, senantiasa dapat ditafsirkan & selalu terbuka peluang untuk dikaji & dipikirkan makna ayat-ayatnya sesuai posisinya sebagai "tibyan li kulli syai" (referensi penafsiran segala sesuatu).

Dalam hal ini hendaknya Al-Qur'an juga diposisikan sesuai pada wilayahnya, apakah itu diwilayah yang pertama atau yang kedua. Istilah terbaik yang saya dapatkan hari ini adalah , Al-Qur'an diposisikan sebagai kesadaran keimanan dan kesadaran ilmiah.

Al Qur'an diposisikan dalam kesadaran keimanan ( ) ya harus diyakini sebagai kalamullah yang terjaga keasliannya. Sebagaimana dijelaskan

   
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya." (QS. Al-Hijr : 9)

 
  "Dan bacakanlah (Muhammad) apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur'an). Tidak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dan engkau tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain kepada-Nya." (QS. Al-Kahf : 27).

Di posisi ini kita tidak dibenarkan untuk meragukan keorisinilan Al-Qur'an.

Sedikit berbeda ketika Al-Qur'an diposisikan sebagai kesadaran ilmiah ( ), kita diberikan peluang untuk mengkaji dan memikirkan makna-makna ayatnya.

Hal ini selaras dengan dengan ayat berikut

 
"Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil)" (Q.S. al-Baqarah : 185)

Sedangkan untuk dapat mengambil petunjuk maka kita perlu berfikir dan mengkaji sebagaimana ayat berikut ini
 
 "Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!" (QS. Al Hasyr : 2).

Apakah dengan memposisikan Al-Qur'an sebagai kesadaran ilmiyah akan membuat menggoncangkan iman kita? Tidak!

Seandainya kita benar-benar meyakini bahwa Al-Qur'an telah dijaga oleh Allah, maka sekalipun Al-Qur'an diposisikan sebagai objek kajian itu tidak akan mempengaruhi kehormatan dari Al-Qur'an itu sendiri.

Saya tidak habis pikir ketika ada orang mengaku mengimani bahwa Al-Qur'an dijaga oleh Allah sekaligus dia mengkhawatirkan Al-Qur'an dirubah oleh makhluq lemah yang disebut sebagai manusia.

Saya pribadi ketika sudah memposisikan Al-Qur'an sebagai kesadaran iman ( ), sebesar apapun usaha Al-Qur'an tersebut untuk dikritik dan dijatuhkan, saya meyakini Al-Qur'an sudah sangat sempurna untuk dapat menangkis setiap kritikan yang menjatuhkan tersebut.

Tetapi memang disini kita harus mengakui bahwa Al-Qur'an tidak akan menangkis dengan seajaib itu,

Al-Qur'an berada diantara dua sampul, tidak berbicara (benda mati) tetapi pemudalah yang akan membicarakannya.
 
Pembahasan seputar Al-Qur'an tergolong cukup sensitif, terlebih lagi di wilayah Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Padahal kalau dia mau mempelajari Sakralitas dan Profanitas agama, sudah jelas bahwa Al-Qur'an itu berbeda dengan Pemahaman Al-Qur'an. Al-Qur'an sebagai sakralitas (sesuatu yang disakralkan) dan Pemahaman Al-Quran sebagai Profanitas (produk budaya).

Kesensitifan ini diperparah lagi dengan adanya oknum yang berseberangan dalam pandangan politik (politik pemerintahan dan politik agama) yang seringkali menyerang lawan politiknya hanya dengan kesalahan kecil.

Dengan permainan narasi pelintir kanan kiri memanfaatkan orang awam yang punya semangat bela Islam tanpa semangat mempelajari khazanah literatur Islam.

Biasanya tokoh politis semacam ini hanya akan mencari muka di publik dengan modal nasi kotak untuk mengadakan demo kegabutan yang katanya bela Islam. Kalau emang bela Islam tuh... pelajari Al Qur'an!

Inilah repotnya di Indonesia, sekali lidah salah mengucap, sekali jari salah mengetik, maka dampaknya juga tidak bisa dianggap remeh.

Untuk itu apabila ada kesalahan dalam pemahaman saya, saya meminta maaf dan mohon untuk ditunjukkan letak salahnya dengan argumen yang logis dan baik.

Kita mengenal ilmu  untuk membantah suatu pandangan. Kecuali jika memang aturan sudah tidak dianggap penting.
Saya rasa tidak perlu menanggapi hewan dalam forum diskusi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun