Mohon tunggu...
Nofrendi Sihaloho
Nofrendi Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Magister Filsafat di Fakultas Filsafat UNIKA Santo Thomas, Sumatera Utara

Hobi saya membaca buku-buku rohani dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengembangkan Suara Hati

15 Januari 2025   20:46 Diperbarui: 15 Januari 2025   20:46 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pendahuluan

Manusia adalah makhluk rasional. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang tahu dan mau.[1] Kemauannya mengandaikan pengetahuan. Setiap tindakan didasarkan pada pemahaman-pemahaman akan situasi, kondisi, kemampuan, dan semua faktor yang perlu diperhatikan supaya suatu rencana dapat tercapai. Setiap keputusan yang diambil oleh seseorang didasarkan pada pertimbangan yang matang, sehingga kesadaran moral merupakan hal yang mutlak perlu. Kesadaran moral itu suatu realitas dalam diri seseorang. Secara personal, kesadaran moral disebut sebagai suara hati. Setiap orang berhadapan dengan realitas yang kompleks dalam kehidupannya. Sering terjadi bahwa orang gegabah dalam melakukan suatu tindakan. Di tengah kompleksitas masyarakat, orang sering menilai sesuatu dengan keliru sehingga keputusan yang diambil pun keliru. Cara pikir parsial sering mengaburkan suatu permasalahan hidup. Ada juga yang menganggap hal yang salah seolah-olah benar padahal tidak obyektif.

Berdasarkan hal di atas, penulis meyakini bahwa membahas pengembangan suara hati merupakan hal yang mendesak dan urgen. Pengembangan suara hati menjadi hal yang sangat penting supaya mampu mengambil keputusan dengan tepat dan obyektif. Pengembangan suara hati bersifat multidimensional. Baik itu dari dalam diri seseorang (internal) maupun dari luar diri (eksternal). Usaha mengembangkan suara hati juga mau menunjukkan dan mempertahankan eksistensi diri manusia.

Pengertian dan Realitas Suara Hati

Pengertian Suara Hati 

Secara harfiah suara hati berasal dari kedalaman diri seseorang yang menegaskan benar-salahnya suatu tindakan berdasarkan prinsip moral. Suara hati memiliki ciri personal dan adipersonal. Artinya, meskipun suara hati berasal dari kedalaman diri seseorang atau gejala manusiawi tetapi sekaligus juga menunjuk pada realitas Yang Mutlak atau gejala ilahi.

Secara etimologis, kata suara hati berasal dari kata Latin conscientia dari akar kata conscire yang artinya mengetahui bersama atau turut mengetahui. Suara hati adalah kesadaran manusia akan kewajiban moralnya dalam situasi konkret atau penegasan tentang benar-salahnya suatu tindakan manusia dalam situasi tertentu berdasarkan hukum moral. Menurut Franz Magnis-Suseno, suara hati adalah kesadaran seseorang akan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia dalam situasi konkret. Dengan kata lain terdapat unsur kognitif di dalamnya.

Realitas Suara Hati

Realitas suara hati tampak dalam gejala munculnya kesadaran akan kewajiban moral yang secara mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar dalam diri setiap orang berhadapan dengan situasi konkret. Dalam hal itu, suara hati menyatakan diri sebagai suara yang penuh otoritas untuk menegur suatu pelanggaran. Di sisi lain, suara hati juga sebagai suara yang penuh otoritas mengesahkan, memuji, dan mendorong seseorang unutk melakukan kewajiban moralnya.

Lembaga-lembaga Normatif

Masyarakat

Masyarakat adalah semua orang yang berpengaruh dalam hidup kita, termasuk keluarga. Seseorang pertama sekali belajar tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan dari orangtua. Pengetahuan tentang yang baik dan yang tidak baik awalnya didapat dalam keluarga. Setelah itu, dalam lingkungan yang lebih luas dalam masyarakat seseorang semakin mendapat pemahaman akan hal itu. Baik itu dalam lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan, pekerjaan, ajaran-ajaran agama yang dianut, maupun norma-norma hukum negara yang wajib ditaati.

Super Ego

Super ego adalah perasaan moral spontan di dalam batin manusia. Super ego menyatakan diri dalam perasaan malu dan bersalah yang muncul secara otomatis dalam diri manusia bila melanggar suatu norma yang telah dibatinkan.

Ideologi

Ideologi yang dimaksud adalah segala ajaran tentang makna kehidupan dan bagaimana manusia harus hidup serta bertindak. Menganut sebuah ideologi berarti bersedia untuk melaksanakannya. Suatu ideologi menuntut agar orang mengesampingkan penilaiannya sendiri dan bertindak sesuai dengan isi ajaran ideologi tersebut.

Kemutlakan Suara Hati

Tuntutan suara hati bersifat mutlak. Mutlak bararti tanpa bersyarat.  Imperatif kategoris (istilah yang digunakan oleh Immanuel Kant) berlaku bagi suara hati. Hal yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutan untuk tidak pernah menyeleweng dari apa yang disadari sebagai kewajiban. Kemutlakan tuntutan suara hati tidak berarti suara hati pasti benar. Artinya, tuntutan terhadap suara hati tidak dipengaruhi oleh pertimbangan untung-rugi, senang-tidak senang, pendapat orang lain, atau perasaan sendiri.

Kekeliruan Suara Hati

Walaupun tuntutan suara hati bersifat mutlak, tetapi apa yang disadari seseorang sebagai kewajiban moral yang dihadapi bisa saja keliru. Kepekaan dan ketajaman suara hati dalam menilai situasi moral yang dihadapi tergantung dari pemahaman dan kesadaran moral yang dimilikinya. Berbagai aspek dapat mempengaruhi kepekaan dan ketajaman suara hati; latar belakang keluarga, pendidikan, status sosial, budaya, dan sebagainya.

Dengan kata lain, kekeliruan suara hati dapat terjadi karena pemahaman dan kesadaran moral yang diwarisi seseorang dari lingkungannya secara obyektif keliru atau ia sendiri yang keliru dalam memahami apa yang dia warisi. Selain itu, kekeliruan suara hati terjadi karena seseorang bebas dari nafsu-nafsu yang masih menguasai dirinya.

Rasionalitas Suara Hati

Suara hati memiliki pertimbangan akal budi bukan hanya ungkapan perasaan spontan. Penilaian suara hati terhadap situasi tertentu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasionalitas bukan hanya diukur dari persoalan matematis. Tidak ada pengetahuan yang melulu obyektif dan impersonal tanpa keterlibatan subyek. Setiap pengetahuan selalu bersifat obyektif-subyektif. Artinya, selalu merupakan hasil dialektis antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.

Pengembangan Suara Hati

Dimensi Kognitif

Suara hati memiliki aspek pengetahuan bukan hanya perasaan spontan. Sebagai makhluk yang rasional, niscaya suara hati manusia melibatkan rasio. Secara kognitif pengembangan suara hati merupakan usaha terus-menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman moral seseorang. Keterbukaan terhadap berbagai pertimbangan sangat diperlukan. Suara hati diusahakan agar memberikan penilaian-penilaiannya berdasarkan pengertian yang tepat.

Seseorang harus mau belajar dari hidup yang terus berkembang agar pemahaman moral tidak menjadi stati. Pemahaman moral harus sesuai dengan kenyataan yang ada. Bertanya kepada mereka yang berkompeten dan dianggap lebih berpengalaman merupakan tindakan yang tepat dalam mengembangkan pemahaman moral. Kompleksitas dan kebaruan suatu masalah terkadang tidak dapat dipahami secara holistik sehingga penilaian dan keputusan yang diambil pun kurang tepat.

Dimensi Afektif

Pengembangan suara hati juga bertujuan untuk menumbuhkan cita rasa moral terhadap apa yang secara obyektif bernilai; apa yang baik dalam hidup dan apa hal jahat yang perlu dihindarkan. Dengan mendidik aspek afektif suara hati, orang  berusaha untuk membuat pandangan kritis terhadap pandangan moral lingkungan (masyarakat) di mana ia berada.

Penghayatan akan sikap-sikap etis dari model atau figur tertentu dapat dijadikan sebagai teladan dalam mengembangkan dimensi afektif. Orang mengalami perkembangan dalam kepribadiannya pertama-tama karena diajari atau dididik berdasarkan teladan hidup pendidiknya. Biografi tokoh-tokoh moral ideal dan cerita perjuangan mereka dapat berperan postif untuk mengembangkan suara hati. Mengembangkan dimensi afektif berarti menumbuhkan rasa cinta akan kebaikan dan mendorong hati untuk berbuat baik.

Dimensi Konatif

Pengembang dimensi konatif suara hati adalah mengembangkan sisi kehendak seseorang. Dapat terjadi bahwa sikap dan kesadaran orang tidak lagi tepat dalam menghadapi situasi konkret. Hal ini terjadi bukan hanya karena pemahaman yang keliru tetapi karena kehendak yang tidak kuat. Kehendak yang tidak kuat akan mudah goyah dan tergoda untuk tidak melakukan apa yang secara kognitif dipahami sebagai yang benar. Apabila kehendak tidak dilatih sesering mungkin maka ketepatan penilaian suara hatinya dibengkokkan oleh dorongan perasaan yang tidak teratur.

Pembiasaan Perbuatan Baik

Pembiasaan melakukan perbuatan baik sangat diharapkan dalam pengembangan suara hati. Perbuatan baik harus dijadikan sebagai habitus. Dalam usaha melaksanakan dan membiasakan hal-hal yang baik tercakup aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Keutamaan-keutamaan moral tumbuh karena membiasakan yang baik, sehingga ketepatan penilaian suara hati dapat berkembang. Bagaimanapun, sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi milik pribadi dan menumbuhkan insting moral yang diharapkan.

Terbuka terhadap Yang Mutlak

Suara hati memang dapat keliru tetapi Yang Mutlak yang terlibat dalam suara hati tidak dapat keliru. Dalam pemahaman ini kita menyebut Yang Mutlak itu sebagai Allah. Sangat jelas bahwa suara hati tidak boleh disamakan dengan suara Allah. Suara hati mencerminkan pengertian seseorang dan suara dari diri manusia. Namun, dalam suara hati terdapat unsur yang tidak dapat diterangkan yakni kemutlakannya. Padahal manusia adalah makhluk yang tidak mutlak. Kemutlakan itu mengarah pada Allah sebagai Yang Mutlak. Terdapat pengalaman transendensi dalam suara hati. Kemutlakan suara hati dapat dipahami apabila menerima adanya Yang Mutlak yang menjadi saksi atas tindakan yang dilakukan seseorang. Pada dasarnya dalam keotonomiannya manusia terbuka pada Yang Mutlak. Berdasarkan alasan itu dapat diterima pandangan John Henry Newman yang mengatakan bahwa suara hati sebagai jalan untuk memahami eksistensi Allah.

Pentingnya Nasihat Moral dan Tradisi

Ketika seseorang menilai suatu situasi secara moral, penilaiannya itu terbentuk melalui pengalaman-pengalaman dari lingkungan sosial. Di satu sisi memiliki kecenderungan kuat untuk memberikan penilaian moral dan di sisi lain sikap kritis diperlukan dalam kecenderungan tersebut. Pembentukan penilaian moral memerlukan nasihat moral. Terdapat keterbukaan terhadap orang yang memiliki kearifan atau kebijaksanaan.

Suatu tradisi tidak boleh diikuti secara buta, tetapi perlu dikritisi. Tradisi masyarakat tertentu kerap memuat kebijaksanaan tentang hidup manusia. Apa yang dianggap bernilai dan baik dari tradisi perlu diteruskan karena di dalamnya termuat nasihat-nasihat moral yang berguna bagi kehidupan generasi berikutnya. Dengan kata lain, orang harus rendah hati untuk mencari nasihat orang lain karena mengakui keterbatasan dirinya.

Hati yang Murni

Kemurnian hati dapat mengembangkan suara hati. Istilah Jawa yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno mengenai kemurnian hati adalah sepi ing pamrih. Berbagai emosi dan dorongan irrasional terus-menerus merongrong diri manusia. Perasaan takut dikritik, malu, malas, dendam, iri, dan sebagainya sering menguasai diri seseorang. Kecenderungan itu membuat manusia tidak terbuka pada suara hatinya. Akibatnya, manusia semakin kurang bertanggung jawab karena kebebasan eksistensial seseorang berkurang. 

Membebaskan diri dari kecenderungan kekuatan-kekuatan irrasional merupakan usaha untuk mengembangkan kekuatan batin. Usaha penguasaan diri dari kekuatan itu disebut pamrih. Orang yang murni hatinya akan mampu menguasai diri. Nafsu-nafsu dan emosi-emosi akan dapat dikontrol dengan baik. Seorang yang sepi ing pamrih sanggup memenuhi kewajiban dan tanggung jawab dalam hidupnya.

Perkembangan suara hati dapat dicapai apabila memiliki maksud yang lurus (recta intentio), pengaturan emosi-emosi (ordinatio affectuum), dan pemurnian hati (purificatio cordis). Recta intentio membuat seseorang mampu untuk mencapai apa yang memang sudah direncanakan. Ordinatio affectuum artinya tidak membiarkan diri digerakkan oleh perasaan, nafsu, dan kecenderungan buruk sehingga seluruh dorongan itu dapat diatur dan tidak menggangu sikap tanggung jawab. Purificatio cordis merupakan pemurnian hati dari segala nafsu kotor dan kepalsuan. Tujuannya agar seseorang sungguh-sungguh menjadi manusia yang original sampai ke akar kepribadiannya. Kecenderungan buruk tidak akan menguasai orang yang murni hatinya.  Orang yang murni hatinya akan mempunyai daya penilaian yang jernih sehingga mampu melihat kewajiban dan tanggungjawabnya dengan tepat.

Penentuan Diri Sendiri

Keputusan

Setiap kali keputusan moral diambil seseorang sedang menentukan dirinya. Di dalamnya ditentukan nilai yang berguna sebagai manusia. Namun, penentuan diri itu tidak berlaku selamanya. Ada keputusan yang mudah ditarik kembali dan ada keputusan yang sulit diubah. Misalnya, diminta menilai tingkat kecerdasan seseorang padahal ia pernah menyinggung perasaan si penilai. Dalam setiap mengambil tindakan penentuan diri itu sungguh-sungguh. Artinya kita menentukan diri kita sebagai manusia. Bobot itu terasa dalam menanggapi panggilan suara hati.

Suatu keputusan tidak pernah diambil untuk selamanya dalam kehidupan ini. Alasannya karena manusia adalah makhluk yang terbagi secara waktu dan ruang, pengetahuannya terbatas, memiliki kekurangan, dan sebagainya. Sama seperti orang tidak pernah mencintai seratus persen.

Sikap Dasar

Setiap keputusan dan sikap yang diambil merupakan sikap kecil dan pembiasaan, sehingga pelan-pelan orang semakin terbiasa mengambil sikap ke arah yang sama. Misalnya, orang yang hanya sekali merokok akan mudah menghentikannya sedangkan orang yang terbiasa merokok akan sulit berhenti.

Keputusan sekecil apapun itu menciptakan suatu suasana atau kecondongan ke arah tertentu. Seorang filsuf Yunani, Aristoteles, menyebut kecondongan ke arah yang baik sebagai arete (keutamaan). Memiliki keutamaan berarti condong mengambil sikap ke arah keutamaan itu. Sejatinya setiap orang sudah mempunyai arah itu. Semakin tegas mengambil sikap yang baik, maka arah dasar hidup terwujud sehingga mudah mengambi sikap selanjutnya. Memang benar bahwa selama manusia masih hidup sikap dasar itu belum jadi seutuhnya. Hal itu berlangsung sampai manusia menemui ajalnya.


Suara Hati dan Superego
           Super ego merupakan istilah yang digunakan oleh Sigmund Freud. Ia membuat identifikasi unsur-unsur utama dalam kesadaran manusia, yakni Id, Ego, dan Superego. Id dimengerti sebagai kecondongan irrasional yang berasal dari kedalaman diri manusia. Superego adalah perasaan bersalah yang dirasakan ketika melakukan suatu pelanggaran. Ego merupakan pusat kesadaran diri manusia. Egolah yang memahami dan mengabil sikap dengan bebas untuk bertindak.
            Suara hati tidak sama dengan perasaan bersalah. Kesadaran moral sama sekali tidak dapat dipahami sebagai perasaan meskipun unsur-unsur emosi ada di dalamnya. Suara hati menyatakan diri karena mengerti apa yang secara obyektif merupakan tanggung jawab dan tindakan yang diambil bernilai bagi manusia. Sedangkan superego hanya menekan atau menegur suatu tindakan tanpa memberi penilaian apakah suatu tindakan tepat atau tidak secara bertanggungjawab.
Superego berfungsi sebagai pendukung bagi suara hati walaupun kadang-kadang mengacaukan suara hati. Superego menyediakan orientasi kuat bagi suara hati untuk mengontrol ego agar tidak menyimpang dari kewajibannya. Kadang-kadang suara hati harus menentang superego yang tidak sesuai dengan kebenaran obyektif.

Refleksi Kritis 

Setiap orang senantiasa berhadapan dengan permasalah yang kompleks dalam hidupnya. Di tengah pelbagai cara hidup orang harus mengambil suatu keputusan dan tindakan atas keputusan itu. Di sinilah suara hati berperan. Suara hati sudah terberi (given) sebagai bagian dari kemanusiaannya. Dapat dikatakan bahwa keberadaan manusia nyata dari adanya suara hati, karena suara hati merupakan kesadaran manusiawi dalam berhadapan dengan situasi konkret. Orang dituntut untuk  melakukan kewajibannya yang dianggap bernilai.

            Meskipun suara hati adalah kesadaran moral manusiawi dalam situasi konkret, namun suara hati bukanlah kebenaran sempurna. Tidak bisa juga mengabaikan suara hati setiap menilai suatu hak dan mengambil keputusan atasnya. Demi alasan itulah maka suara hati perlu diasah, dibina, dididik, atau dipertajam. Tujuannya agar suara hati peka menilai dan mempertimbangkan segala sesuatu.

            Suara hati selalu mengikutsertakan penilaian tentang suatu situasi sehingga sebagai suatu kegiatan nalar dan nalar bisa saja keliru. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak dapat keliru yaitu kesadaran dalam suara hati yang harus memilih kebaikan, kejujuran, kesetiaan, dan keadilan. Apa yang baik dan harus dipilih diketahui langsung secara intuitif  meskipun untuk memastikan apa yang baik memerlukan rasio. Suara hati menyuarakan tuntutan mutlak untuk selalu memilih yang baik dan menolak yang buruk.

            Adalah benar bawah dalam suara hati manusia bertemu dengan Yang Mutlak. Terlepas dari agama yang dianut, dalam suara hatinya setiap orang bertemu dengan Yang Mutlak itu. Dengan memilih yang baik karena memang baik dan menolak yang jahat karena memang jahat menjadi bukti bahwa orang taat atau menyerah pada Yang Mutlak. Orang yang tidak taat pada tarikan Yang Mutlak itu dikuasai oleh emosi, nafsu, rasa benci, dan sikap jahat lainnya sehingga suara hatinya menjadi tumpul. Fungsi suara hati adalah mengambil keputusan. Sebagai pengambil keputusan, suara hati tidak boleh dipengaruhi unsur-unsur dari luar yang menggangu, sekalipun sebagian penilaian suara hati dipengaruhi oleh pemahaman manusia yang didapat dari lingkungannya. Artinya, penilaian suara hati harus sesuai dengan kebenaran obyektif. Apa yang menjadi realitas itulah yang disuarakan.  

            Terdapat beberapa prinsip dalam mengambil keputusan yang perlu dibina untuk mengembangkan suara hati. Pertama, suara hati harus benar dan pasti. Tidak ada kebimbangan saat mengambil keputusan. Suara hati tidak cukup baik tetapi harus benar. Tidak semua yang baik itu benar. Sesuatu baik bagi orang tertentu belum tentu menjadi kebenaran obyektif. Kedua, orang yang melakukan keputusan suara hatinya harus bertanggungjawab. Tanggung jawab atas keputusan suara hati membuat orang semakin bebas. Ketiga, apabila suara hati ragu-ragu, maka sebaiknya jangan diambil keputusan. Keputusan yang diambil dalam keragu-raguan akan menyebabkan kekeliruan. Sebaiknya bertanya kepada orang yang lebih kompeten di bidangnya agar mendapat pengetahuan yang  pasti dan keputusan yang akan diambil kembali pun menjadi tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun