Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Migrasi Tenaga Kerja Beserta Perlindungan Sosialnya

15 Februari 2022   19:00 Diperbarui: 15 Februari 2022   19:02 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Migrasi tenaga kerja merupakan arus individu atau kelompok dari negara asal ke negara lain untuk bekerja. Alasan aspek ekonomi adalah alasan mendasar untuk melakukan migrasi. Misalnya, alasan ekonomi untuk pengembangan karir, penghasilan yang tidak memadai, standar hidup yang tinggi, atau pendapatan yang lebih baik.

Selanjutnya, perkembangan teori migrasi ekonomi neoklasik adalah fondasi guna memahami mengapa seseorang atau kelompok melakukan migrasi. 

Dalam teori neoklasik, alasan utama melakukan migrasi adalah perbedaan upah dan kondisi kerja antarnegara dan biaya untuk melakukan migrasi. Massey dkk. (1993) menyatakan bahwa teori neoklasik mengakui migrasi sebagai untuk mengurangi risiko pendapatan rendah atau penyelesaian masalah keterbatasan modal untuk melakukan produksi. 

Oleh karena itu, teori ini juga menyoroti bahwa migrasi disebabkan oleh kesenjangan pasar tenaga kerja khususnya pada aspek geografis. Tanda dari negara berupah tinggi adalah tenaga kerja terbatas yang relatif terhadap modal. Sebaliknya, berdasarkan kurva hubungan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja, negara dengan banyak tenaga kerja relatif terhadap modal memiliki upah pasar yang rendah. 

Oleh karena itu, kesenjangan upah menginduksi tenaga kerja untuk melakukan migrasi dari negara-negara berupah rendah ke negara-negara berupah tinggi. Pengurangan pasokan tenaga kerja di negara berkembang telah menyebabkan kenaikan upah. Masalah-masalah ekonomi seperti pengangguran, produktivitas rendah, PDB per kapita rendah, kemiskinan dan upah minimum rendah.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) bulan November 2021 sebanyak 6.437 pekerja migran Indonesia yang ditempatkan di pasar domestik maupun internasional. 

Dalam pasar domestik, penempatan pekerja migran didominasi oleh Jawa Timur (38%), Jawa Tengah (24%), Jawa Barat (17%), Bali (6,7%) dan Lampung (6,5%). Pasar internasional terdapat lima negara dengan penempatan pekerja terbanyak adalah Hongkong (69%), Taiwan (13%), Singapura (5%), Italia (3%), dan Polandia (1,9%). 

Data pada periode November 2021 mengalami penurunan dibandingkan dengan bulan Oktober 2021 sebanyak 6.733 pekerja migran. Walaupun sebelumnya pada September 2021 menuju bulan Oktober 2021 telah mengalami peningkatan sebanyak 411 pekerja migran. Sebanyak 6.437 pekerja migran didominasi oleh perempuan sebanyak 87% dan laki-laki sebanyak 13%. Pekerja migran cenderung bekerja pada sektor informal dengan presentase 75% dan sektor formal sebesar 25%.

Pada bulan November 2021, BP2MI menerima 122 pengaduan dari pekerja migran. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh migran antara lain homesick (19%), tidak menerima gaji (13%), meninggal dunia di negara tujuan (10%), perdagangan manusia (7%), alasan lain-lain (7%), penipuan peluang kerja (5,7%), gagal berangkat (4,9%), biaya penempatan melebihi struktur biaya (4%), sakit jiwa atau depresi (4%) dan meninggal dunia (3,2%).

Indonesia memainkan peran penting dalam menciptakan gerakan migrasi tenaga kerja Indonesia menuju Malaysia. Meskipun demikian, melimpahnya sumber daya manusia sejatinya tidak mempengaruhi gerakan migrasi. Variabel pendidikan merupakan variabel utama mengapa sebagian besar TKI Indonesia tidak berpendidikan. 

Dampak negatif dari tingkat pendidikan di Indonesia dan pergerakan migrasi mengindikasikan jika individu berpendidikan memutuskan untuk tidak melakukan migrasi. Dampak positif dari gerakan migrasi ini jelas mengurangi jumlah pengangguran secara signifikan. 

Oleh karena itu, secara ekonomi prospek gaji tinggi di negara lain memiliki pengaruh dalam mendorong gerakan migrasi. Secara hipotesis, temuan menarik ini menjadi pertimbangan migran untuk melakukan rasionalisasi pilihan, seperti probabilitas fisik dan pelecehan mental, pelecehan seksual, dan ketidakadilan hukum.

Collombat (2014) menyebutkan bahwa kendala utama mobilitas tenaga kerja adalah perlindungan sosial. International Labour Organization melalui ILO's Decent Work Agenda mengakomodasi kompensasi yang memadai bagi pekerja atas risiko kehilangan pekerjaan atau berkurangnya pendapatan dan berupaya membantu pekerja memperoleh akses kesehatan yang mencukupi. Perlindungan sosial dibentuk untuk memenuhi UN Sustainable Development Goals (SDGs), seperti pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender dan mengurangi ketidaksetaraan sosial. 

García dan Gruat (2003) menegaskan bahwa perlindungan sosial dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sejahtera dan keamanan warga negara guna melindungi pekerja dari kerentanan/kekurangan untuk memperoleh kehidupan yang layak. Oleh karena itu, terdapat banyak larangan bagi para pekerja dalam mengakses manfaat sosial sehingga pemerintah perlu mengakomodir kebutuhan pekerja migran dan berupaya menghindari potensi ancaman dari pekerja migran terhadap persatuan sosial dan kesejahteraan nasional (van Ginneken, 2013).

Perlindungan sosial merupakan skema asuransi sosial yang hanya disiapkan untuk pekerja formal. Skema ini memberikan akses kesehatan dan jaminan pendapatan seperti kasus pengangguran, sakit, disabilitas, cedera kerja, bersalin atau kehilangan pencari nafkah. 

Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004, lingkup jaminan sosial menyatu pada lima program, yaitu jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja, disabilitas, dan manfaat kematian. Badan atau lembaga yang menanungi jaminan sosial ini antara lain Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.

 Buruknya adalah skema ini tidak berlaku bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri. Pemerintah Malaysia membagi perlindungan sosial menjadi asuransi kesehatan, hari tua, cedera/kecelakaan kerja, disabilitas dan manfaat kematian. 

Bagi pekerja migran, Malaysia menopang jaminan sosial dengan landasan perlindungan sosial. Perlindungan sosial dapat diajukan apabila migran memiliki legalitas dan keabsahan dokumen maupun bukti pendukung. Hukum imigrasi Malaysia mengklasifikasikan tiga kelompok migran yakni: migran dengan keterampilan rendah; pekerja asing yang bekerja pada posisi manajerial dan eksekutif; tidak melanggar undang-undang keimigrasian (IOM, 2010). 

Akibat melonjaknya pekerja migran Indonesia ke Malaysia, pada tahun 2006 Indonesia dan Malaysia meratifikasi MoU mengenai pekerja migran, khususnya pekerja rumah tangga. 

Berdasarkan laporan Mahidol Migration Centre pada tahun 2011, MoU ini menjadi suatu permasalahan sebab tidak memuat jaminan istirahat yang cukup dan melarang migran menikah dan membawa pasangan, melakukan seleksi pekerja dan membedakan pekerja yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit tertentu, melarang pekerja berkumpul dengan keluarga dan melarang pekerja menyimpan paspor.

Pandangan kaum Marxist dalam melihat kasus ini adalah terdapat pola lazim dari peralihan masyarakat yakni kepemilikan faktor produksi (the rulling class) yaitu kaum borjuis dan kelas pekerja atau proletar. 

Pandangan sosialis, keadaan dimana kelompok borjuis menindas kelompok pekerja (migran) tidak akan berlangsung lama sebab kelompok migran akan sadar dan berupaya mengembalikan hak-hak pekerja dan menciptakan gerakan sosial proletar. Setelah masa tersebut, muncul masa peralihan yakni kapitalisme digantikan dengan sosialisme dan dapat menjadi komunisme. 

Prinsip dasar pandangan sosialisme adalah keadilan dan equality dalam masayarakat dengan otoritas negara yang sangat powerful. Selama masyarakat memerlukan fungsi negara, maka selama itu terjadi perencanaan terpusat atau dapat disebut monopoli yang dalam hal ini diartikan etatisme. 

Gagasan utama Marx adalah lebih banyak mengarah pada upaya meruntuhkan kapitalisme kepada migran dan ketidakadilannya atas teralienasinya kelompok migran yang digunakan sebagai alat produksi dari masyarakat. Bagi Marx para kapitalis dapat mengakumulasikan kekayaan dari hak-hak migran dengan upaya migran yang menjual jasa kepada pasar tenaga kerja. 

Akibatnya, terjadi eksploitasi yang menyebabkan migran tidak memiliki pilihan kecuali untuk bekerja kepada para kapitalis dengan upah dan jaminan kerja yang tidak penuh. Berapapun nilai yang diberikan oleh kapitalis pasti diambil oleh para migran bahkan pada beberapa kasus hak-hak migran sama sekali tidak diberikan.

Bagi kapitalis cara untuk merespon kemajuan teknologi adalah dengan menanamkan modal bangunan dan mesin. Saat modal menumpuk, maka tingkat pendapatan menurun sehingga ancaman terhadap kapitalis semakin tinggi. 

Bagi kaum migran, terjadi alienasi dari masyarakat akibat spesialisasi pekerjaan dan kontrol produksi yang ketat dari kapitalis. 

Realitas secara teoritis tidak dapat membuktikan teori nilai lebih baik dalam empirik maupun teoritis matematis. Jika memperhitungkan merginal produktivitas migran syarat utama adalah pemberian upah sesuai keterampilan dan pekerjaannya.

Dalam perkembangannya, teori neomarxist menyatakan bahwa pemerasan terhadap tenaga kerja dan dialektikanya merupakan faktor dinamika dalam perkembangan masyarakat yang berkaitan dengan perjuangan kelas. Perjuangan kelas yang mengandung dimensi internasional menjelaskan perjuangan melawan kapitalisme yang bervolusi menjadi imperialisme. 

Menurut Paul Baran tidak terdapat harapan untuk mengejar kemajuan, tetapi terdapat harapan untuk mengubah keadaan melalui revolusi bersenjata dari negara-negara terbelakang guna membuka jalan menuju masa depan yang cerah. Gunder Frank berpendapat jika terjadi ketergantungan yang tinggi antara negara terbelakang (peri-peri) terhadap negara maju dan menimbulkan ketidakadilan bagi negara terbelakang. 

Dampak ekonomi internasional terhadap pembangunan negara berkembang terdapat tiga pandangan yang dapat menggambarkannya. 

Pertama, Mrydal dalam Asian Drama menjelaskan kebobrokan Asia, dimana salah satunya disebabkan oleh backwash dari hubungan dengan negara maju. 

Kedua, Prebish menekankan hubungan pusat dan pinggir yaitu kesenjangan pendapatan yang semakin jauh, pengangguran yang meningkat, neraca pembayaran yang tidak menguntungkan dan nilai tukar yang terus melemah. Ketiga, Singer mempermasalahkan ekspor dan impor negara berkembang yang sangat inelastis, namun di negara maju adalah kebalikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun