Keempat, soal imam yang perawan/murni dalam Batak Toba tradisional, ada sosok imam agung bernama Si Raja Indapati. Debata Mulajadi Nabolon menentukan malim ini untuk mempersembahkan kurban dan menyamapikan permohonan kepada Debata sendiri, dengan mengatasnamakan manusia. Malim ini dikhususkan untuk upacara kudus dan tidak menikah. Ada juga malim pengurban bernama Ma Hu. Dikatakan pengurban, karena memang malim ini “dikurbankan” (read: tidak dibunuh) untuk keselamatan manusia.[8]
Paham mengenai malim dalam Batak Toba berdekatan dengan paham imamat dalam Gereja Katolik. Ternyata ada malim Toba yang tidak menikah dan semua imam Katolik juga selibat (tidak menikah). Dari sini dapat diasumsikan bahwa malim Batak Toba menjadi persiapan(preparatio) bagi imam Gereja Katolik. Karena itu, orang Toba tidak terlalu sulit menerima imam Katolik yang selibat. Di pihak lain, dalam upacara Mangase Taon (merupakan perayaan puncak Batak Toba) terdapat dua imam. Datu Sojuangon (telah berumur, mahir, dan berketurunan) yang bertugas dalam pelaksanaan doa, upacara, dan pengurbanan dan Datu Parjuguk (harus yang belum menikah) yang tugasnya sebagai imam agung dan ia hanya duduk saja. Dapat diindikasikan bahwa untuk mempersembahkan persembahan (pelean) dituntut imam yang selibat.[9] Namun, pada zaman sekarang imam dalam agama malim tidak semuanya perawan/selibat. Karena dalam sosio-budaya Batak Toba, seseorang dituntut juga untuk memiliki banyak keturunan, sebab orang yang memiliki banyak keturunan disebut mamora atau kaya.
Malim Batak Toba dan imam dalam Gereja Katolik pada hakikatnya tidaklah sama, walaupun memiliki persamaan dan kemiripan dalam ritus, pemahaman imam selibat, dan kurban. Malim Batak Toba bersifat regeneratif karena diteruskan turun-temurun (bila malim itu punya istri dan keturunan). Sedangkan dalam Gereja Katolik seorang imam sungguh-sungguh hidup selibat. Di samping itu, imamat Kristus itu diturunkan kepada seseorang dengan penumpangan tangan (tahbisan) yang diberikan uskup sebagai pengganti para rasul. Jadi tak ada unsur satu keturunan atau ikatan darah.
Malim Batak Toba harus orang yang dipandang mahir dan bijaksana. Posisinya dalam masyarakat berada pada kelas kerajaan. Namun, hamalimon (imamat) bisa saja belum diturunkan kepada seseorang oleh roh malim dari Debata Mulajadi Nabolon, tergantung dari kehendak Debata.[10] Selain itu, tidak ada formasio khusus sebagai wadah pendidikan bagi calon-calon malim. Untuk menjadi malim dapat dikatakan karena telah digariskan. Sedangkan dalam Gereja Katolik, seseorang yang mau menjadi imam harus melewati masa pendidikan yang lama, harus dan telah menerima sakramen inisiasi, wajib kuliah Filsafat dan Teologi, dan telah menerima Sakramen Tahbisan Diakonat. Maka terdapat perbedaan yang jauh antara malim Batak Toba dengan imam Katolik.
Malim Batak Toba dalam upacara horboius bertindak sebagai pemohon dan penyampai doa-doa. Akan tetapi seorang pastor dalam Perayaan Ekaristi bertindak dalam pribadi Kristus (in persona Christi). Seorang imam mampu menghadirkan diri Kristus yang nyata dalam Tubuh dan Darah-Nya.
Imamat dalam Gereja Katolik ditujukan kepada umat Allah dan segenap orang, bukan eksklusif pada Gereja Katolik sendiri. Seorang pastor dalam melaksanakan tritugasnya tidak cukup hanya bagi kalangan Kristen saja. Imamat itu menyangkut universalisme, sebagaimana Kristus, Sang Imam Agung, mengurbankan diri di kayu salib demi dunia. Sedangkan malim dalam Batak Toba tidak ada dikatakan untuk segenap orang, tetapi khusus bagi suku Batak Toba saja. Tentu hal ini berdasar pada pemahaman Batak Toba bahwa merekalah yang dicipta untuk menghuni dunia ini.
Malim Batak Toba dalam ke-malim-annya tidak mampu menghadirkan dengan sungguh-sungguh (presentia realis) malim Debata, yaitu Sorisohaliapan (salah satu dari tiga dewata atau pewaris hamalimon) pada saat upacara Mangase Taon. Malim hanya mengharapkan kesediaan Sorisohaliapan untuk datang dan memantau upacara itu agar ditujukan kepada Mulajadi Nabolon. Jadi, kontras perbedaan antara malim dengan imam Gereja Katolik.
Secara yuridis, seorang imam memiliki wilayah dan daerah tertentu yang menjadi tempat melaksankan tugas imamatnya. Misalnya, melayani di paroki tertentu. Namun, seorang malim Batak Toba tidak mempunyai wilayah tertentu yang menjadi tempat pelayanannya. Siapa saja yang mau bergabung menjadi anggota kelompok, itulah yang menjadi ranah tugasnya. Apabila sudah berada pada akhir tahun, maka dibuat upacara Mangase Taon. Sedangkan imam Katolik wajib mempersembahkan misa setiap hari. Dari sini, dapat ditemukan perbedaan-perbedaan dari kedua spesialis tersebut.
Penutup
Ternyata, imam Gereja Katolik dan malim Batak Toba memiliki persamaan dan perbedaan sebagaimana dalam penjelasan di atas. Spesialis Batak Toba (malim) itu memiliki kaitan dengan kosmologi tradisional Batak Toba. Imam Gereja Katolik berkaitan dengan Kitab Suci mulai dari kisah penciptaan (dalam Kitab Kejadian) sampai pada Kitab Wahyu dan Tradisi. Semuanya berpuncak pada diri Yesus Kristus yang memberikan diri-Nya sebagai wujud kasih tertinggi.
Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malim dalam pandangan Batak Toba menjadi preparatio evangelica[11] yang baik bagi kekatolikan. Karena itu, dunia religius Batak Toba terutama mengenai malim menjadi wadah yang menguntungkan bagi Gereja Katolik untuk mewartakan Injil.