Dimensi Etis Margondang Sabangunan
Dalam budaya Batak Toba, dimensi etis yang terungkap melalui margondang sabangunan berhubungan dengan aspek-aspek religius tradisional. Perilaku etis seseorang selalu tampak dalam relasi Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu menjadi norma berperilaku  dan berkegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman akan status dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang terungkap saat margondang sabangunan mengingatkan masyarakat Batak Toba untuk menghormati dan menghargai kehidupan. Penghargaan terhadap setiap orang sesuai dengan statusnya merupakan poda (amanat/pesan) dari para leluhur. Pesan itu diajarkan secara turun-temurun dan tertanam kuat dalam diri orang Batak Toba. Setiap orang selalu berusaha untuk hidup sesuai dengan poda yang diajarkan oleh leluhur, dan poda itu sering diungkapkan lewat margondang sabangunan. [26]Â
Setiap unsur dalam Dalihan Na Tolu mendapat kesempatan untuk manortor (menari) saat margondang sabangunan. Contohnya, gondang hasuhuton menunjukkan bahwa intensi lagu yang dibawakan untuk ditortori (ditarikan) oleh suhut. Gondang boru berarti pihak boru mendapat giliran untuk manortor. Demikian juga hula-hula mendapat kesempatan untuk manortor.[27] Â
Pola gerakan tor-tor dalam margondang sabangunan melukiskan status seseorang dalam acara adat. Gerakan hula-hula yang menumpangkan tangan ke atas kepala setiap boru menggambarkan pasu-pasu (berkat). Mereka yakin bahwa lewat berkat hula-hula, hasil tanah akan berlipat ganda, anak-anaknya sukses, dan boru itu mendapat kehormatan. Dengan kata lain, lewat berkat hula-hula, boru akan mendapat hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Di samping itu, dalam margondang sabangunan tampak prinsip Dalihan Na Tolu, yakni manat mardongan tubu, elek marboru, dan somba marhula-hula (sikap hati-hati/hormat kepada teman semarga, sikap membujuk/mengayomi boru, dan hormat kepada hula-hula ), yang diekspresikan dalam setiap jenis gondang yang diminta dan pola gerakan dalam manortor. Sikap hormat terhadap setiap orang yang diekspresikan dalam margondang sabangunan sesuai dengan peranan dalam Dalihan Na Tolu, menunjukkan kesederajatan manusia. Alasannya adalah karena setiap orang Batak Toba akan mendapat kesempatan dan status menjadi hula-hula, boru, ataupun dongan tubu. Untuk acara adat tertentu, bisa jadi seseorang berperan sebagai hula-hula. Namun, dalam acara adat di pihak orang lain, Â seseorang dapat berstatus sebagai boru. Dengan itu, setiap orang memaknai dirinya sebagai bagian dari orang lain.[28]Â
Orang Batak Toba menganut paham bahwa kebahagiaan merupakan tujuan hidup manusia. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup berhubungan dengan motif-motif religus tradisional. Kebahagiaan tidak cukup diraih hanya dalam tataran manusiawi (human), tetapi kebahagiaan sesungguhnya dicapai bila melakukan sikap yang baik dan sopan serta mengakui kekuatan adikodrati yang disebut Mulajadi Na Bolon.[29]
Dapat dikatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan di dunia, orang Batak Toba harus mengaktualisasikan diri untuk bersatu dengan sesama, roh para leluhur, alam, dan Mulajadi Na Bolon. Pasu-pasu yang diberikan oleh hula-hula dalam acara margondang sabangunan diharapkan menjadi hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Bila ketiga aspek itu dicapai, maka seseorang dapat dikatakan bahagia dalam hidup. Konsekuensi logis dari ketiga aspek itu adalah kerja keras, ulet, dan optimis. Secara umum, hal itu menjadikan orang Batak Toba memiliki kepribadian yang kuat dan pejuang. Â Bagi mereka, hidup harus dijalani dengan penuh perjuangan dan pengharapan.[30]
 Dalam margondang sabangunan, tampak bahwa orang Batak Toba harus mendekati yang ilahi (Mulajadi Na Bolon) untuk mendapat kebahagiaan. Tidak mungkin kebahagiaan dicapai tanpa bersatu dengan yang ilahi, karena hagabeon, hamoraon, dan hasangapon berasal dari Mulajadi Na Bolon yang dimanifestasikan dalam diri hula-hula. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa hula-hula adalah Debata na tarida (yang ilahi/Allah yang tampak). Untuk itu, manusia dituntut untuk mempersembahkan pelean (persembahan), misalnya, pelean horbo bius. Pelean diadakan karena orang Batak Toba meyakini bahwa Mulajadi Nabolon adalah sumber kebahagiaan. Bagi orang Batak Toba, kebahagiaan di dunia (banua tonga) belum sempurna. Akan tetapi, kebahagiaan abadi hanya dapat dicapai bila bersatu secara harmonis dengan Mulajadi Na Bolon sesudah kematian manusia.[31] Secara simbolik, pengalaman dalam relasi hidup bersama khususnya dalam menempatkan diri atau status dalam Dalihan Na Tolu selalu ditampakkan dalam acara margondang sabangunan. Usaha menjalin relasi yang harmonis dengan yang ilahi (Mulajadi Na Bolon) diungkapkan dalam margondang sabangunan. Semua itu menjadi tuntutan etis untuk mencapai tujuan hidup yakni kebahagiaan.[32]
Kesimpulan
Pemikiran etis Thomas Aquinas dapat dihubungkan dengan dimensi etis Margondang Sabangunan. Bagi Thomas Aquinas, tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan. Namun, apa yang baik tidak bisa disamakan begitu saja dengan kebahagiaan. Karena itu, tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan bila diperkenankan memandang wajah Allah (visio beatifica). Kehendak Allah harus ditaati karena itu sesuai dengan kodrat manusia. Manusia dapat menemukan kebahagiaan hanya apabila ia hidup sesuai dengan kodratnya. Untuk itu, kriteria objektif bagi kehendak Allah adalah kodrat manusia. Kodrat manusia menjadi ungkapan kehendak Allah dan hukum abadi.
Senada dengan pemikiran Thomas Aquinas itu, melalui acara margondang sabangunan diungkapkan bahwa orang Batak Toba mengakui tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu dicapai bila melakukan relasi yang harmonis, teristimewa bila menghormati yang ilahi (Mulajadi Na Bolon). Perilaku etis seseorang selalu tampak dalam relasi dengan Dalihan Na Tolu sebagai sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu menjadi norma berperilaku  dan berkegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman akan status dalam tatanan Dalihan Na Tolu yang terungkap saat margondang sabangunan mengingatkan masyarakat Batak Toba untuk menghormati orang lain dan menghargai kehidupan.
Dapat dikatakan bahwa dimensi etis pemikiran Thomas Aquinas berdasar pada kodrat manusia yang selalu berusaha melaksanakan kehendak Allah. Orang yang hidupnya sesuai dengan kodrat sebagai manusia berarti sudah melakukan kehendak Allah. Demikian halnya orang Batak Toba mengaitkan tindakan etis manusia dengan keselarasan dengan kehendak yang ilahi (Mulajadi Na Bolon), yang diungkapkan dalam kegiatan margondang sabangunan terutama saat melakukan upacara mangase taon. Seluruh tindakan manusia di banua tonga (dunia) tidak bisa terlepas dari pengaruh yang adikodrati.Â