Ada empat malim yang diutus Debata kepada manusia: Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Merekalah yang disebut sebagai penyampai dan pembawa ajaran keyakinan parmalim.[4] Keberadaan, fungsi, dan tugas masing-masing malim secara tegas dinyatakan dalam doa-doa mereka. Misalnya, dalam doa Raja Uti disebutkan bahwa dialah wakil Debata/sebagai pengantara. Permohonan disampaikan melalui Raja Uti, selanjutnya akan disampaikan kepada Mulajadi Nabolon. Bila doa dan permohonan seseorang dikabulkan, juga harus melalui Raja Uti. Meskipun para malim Debata itu tidak lagi hidup bersama dengan manusia, tapi diyakini bahwa sahala atau roh mereka selalu berhubungan dengan manusia. Mereka masih mengamat-amati segala kegiatan atau upacara yang dilakukan itu.Â
   Para malim yang sekarang diturunkan dari generasi ke generasi. Misalnya, malim Sisingamangaraja diturunkan sampai ke pinompar (keturunan) pada saat ini. Fungsi malim ini dapat dikatakan sebagai pelaku utama dalam ritus/upacara. Tugas malim adalah menghubungkan dunia dengan hal supranatural. Hal ini dilakukan dalam upacara mempersembahkan kurban horbobius.
Fungsi malim dalam kemasyarakatan Batak Toba berdampingan dengan fungsi raja. Raja, dalam melaksanakan seluruh tugasnya juga berperan sebagai dukun (pangobati), karena seorang raja dianggap memiliki kekuatan sakti dari yang Ilahi. Dapat dicermati bahwa malim menggantikan tugas dan peranan raja maupun dukun. Dalam upacara Mangase Taon, terdapat dua orang malim. Pertama, Datu Sojuangon. Ia harus telah berumur, bijak, dan berketurunan. Tugasnya adalah untuk menyampaikan doa-doa, upacara, dan pengesahannya (dengan menikam horbobius). Kedua, Datu Parjuguk. Malim ini hanya duduk. Ia harus belia dan belum menikah.[5]
Malim Batak Toba dan Imam Geraja Katolik
Persamaan
     Malim Batak Toba disakralkan karena dipandang sebagai mediator atau pengantara manusia dengan dunia supernatural, terutama sembah bakti kepada Debata Mulajadi Nabolon. Biasanya, seorang raja juga memiliki daya sebagai dukun dan malim. Memang tidak semua dukun (pangobati) yang dijadikan langsung sebagai raja dan malim. Menjadi sangat khas akan tritugas yang disandang oleh seorang malim Batak Toba, di mana seorang malim memiliki kuasa sebagai pemimpin, pangobati dan pemberi ajaran, dan sebagai spesialis/petugas kurban.
    Apabila dikaitkan dengan imam yang ada di Gereja Katolik, dapat dilihat persamaan yang menjadikan imam Batak dan imam (pastor) punya kedekatan walau tidak persis sama. Pertama, mengenai pandangan tentang hamalimon atau imamat. Dalam Batak Toba malim juga dipandang sebagai pengantara atau mediator manusia dengan dunia gaib/supranatural sebagaimana dalam Gereja Katolik imam adalah pengantara umat Allah dengan Allah sendiri (terutama dalam kurban Ekaristi). Malim Batak Toba dan imam Gereja Katolik sama-sama diakui sebagai penyampai doa-doa kepada Allah yang Maha Esa.
   Kedua, mengenai kurban. Dalam Gereja Katolik hanya imamlah yang bisa bertindak dalam mempersembahkan kurban Ekaristi di altar.[6] Kurban yang dimaksud dalam misa adalah Kristus sendiri, yang mengurbankan diri-Nya sebagai tanda ketaatan-Nya kepada Bapa dan demi keselamatan manusia.Â
  Malim Batak Toba juga bertindak untuk mengurbankan persembahan (pelean), terutama pada upacara Mangase Taon. Horbobius (seekor kerbau murni, tak bercela, dan harus punya kriteria tertentu agar dijadikan sebagai kurban) dipersembahkan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Bila Ekaristi dipersembahkan di altar maka horbobius dikurbankan di borotan.[7]
  Horbobius dipandang sebagai lambang bumi. Horbobius dipersembahkan untuk dan demi ke-baru-an bumi, karena bumi dan seisinya telah rusak dan mendurhaka kepada Debata. Kiranya ada kedekatan dengan pemahaman Katolik, bahwa Yesus yang mengurbankan diri-Nya demi keselamatan manusia dan atas kehendak Bapa. Boleh dikatakan bahwa pengurbanan yang dilakukan dalam kedua spesialis bertujuan untuk pengudusan/penyucian bumi.
 Ketiga, bila dicermati imam dalam Gereja Katolik tidak bertindak hanya sebagai imam saja. Tetapi sekaligus sebagai raja (pemimpin dan gembala) dan nabi (utusan dan pewarta). Bagi Batak Toba seorang malim juga bertindak sebagai raja dan dukun (pengobati sekaligus pengajar). Misalnya, Raja Sisingamangraja menjadi raja Batak juga sebagai malim Debata. Ia juga punya kesaktian untuk menyembuhkan. Dari sini dapat diketahui bahwa ternyata antara imam Gereja Katolik dan malim Batak Toba sama-sama memiliki tritugas yakni sebagai malim/imam, raja, dan dukun/nabi.