Mohon tunggu...
Nofrendi Sihaloho
Nofrendi Sihaloho Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Magister Filsafat di Fakultas Filsafat UNIKA Santo Thomas, Sumatera Utara

Hobi saya membaca buku-buku rohani dan filsafat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dimensi Etis Margondang Sabangunan dalam Budaya Batak Toba dalam Kaitannya dengan Etika Thomas Aquinas

20 Februari 2024   07:40 Diperbarui: 20 Februari 2024   08:12 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENELISIK DIMENSI ETIS MARGONDANG SABANGUNAN

DALAM SUKU BATAK TOBA 

DALAM KAITANNYA DENGAN ETIKA THOMAS AQUINAS

Pendahuluan

Sebagai salah satu suku di Indonesia, Suku Batak Toba mempunyai kebudayaan yang kaya akan dimensi etis. Meskipun etika Batak Toba belum digali dalam studi khusus yang sistematis, tetapi nilai-nilai etis selalu tampak dalam aspek kehidupan orang Batak Toba, baik itu dalam falsafah, kesenian, upacara keagamaan tradisional, nyanyian, alat musik, dan sebagainya. Salah satu aspek etis Batak Toba diungkapan dalam Margondang Sabangunan.

Sebelum menelisik makna etis Margondang Sabangunan, tulisan ini terlebih dahulu menyajikan gagasan tentang etika menurut beberapa filsuf. Pemikiran para filsuf etika itu, khususnya Thomas Aquinas dicoba dilihat dan diaplikasikan dalam Margondang Sabangunan. Aplikasi yang dimaksud adalah mencoba menemukan aspek-aspek etis dalam Margondang Sabangunan. Tulisan ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu filsafat dan kebudayaan, dan menambah cakrawala dalam melestarikan budaya Batak Toba. 

Terminologi Etika

Secara etimologis, kata etika berasal dari kata ethos (Yunani), yang berarti adat kebiasaan, watak atau kelakuan manusia. Sedangkan kata moral berasal dari kata mos-moris (Latin), berarti adat kebiasaan. Namun, istilah etika dipakai untuk menyebut ilmu dan prinsip-prinsip dasar penilaian baik-buruknya perilaku manusia sebagai manusia. Etika menekankan aspek filosofis. Untuk itu, etika sering juga disebut sebagai filsafat moral. Menurut Franz Magnis Suseno, etika adalah ilmu atau refleksi sistematik mengenai pendapat-pendapat, norma-norma, dan istilah-istilah moral.[1] Sementara itu, istilah moral digunakan untuk menyebut aturan atau norma yang lebih konkret bagi penilaian baik-buruknya perilaku manusia. Objek material etika adalah tingkah laku manusia sebagai manusia, dan objek formalnya adalah segi baik-buruknya atau benar-salahnya tindakan tersebut berdasar pada norma moral. Dengan kata lain, tolok ukur yang dipakai adalah norma moral.[2]

Sebagai salah satu cabang filsafat, etika memiliki relevansi yang aktual pada zaman ini. Pertama, etika menyediakan kesempatan kepada manusia untuk merefleksikan hidupnya. Etika dapat membantu orang untuk menghayati hidupnya sebagai manusia. Dengan itu, seseorang lebih sadar dan bertanggungjawab. Etika juga membantu seseorang untuk mempertanggungjawabkan pilihan tindakannya secara kritis. Selain itu, etika juga menjadi alat intelektual untuk menanggapi masalah-masalah etis yang muncul sebagai akibat dari modernisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]

Etika Thomas Aquinas

            Thomas Aquinas mencetuskan teori hukum kodrat. Ia memasukkan unsur dasariah Sang Pencipta sebagai dasar dan sumber adanya manusia dan semesta. Karena itu, kebiasaan dan suara hati menjadi unsur yang penting dalam hidup moral. Orang yang hidup sesuai dengan kodrat kemanusiaannya tidak hanya bijaksana, melainkan sudah memenuhi kehendak Allah. Kodrat manusia yang berakal budi turut ambil bagian dalam kebijaksanaan Allah. Hukum kodrat mendahului hukum positif. Hukum kodrat dimengerti sebagai hukum yang tidak tertulis dengan tinta tetapi tergores dalam hati setiap  orang. Sementara itu, hukum positif dipahami sebagai hukum yang diundangkan oleh lembaga pemerintah dalam menata masyarakat. Bagi Thomas Aquinas, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Namun, apa yang baik tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebahagiaan. Karena itu, tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan bila diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica).[8]

            Menurut Thomas Aquinas, norma pengaturan hidup manusia adalah kehendak Allah, dan kehendak Allah itu tampak dalam kodrat manusia. Etika hukum kodrat yang dimaksud oleh Thomas dapat menjamin rasionalitas kesadaran moral. Kehendak Allah harus ditaati karena itu sesuai dengan kodrat manusia. Manusia dapat menemukan kebahagiaan hanya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Untuk itu, kriteria objektif bagi kehendak Allah adalah kodrat manusia. Kodrat manusia menjadi ungkapan kehendak Allah dan hukum abadi (lex aeterna).[9] 

            Meskipun demikian, hukum kodrat yang dimaksud terbuka terhadap perkembangan. Alasannya, paham hukum kodrat Thomas Aquinas memberi tempat pada perspektif sejarah manusia. Manusia selalu mengalami perubahan dan perkembangan dalam perjalanan sejarahnya. Itulah yang menyebabkan adanya perbedaan peraturan moral di berbagai tempat kendatipun kodrat manusia itu sama. Untuk itu, prinsip dasariah yang berlaku umum untuk melakukan yang baik dan menghindari yang jahat, untuk berlaku adil, dan untuk menghormati harkat kemanusiaan orang lain harus dimengerti dalam perkembangan sejarah.[10]

Menelisik Makna Etis Margondang Sabangunan

Pengertian Gondang Sabangunan

            Gondang dapat diartikan sebagai gendang. Sabangunan berarti sepasang, satu perlengkapan, atau seperangkat gendang.[15] Dalam budaya Batak Toba, gondang memiliki pengertian yang plural, antara lain, gondang dimengerti sebagai seperangkat alat musik, komposisi musik, upacara religius tradisional, dan menunjuk pada kelompok kekerabatan yang sedang manortor (menari) saat kegiatan gondang sabangunan berlangsung.[16] 

Secara umum, gondang sabangunan diartikan sebagai seperangkat alat musik Batak Toba yang terdiri dari gordang, taganing, ogung oloan, ogung panggora, ogung doal, ogung ihutan, sarune, dan hesek. Margondang sabangunan berarti kegiatan memainkan alat musik gondang sabangunan. Orang Batak Toba menyebut gondang sabangunan hanya bila kedelapan alat musik itu dimainkan secara lengkap. Karena alat musiknya berjumlah delapan, maka pemain musik juga harus berjumlah delapan orang. Kedelapan alat musik dianalogikan dengan desa na ualu (desa yang delapan, dimaknai bahwa orang yang datang ke acara adat berasal dari berbagai tempat). Sementara itu, Kedelapan pemain musik dianalogikan dengan raja na ualu (raja yang delapan, dimaknai bahwa status setiap laki-laki Batak Toba adalah raja).[17]

 

Upacara Margondang Sabangunan

Kegiatan margondang sabangunan dilakukan oleh masyarakat Batak Toba dalam upacara-upacara adat yang penting. Gondang Sabangunan juga menjadi daya tarik bagi banyak orang Batak Toba. Salah satu tolok ukur kesuksesan suatu pesta atau acara adat adalah banyaknya orang yang menghadiri acara adat. Bila banyak orang yang hadir, maka pemiliki (suhut) pesta adat mendapat kebanggaan, kepuasan, dan kebahagiaan. Terlebih lagi bila pesta atau acara adat yang diselenggarakan itu terlaksana dengan baik.[18] 

Bagi orang Batak Toba, mengadakan upacara margondang bukanlah hal yang mudah. Alasannya adalah upacara margondang harus disertai dengan tujuan yang jelas dan mengeluarkan banyak biaya. Misalnya, margondang sabangunan diadakan saat upacara panangkok saring-saring ni opung tu tambak (memasukkan tulang-belulang leluhur ke dalam tugu). Upacara itu biasanya diadakan selama tiga hari tiga malam sesuai dengan ritus adat Batak Toba. Dalam upacara margondang sabangunan, setiap undangan mendapat kesempatan untuk manortor (menari) sesuai dengan status hubungan kekerabatan dengan pemilik pesta (suhut).[19]

Di samping itu, margondang sabangunan dapat diadakan dalam pesta sukacita, misalnya, pesta muda-mudi, pesta rumah, pesta (huta) kampung, dan sebagainya. Margondang sabangunan juga diadakan dalam upacara religi tradisional. Salah satunya adalah dalam upacara Mangase Taon (perayaan Tahun Baru Batak), dimana diadakan persembahan korban horbo bius. Dalam upacara itu, digelar persembahan horbo bius (seekor kerbau sebagai kurban dengan kriteria yang telah ditentukan) yang diikatkan pada sebuah kayu yang disebut borotan. Borotan dibuat sebagai lambang pohon kehidupan.

Kurban ini dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon sebagai tindakan pengudusan. Lewat tindakan ini dunia disucikan sesuai dengan rencana Mulajadi Nabolon pada awal penciptaan dunia. Semesta dimurnikan dari hal-hal jahat, sekaligus juga sebagai ucapan syukur atas kebaruan bumi. Diadakan juga upacara mangalotlot (mengarak horbo bius ke seluruh kampung dan persawahan). Sesudah itu, kerbau kembali diikatkan ke borotan. Arti ritus ini adalah pemurnian bumi dan segala semesta. Dalam mite Batak, manusia pertama yang ada di bumi adalah Si Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Namun, manusia dan keturunannya itu telah berdosa dan menentang Debata. Sebagai sanksi, Debata menghukum mereka dengan memisahkan banua ginjang dengan banua tonga. Karena itu, dicari suatu ritual dengan lambang-lambang yang digunakan untuk memurnikan bumi ini. Maka horbobius dijadikan sebagai lambang bumi dan borotan sebagai lambang kuasa mencipta dari Debata. Setelah tiba waktunya, horbo bius akan dikurbankan. Hal ini dilakukan oleh malim/spesialis tertentu dan diiringi dengan tonggo-tonggo atau doa-doa dan gondang sabangunan. Selama upacara, setiap orang yang hadir manortor bersama. Darah dan kematian horbo bius menjadi tanda penghapusan pelanggaran manusia.[20] 

 

Gondang Sabangunan dan Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu adalah sistem kekerabatan dalam hidup masyarakat Batak Toba. Dalihan artinya tungku yang terbuat dari batu. Na artinya yang, dan tolu artinya tiga. Secara harfiah, Dalihan Na Tolu berarti tungku yang terdiri dari tiga batu. Secara simbolis, ketiga batu itu adalah pihak hula-hula (pihak keluarga istri), boru (penerima istri), dan dongan tubu (teman semarga). Ketiga unsur ini memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya dalam acara adat. Dalihan Na Tolu menentukan hubungan kekerabatan dalam hidup bermasyarakat. Ibarat tungku yang menjaga keseimbangan, demikian juga Dalihan Na Tolu bertujuan agar tertata keseimbangan dalam kekerabatan dalam budaya Batak Toba.[21] 

Segala kegiatan kehidupan orang Batak Toba dirasa terlaksana dengan baik bila kegiatan adat sesuai dengan prinsip Dalihan Na Tolu. Karena itu, setiap acara seremonial dalam adat yang disertai dengan musik gondang sabangunan terlaksana dan membawa kebahagiaan kepada suhut (pemilik pesta) bila ada relasi yang harmonis di antara ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu. Selanjutnya, gondang sabangunan merupakan simbol dari Dalihan Na Tolu. Alat musik taganing dalam gondang sabangunan melambangkan dongan tubu, ogung melambangkan boru, dan sarune melambangkan hula-hula. Saat kegiatan margondang diadakan oleh ketiga unsur Dalihan Na Tolu itu, suhud dan kerabatnya meminta (maminta) gondang kepada pemain musik supaya hasuhuton (suhud dan kerabatnya) manortor (menari). Dalam acara manortor, hula-hula berperan untuk memberi pasu-pasu (berkat) kepada boru dengan menumpangkan tangan di atas kepala pihak boru sambil menari. Sembari hula-hula memberi berkat, boru menerima berkat itu dengan cara menunduk sambil manortor. Adapun tujuan Gondang Dalihan Na Tolu adalah menyatakan dan memperkuat solidaritas kekerabatan di antara mereka.[22]

 

Margondang Sabangunan sebagai Simbol Harmoni 

            Seluruh hidup masyarakat Batak Toba terarah pada pencapaian harmoni dengan yang ilahi, sesama, roh leluhur, dan dengan alam semesta. Orang Batak Toba mengenal tiga bagian kosmos, yaitu banua tonga (dunia tempat manusia berada), banua ginjang (dunia atas, tempat yang ilahi), dan banua toru (dunia orang mati dan tempat kegelapan). Melalui kegiatan margondang sabangunan, manusia mampu sampai pada yang ilahi. Yang ilahi disebut Mulajadi Na Bolon. Salah satu cara untuk mewujudkan relasi yang harmonis antara manusia dan yang ilahi adalah lewat upacara ritual yang disertai dengan gondang sabangunan. Pemulihan relasi dengan yang Mulajadi Na Bolon dilakukan dengan upacara mangase taon.[23] 

            Masyarakat Batak Toba juga menghormati dan memuja roh-roh leluhur yang sudah menjadi sumangot (yang sudah mulia). Sumangot ini diyakini dapat memberikan pasu-pasu (berkat) kepada keturunannya, sehingga keturunan mendapat hidup yang sejahtera dengan tercapainya hagabeon (keturunan yang banyak), hasangapon (kehormatan), dan hamoraon (kekayaan). Sedapat mungkin, harus dijalin relasi yang harmonis dengan roh-roh leluhur. Penghormatan kepada roh-roh leluhur biasanya disampaikan oleh seorang perantara (sibaso), yang biasanya disertai dengan margondang sabangunan.[24] 

            Relasi yang harmonis juga harus diadakan dengan sesama manusia. Dalam acara adat, suhut dapat maminta gondang (memohonkan gondang) kepada pargonsi (pemain gondang), yang ditujukan untuk menghormati sesama manusia, khususnya  bagi mereka yang termasuk dalam unsur Dalihan Na Tolu. Karena itu, relasi antarmanusia dalam masyarakat Batak Toba tidak bisa terlepas dari harmoni ketiga unsur dalam Dalihan Na Tolu. Selanjutnya, manusia perlu menjalin relasi yang harmoni dengan alam. Gondang sabangunan juga dipakai untuk menghormati alam terutama dalam seremonial tradisional. Karena itu, penggunaan gondang sabangunan yang mengiringi tor-tor sangat penting dalam seluruh rangkaian acara. Dengan demikian, margondang sabangunan mengandung makna agar manusia berperilaku baik terhadap sesama, alam, roh leluhur, dan Mulajadi Na Bolon.[25] 

 

Dimensi Etis Margondang Sabangunan

Dalam budaya Batak Toba, dimensi etis yang terungkap melalui margondang sabangunan berhubungan dengan aspek-aspek religius tradisional. Perilaku etis seseorang selalu tampak dalam relasi Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu menjadi norma berperilaku  dan berkegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman akan status dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang terungkap saat margondang sabangunan mengingatkan masyarakat Batak Toba untuk menghormati dan menghargai kehidupan. Penghargaan terhadap setiap orang sesuai dengan statusnya merupakan poda (amanat/pesan) dari para leluhur. Pesan itu diajarkan secara turun-temurun dan tertanam kuat dalam diri orang Batak Toba. Setiap orang selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan poda yang diajarkan oleh leluhur, dan poda itu sering diungkapkan lewat margondang sabangunan. [26] 

Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu mendapat kesempatan untuk manortor (menari) saat margondang sabangunan. Contohnya, gondang hasuhuton menunjukkan bahwa intensi lagu yang dibawakan untuk ditortori (ditarikan) oleh suhut. Gondang boru berarti pihak boru mendapat giliran untuk manortor. Demikian juga hula-hula mendapat kesempatan untuk manortor.[27]  

Pola gerakan tor-tor dalam margondang sabangunan melukiskan status seseorang dalam acara adat. Gerakan hula-hula yang menumpangkan tangan ke atas kepala setiap boru menggambarkan pasu-pasu (berkat). Mereka yakin bahwa lewat berkat hula-hula, hasil tanah akan berlipat ganda, anak-anaknya sukses, dan boru itu mendapat kehormatan. Dengan kata lain, lewat berkat hula-hula, boru akan mendapat hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Di samping itu, dalam margondang sabangunan tampak prinsip Dalihan Na Tolu, yakni manat mardongan tubu, elek marboru, dan somba marhula-hula (sikap hati-hati/hormat kepada teman semarga, sikap membujuk/mengayomi boru, dan hormat kepada hula-hula ), yang diekspresikan dalam setiap jenis gondang yang diminta dan pola gerakan dalam manortor. Sikap hormat terhadap setiap orang yang diekspresikan dalam margondang sabangunan sesuai dengan peranan dalam Dalihan Na Tolu, menunjukkan kesederajatan manusia. Alasannya adalah karena setiap orang Batak Toba akan mendapat kesempatan dan status menjadi hula-hula, boru, ataupun dongan tubu. Untuk acara adat tertentu, bisa jadi seseorang berperan sebagai hula-hula. Namun, dalam acara adat di pihak orang lain,  seseorang dapat berstatus sebagai boru. Dengan itu, setiap orang memaknai dirinya sebagai bagian dari orang lain.[28] 

Orang Batak Toba menganut paham bahwa kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup berhubungan dengan motif-motif religus tradisional. Kebahagiaan tidak cukup diraih hanya dalam tataran manusiawi (human), tetapi kebahagiaan sesungguhnya dicapai bila melakukan sikap yang baik dan sopan serta mengakui kekuatan adikodrati yang disebut Mulajadi Na Bolon.[29]

Dapat dikatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia, orang Batak Toba harus mengaktualisasikan diri untuk bersatu dengan sesama, roh para leluhur, alam, dan Mulajadi Na Bolon. Pasu-pasu yang diberikan oleh hula-hula dalam acara margondang sabangunan diharapkan menjadi hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Bila ketiga aspek itu dicapai, maka seseorang dapat dikatakan bahagia dalam hidup. Konsekuensi logis dari ketiga aspek itu adalah kerja keras, ulet, dan optimis. Secara umum, hal itu menjadikan orang Batak Toba memiliki kepribadian yang kuat dan pejuang.  Bagi mereka, hidup harus dijalani dengan penuh perjuangan dan pengharapan.[30]

 Dalam margondang sabangunan, tampak bahwa orang Batak Toba harus mendekati yang ilahi (Mulajadi Na Bolon) untuk mendapat kebahagiaan. Tidak mungkin kebahagiaan dicapai tanpa bersatu dengan yang ilahi, karena hagabeon, hamoraon, dan hasangapon berasal dari Mulajadi Na Bolon yang dimanifestasikan dalam diri hula-hula. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa hula-hula adalah Debata na tarida (yang ilahi/Allah yang tampak). Untuk itu, manusia dituntut untuk mempersembahkan pelean (persembahan), misalnya, pelean horbo bius. Pelean diadakan karena orang Batak Toba meyakini bahwa Mulajadi Nabolon adalah sumber kebahagiaan. Bagi orang Batak Toba, kebahagiaan di dunia (banua tonga) belum sempurna. Akan tetapi, kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai bila bersatu secara harmonis dengan Mulajadi Na Bolon sesudah kematian manusia.[31] Secara simbolik, pengalaman dalam relasi hidup bersama khususnya dalam menempatkan diri atau status dalam Dalihan Na Tolu selalu ditampakkan dalam acara margondang sabangunan. Usaha menjalin relasi yang harmonis dengan yang ilahi (Mulajadi Na Bolon) diungkapkan dalam margondang sabangunan. Semua itu menjadi tuntutan etis untuk mencapai tujuan hidup yakni kebahagiaan.[32]

Kesimpulan

Pemikiran etis Thomas Aquinas dapat dihubungkan dengan dimensi etis Margondang Sabangunan. Bagi Thomas Aquinas, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Namun, apa yang baik tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebahagiaan. Karena itu, tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan bila diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica). Kehendak Allah harus ditaati karena itu sesuai dengan kodrat manusia. Manusia dapat menemukan kebahagiaan hanya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Untuk itu, kriteria objektif bagi kehendak Allah adalah kodrat manusia. Kodrat manusia menjadi ungkapan kehendak Allah dan hukum abadi.

Senada dengan pemikiran Thomas Aquinas itu, melalui acara margondang sabangunan diungkapkan bahwa orang Batak Toba mengakui tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu dicapai bila melakukan relasi yang harmonis, teristimewa bila menghormati yang ilahi (Mulajadi Na Bolon). Perilaku etis seseorang selalu tampak dalam relasi dengan Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu menjadi norma berperilaku  dan berkegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman akan status dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang terungkap saat margondang sabangunan mengingatkan masyarakat Batak Toba untuk menghormati orang lain dan menghargai kehidupan.

Dapat dikatakan bahwa dimensi etis pemikiran Thomas Aquinas berdasar pada kodrat manusia yang selalu berusaha melaksanakan kehendak Allah. Orang yang hidupnya sesuai dengan kodrat sebagai manusia berarti sudah melakukan kehendak Allah. Demikian halnya orang Batak Toba mengaitkan tindakan etis manusia dengan keselarasan dengan kehendak yang ilahi (Mulajadi Na Bolon), yang diungkapkan dalam kegiatan margondang sabangunan terutama saat melakukan upacara mangase taon. Seluruh tindakan manusia di banua tonga (dunia) tidak bisa terlepas dari pengaruh yang adikodrati. 

Dalam margondang sabangunan, tampak bahwa orang Batak Toba harus mendekati yang ilahi (Mulajadi Na Bolon) untuk mendapat kebahagiaan. Tidak mungkin kebahagiaan dicapai tanpa bersatu dengan yang ilahi, karena hagabeon (keturunan), hasangapon (kehormatan), hamoraon (kekayaan) berasal dari Mulajadi Na Bolon yang dimanifestasikan dalam diri hula-hula. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa hula-hula adalah Debata na tarida (yang ilahi/Allah yang tampak).

Dalam acara margondang sabangunan diungkapkan posisi atau status seseorang dalam tatanan Dalihan Na Tolu, apakah seseorang memiliki peran sebagai dongan tubu, boru, atau hula-hula. Dengan itu, margondang sabangunan menjadi simbol etis bagi orang Batak Toba. Lewat margondang sabangunan, orang Batak Toba diajarkan untuk menghormati sesama dan yang ilahi. Atas dasar ini setiap orang harus berperilaku yang baik agar terjalin relasi yang harmonis antarsesama sesuai dengan statusnya dan relasi harmonis dengan Mulajadi Na Bolon.

Dengan demikian, sebagaimana Thomas Aquinas berasumsi bahwa kebahagiaan dicapai bila bersatu dengan Allah dengan melakukan kehendak-Nya (karena memang itu adalah kodrat manusia), demikian halnya lewat margondang sabangunan orang Batak Toba diajak untuk hidup harmoni dengan Dalihan Na Tolu dan Mulajadi Na Bolon. Thomas Aquinas mengatakan bahwa kebahagiaan seutuhnya dapat dicapai bila diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica), demikian juga orang Batak Toba meyakini bahwa kebahagiaan sepenuhnya akan dialami oleh manusia sesudah mengalami kematian dan bersatu dengan yang ilahi.

 

Daftar Kepustakaan

 

Abubakar, Bustami (ed.). Dalihan Na Tolu pada Masyarakat Batak Toba di Kota Medan. Banda Aceh: Balai Pelestarian Budaya Aceh, 2017.

Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius, 1975.   

Joosten, Leo. Kamus Batak Toba-Indonesia. Medan: Bina Media Perintis, 2012.  

-------------    Samosir: The Old Batak Society (judul asli: Samosir: De Oud Batakse Maatachappij). Pematangsiantar: [tanpa penerbit], 1992.

Sihombing, T. M. Jambar Hata: Dongan tu Ulaon Adat. [tanpa tempat penerbit]: CV Tulus Jaya, 1989). 

Simanullang, Norton Gabriel. Gondang Sabangunan: Suatu Uraian Filosofis-Kultural atas Nilai-nilai Simbolik-Kultural Gondang Sabangunan dalam Budaya Batak Toba. Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Sumatera Utara, 2004. (skripsi).

Sinaga, Anicetus B.  Dendang Bakti Inkulturasi Teologi dalam Budaya Batak. Medan: Bina Media Perintis, 2004.

Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: Kanisius, 2013. 

Susueno, Franz Magnis. Etika Jawa: Suatu Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia, 1984. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun