Pembiasaan melakukan perbuatan baik sangat diharapkan dalam pengembangan suara hati. Perbuatan baik harus dijadikan sebagai habitus. Dalam usaha melaksanakan dan membiasakan hal-hal yang baik tercakup aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Keutamaan-keutamaan moral tumbuh karena membiasakan yang baik, sehingga ketepatan penilaian suara hati dapat berkembang. Bagaimanapun, sesuatu yang diulang-ulang akan menjadi milik pribadi dan menumbuhkan insting moral yang diharapkan.
Terbuka terhadap Yang Mutlak
Suara hati memang dapat keliru tetapi Yang Mutlak yang terlibat dalam suara hati tidak dapat keliru. Dalam pemahaman ini kita menyebut Yang Mutlak itu sebagai Allah. Sangat jelas bahwa suara hati tidak boleh disamakan dengan suara Allah. Suara hati mencerminkan pengertian seseorang dan suara dari diri manusia. Namun, dalam suara hati terdapat unsur yang tidak dapat diterangkan yakni kemutlakannya. Padahal manusia adalah makhluk yang tidak mutlak. Kemutlakan itu mengarah pada Allah sebagai Yang Mutlak. Terdapat pengalaman transendensi dalam suara hati. Kemutlakan suara hati dapat dipahami apabila menerima adanya Yang Mutlak yang menjadi saksi atas tindakan yang dilakukan seseorang. Pada dasarnya dalam keotonomiannya manusia terbuka pada Yang Mutlak. Berdasarkan alasan itu dapat diterima pandangan John Henry Newman yang mengatakan bahwa suara hati sebagai jalan untuk memahami eksistensi Allah.
Pentingnya Nasihat Moral dan Tradisi
Ketika seseorang menilai suatu situasi secara moral, penilaiannya itu terbentuk melalui pengalaman-pengalaman dari lingkungan sosial. Di satu sisi memiliki kecenderungan kuat untuk memberikan penilaian moral dan di sisi lain sikap kritis diperlukan dalam kecenderungan tersebut. Pembentukan penilaian moral memerlukan nasihat moral. Terdapat keterbukaan terhadap orang yang memiliki kearifan atau kebijaksanaan.
Suatu tradisi tidak boleh diikuti secara buta, tetapi perlu dikritisi. Tradisi masyarakat tertentu kerap memuat kebijaksanaan tentang hidup manusia. Apa yang dianggap bernilai dan baik dari tradisi perlu diteruskan karena di dalamnya termuat nasihat-nasihat moral yang berguna bagi kehidupan generasi berikutnya. Dengan kata lain, orang harus rendah hati untuk mencari nasihat orang lain karena mengakui keterbatasan dirinya.
Hati yang Murni
Kemurnian hati dapat mengembangkan suara hati. Istilah Jawa yang digunakan oleh Franz Magnis-Suseno mengenai kemurnian hati adalah sepi ing pamrih. Berbagai emosi dan dorongan irrasional terus-menerus merongrong diri manusia. Perasaan takut dikritik, malu, malas, dendam, iri, dan sebagainya sering menguasai diri seseorang. Kecenderungan itu membuat manusia tidak terbuka pada suara hatinya. Akibatnya, manusia semakin kurang bertanggung jawab karena kebebasan eksistensial seseorang berkurang.Â
Membebaskan diri dari kecenderungan kekuatan-kekuatan irrasional merupakan usaha untuk mengembangkan kekuatan batin. Usaha penguasaan diri dari kekuatan itu disebut pamrih. Orang yang murni hatinya akan mampu menguasai diri. Nafsu-nafsu dan emosi-emosi akan dapat dikontrol dengan baik. Seorang yang sepi ing pamrih sanggup memenuhi kewajiban dan tanggung jawab dalam hidupnya.
Perkembangan suara hati dapat dicapai apabila memiliki maksud yang lurus (recta intentio), pengaturan emosi-emosi (ordinatio affectuum), dan pemurnian hati (purificatio cordis). Recta intentio membuat seseorang mampu untuk mencapai apa yang memang sudah direncanakan. Ordinatio affectuum artinya tidak membiarkan diri digerakkan oleh perasaan, nafsu, dan kecenderungan buruk sehingga seluruh dorongan itu dapat diatur dan tidak menggangu sikap tanggung jawab. Purificatio cordis merupakan pemurnian hati dari segala nafsu kotor dan kepalsuan. Tujuannya agar seseorang sungguh-sungguh menjadi manusia yang original sampai ke akar kepribadiannya. Kecenderungan buruk tidak akan menguasai orang yang murni hatinya. Â Orang yang murni hatinya akan mempunyai daya penilaian yang jernih sehingga mampu melihat kewajiban dan tanggungjawabnya dengan tepat.
Penentuan Diri Sendiri