Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Asian Development Bank dalam Kebijakan Ekonomi Tiongkok

7 November 2022   07:00 Diperbarui: 7 November 2022   07:12 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiongkok telah berjalan jauh dalam mengembangkan sistem keuangan dan telah mengerjakannya secara masif dan sangat cepat. 

Tiongkok menyusun kebijakan ekonomi yang telah membuat kemajuan yang signifikan dalam restrukturisasi dan reorganisasi sektor keuangan sejak akhir 1990-an. 

Regulasi keuangan Tiongkok saat ini jauh lebih tidak terfragmentasi disertai dengan penurunan yang stabil dalam pangsa aset perbankan. 

Restrukturisasi dan konsolidasi kebijakan berasal dari koperasi kredit, Postal Savings Bank of China dan pendanaan yang lebih kondusif untuk bank-bank komersial guna menghasilkan sistem keuangan yang lebih beragam. 

Reformasi pasar ekuitas telah melihat transisi dari sepertiga menjadi dua pertiga privatisasi, sementara upaya untuk meningkatkan tata kelola dan aksesibilitas telah didukung oleh pernyataan Tiongkok dalam Morgan Stanley Composite Index. 

Peningkatan liberalisasi pasar obligasi telah memudahkan lembaga keuangan asing untuk berpartisipasi di pasar obligasi dalam negeri. Upaya Tiongkok untuk menahan pertumbuhan kewajiban luar negeri bersama-sama mempromosikan peningkatan moderat dalam kepemilikan aset keuangan domestik di luar negeri telah memungkinkan untuk menghindarkan Tiongkok dalam lingkup neraca pembayaran.

Sejak tahun 1990-an, sistem keuangan Tiongkok menjadi semakin kompleks dan meningkat, menimbulkan kekhawatiran serius tentang stabilitas keuangan. 

Hal pokok yang perlu dijaga adalah pertumbuhan lembaga keuangan non-bank sehingga bank tidak hanya menjadi pemain penting di pasar obligasi dan ekuitas, tetapi juga terkait erat dengan pertumbuhan pesat pembiayaan off balance sheet melalui kombinasi aktivitas pendanaan antarbank, pengelolaan produk kekayaan dan aktivitas shadow banking. 

Dengan demikian, bank-bank besar milik negara telah menjadi sumber penting penyediaan likuiditas bagi bank-bank komersial yang lebih ke;cil dan berbagai lembaga keuangan non-bank.

Tiongkok sekarang menghadapi tantangan besar dalam hal stabilitas keuangan yang berasal dari tingkat utang dalam negeri dan ukuran sistem keuangan bayangan yang sangat besar (Tobin et al., 2020). 

Skenario optimal bagi policymaker Tiongkok adalah pelepasan kewajiban pihak lawan yang terkelola yang melibatkan restrukturisasi dan diversifikasi utang perusahaan di samping penciptaan sistem keuangan yang lebih beragam. Sejauh ini, kebijakan difokuskan pada debt for equity swaps dengan BUMN berutang. 

Debt for equity swaps menyiratkan bahwa bank-bank pemerintah tanpa adanya reformasi pasar keuangan yang lebih luas akan menanggung risiko restrukturisasi pada neraca pembayaran. Hal ini kemungkinan akan semakin membatasi kemampuan bank-bank pemerintah untuk mengalokasikan kredit dalam penggunaan produktif di sektor korporasi. 

Restrukturisasi debt for equity swaps juga meningkatkan urgensi reformasi tata kelola perusahaan di pasar ekuitas. Tata kelola yang lemah menghadirkan batasan signifikan pada restrukturisasi karena bank menghadapi hambatan tata kelola yang signifikan dalam memantau pembayaran.

Asian Development Bank (ADB) dalam rezim internasional bergerak pada Official Development Finance (ODF) mencakup berbagai jenis kredit seperti menyediakan bantuan resmi yaitu hibah dan pinjaman lunak yang mendukung pengembangan negara penerima. Termasuk diantaranya kredit ekspor yang bertujuan untuk memperlancar ekspor perusahaan negara pemberi pinjaman. 

Keduanya tetap memiliki pinjaman yang berbeda secara fundamental insentif yakni bantuan bersifat amal, sedangkan kredit ekspor bersifat. Kegagalan untuk mengidentifikasi sifat kredit menyebabkan interpretasi yang menyesatkan dari politik dan alasan ekonomi. Maka, ADB memiliki kewenangan untuk mengatur pengambilan keputusan sebagai penyusun dan menerapkan pilihan kolektif negara penerima.

ADB memiliki norma-norma sebagai organisasi internasional untuk mengatur perilaku anggota rezim guna menghasilkan hasil kolektif yang selaras dengan tujuan dan keyakinan bersama sesuai dengan yang telah ditentukan oleh prinsip-prinsip rezim (Chen, 2020). 

Sejumlah aturan yang lebih spesifik dalam hal ini adalah mengkonversi norma-norma rezim menjadi kerapatan aturan yaitu jumlah dan kekhususan aturan yang mengkonkretkan seuatu yang disebut norma yang sebenarnya sangat bervariasi berdasarkan norma-norma rezim. 

Analisis Chen (2020) menunjukkan dua fakta tentang ODF. Pertama, terdapat beberapa jenis kredit dan no standardized way to categorize. Kedua, mayoritas ODF Tiongkok sedang berkembang sehingga negara tidak mampu membantu maupun memberi subsidi. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Tiongkok menggunakan kredit non-subsidi untuk membiayai proyek-proyek pembangunan yang muncul secara komersial dan menurut norma-norma internasional yang ada harus dibiayai dengan pinjaman atau tidak dibiayai sama sekali.

Literatur ekonomi negara menyediakan perspektif untuk melihat kredit resmi sebagai instrumen ekonomi negara yang berfungsi untuk mencapai kebijakan luar negeri, geopolitik, keamanan, dan tujuan strategis. 

Demikian pula, beberapa akademisi melihat ODF Tiongkok sebagai bagian dari tata negara ekonomi Tiongkok untuk mengejar tujuan negara di luar kepentingan finansial murni. 

Penelitian lain mengenai ODF menunjukkan bahwa Tiongkok hanya mengerahkan aktor ekonomi negara sebagai ilusi palsu. Negara terfragmentasi dan terdesentralisasi serta berbagai aktor seperti badan usaha milik negara, pemerintah daerah dan kelompok bisnis dengan memanfaatkan Belt Road Initiative untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.

Dua dekade terakhir bagaimana terlihat perkembangan dunia melalui tata kelola global melalui cara interaksi global diatur. Dalam perspektif tata kelola global ini pemerintah tidak dianggap sebagai apriori. 

Tata kelola global tidak hanya berfokus pada mekanisme formal pemerintahan, tetapi juga pada tata kelola global tanpa pemerintah dengan pola pengaturan aktivitas global yang tidak berasal dari sumber otoriatif tertentu. 

ADB memiliki kepentingan ketika menerapkan ODF dan tanpa harus mengorbankan kelayakan finansial demi tujuan diplomatik atau kebijakan luar negeri. Literatur perkembangan negara didasarkan pada studi empiris tentang mengejar ketertinggalan ekonomi dengan menawarkan eksplanasi lain dengan menyoroti peran koordinasi negara dalam mempraktikkan kebijakan industri dan memfasilitasi ekspor.

Dengan dukungan negara, kelompok perusahaan cenderung memilih akses modal terjangkau dan bersaing dengan kompetitor asing melalui keunggulan harga yang lebih besar. Sejumlah kredit besar dipinjamkan oleh Tiongkok kepada perusahaan-perusahaan terpilih dari industri-industri vital beserta pinjaman bank dan kebijakan-kebijakan khusus yang membantu dunia bisnis Tiongkok. 

Oleh karena itu, kedaulatan internal Tiongkok mengacu pada otonomi dan kemampuan negara untuk membuat serta menegakkan aturan sendiri dalam negeri. ADB sebagai organisasi modern yang terfokus dan spesifik memerlukan pengakuan oleh negara dan masyarakat internasional.

Perlu dicatat bahwa peningkatan kerjasama negara-negara dunia berpotensi merusak prevalensi ADB sebagai organisasi internasional. 

Pendekatan globalisasi yang juga didorong oleh kekuatan transnasional bergerak dari sumber daya investasi bergerak menjadi degradasi lingkungan global yang melampaui batasan kemampuan negara untuk membuat keputusan dan kebijakan yang independen. 

Efek yang ditimbulkan dari kekuatan transnasional. Pertama, kecenderungan yang meningkat untuk bertindak secara multilateral. Kedua, membentuk kebijakan agar sesuai dengan perintah kekuatan ekonomi internasional. Kedua efek ini menghasilkan kombinasi yang dapat dilihat dari banyak area-area permasalahan.

Mayoritas ODF Tiongkok sebagai bagian dari "Estimating China's ODF Using OECD Definitions" yang menampilkan diri bukan sebagai bantuan Tiongkok. Xu dan Carey (2015) mengkonseptualisasikan kredit Tiongkok menggunakan gagasan kewirausahaan publik yaitu basis pasar yang meningkatkan keuangan terutama dari negara berkembang. 

Lin dan Wang (2017) berpendapat bahwa Tiongkok melampaui bantuan melalui kerjasama pembangunan untuk transformasi struktural dan menyerukan perluasan OECD tentang Official Development Assistance kredit ekspor non-konsesional. Chin and Gallagher (2019) mengindentifikasi bahwa Tiongkok telah mengglobal dalam perkembangan keuangan melalui difusi luar negeri dari model kredit terkoordinasi yang memadukan pinjaman lunak dan non-konsesional, kebijakan pemerintah bank pemerintah Tiongkok dan bank komersial.

Dengan mengglobalnya keuangan Tiongkok terdapat potensi merusak kedaulatan internal maupun eksternal serta dapat melemahkan otonomi negara karena semakin mudah pengambilan dan transfer keputusan dari pemerintah Tiongkok ke bank-bank peminjam mendorong sedikitnya kemampuan negara dalam menciptakan kebijakan.

Melalui perspektif ekonomi kenegaraan yakni memandang kredit Tiongkok sebagai instrumen negara untuk mencapai geopolitik, diplomatik, keamanan, atau tujuan strategis. Kebijakan bank Tiongkok menggunakan pinjaman non-subsidi untuk membiayai proyek-proyek yang tradisional berasal dari pinjaman bersubsidi murah dari negara-negara industri. 

Dalam beberapa tahun terakhir, pembiayaan infrastruktur Tiongkok di luar negeri sering digambarkan sebagai diplomasi "debt trap". Implementasi dari Belt Road Initiative terletak pada banyak aktor negara bagian dan subnasional. 

Ye (2019) pada analisis tentang domestik politik Belt Road Initiative mencirikan fragmentasi negara yaitu proses implementasi Belt Road Initiative dengan kepemimpinan komunis menginisiasi cita-cita yang luas, semu dan memobilisasi berbagai aktor untuk mengimplementasikan strategi baik lembaga negara dengan kekuasaan dan sumber yang melaksanakan kebijakan dan pelaksana kebijakan di tingkat yang lebih rendah untuk mengejar kepentingan Tiongkok.

Cita-cita Belt Road Initiative berkaitan asumsi dasar mengenai saling ketergantungan. Dalam beberapa pandangan seperti perspektif internasionalis dan universalis menganggap ketergantungan sebagai asumsi dasar negara melakukan kerjasama. 

Ketergantungan yang dimaksud adalah situasi dimana negara tidak dapat membuat dan menegakkan kebijakan sendiri, tetapi hanya melakukan kerjasama dengan negara lain. 

Intisari atas ketergantungan ini adalah timbal balik. Perspektif universalis pengganti peran negara adalah pengambilan keputusan oleh global. Lebih lanjut, ADB dalam perspektif internasionalis meyakini kerjasama multilateral dalam pengambilan keputusan akan menggantikan kekuasaan sebagai fokus politik internasional. 

Sering menjadi perdebatan antara kerjasama murni dan kekuatan kerjasama yang sering diasosiasikan dengan isitilah 'keuntungan absolut dan relatif'. Keuntungan absolut adalah keuntungan yang diperoleh negara bagian sedangkan keuntungan relatif adalah keuntungan yang dibuat untuk menandingi kompetitor.

Berbeda dengan para ekonom yang menganggapekonomi dan perdagangan sebagai keuntungan mutlak yang berfokus pada kemampuan individu untuk mengkonsumsi, penganut realis melihat masalah keamanan nasional dengan ukuran kemampuan militer. Oleh karena itu, terjadi perbedaan fokus jumlah yang ada bagi individu dengan kerjasama internasional jika dibandingkan dengan individu yang ada dengan non-kerjasama.

Terlepas dari perdebatan keuntungan mutlak atau relatif, sebagian besar akademisi organisasi internasional setuju jika negara harus peduli akan dua hal tersebut. Dalam negosiasi multilateral, negara lazimnya hanya peduli pada hasil keseluruhan yang mencerminkan kepentingan nasional. 

Tiongkok yang banyak berpartisipasi dalam ekonomi perdagangan akan cenderung memaksimalkan kesepakatan untuk hasil ekonomi global dan Tiongkok harus memperoleh manfaat sebanyak mungkin. Jadi, hubungan interdependensi dan kekuasaan sangatlah penting dalam upaya mencapai kepentingan nasional.

Memang tidak terdapat hubungan interdependensi yang benar-benar saling menguntungkan karena interdependensi bukanlah norma dalam hubungan internasional akibat kompleksitas dunia interdependensi. Interdependensi yang terjadi adalah interdependensi yang asimetris dalam ketergantungan. 

Misalnya Tiongkok dan Singapura yang akan kesulitan menggerakkan perdagangan internasional apabila tidak terjadi asimetris saling ketergantungan yang besar sehingga menyebabkan kekuatan relatif dari negara menjadi kurang bergantung. Jika dilihat bagaimana negara-negara dunia saling bergantung merupakan cerminan dari dunia yang terus mengglobal melalui kerjasama antarnegara. Negara-negara dunia wajarnya menangani isu-isu global secara multilateral.

Jadi, interdependensi masih menempatkan negara sebagai agen utama disamping organisasi internasional yang terus memberi kontribusi terhadap isu kerjasama multilateral.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun