Oleh karena itu, secara ekonomi prospek gaji tinggi di negara lain memiliki pengaruh dalam mendorong gerakan migrasi. Secara hipotesis, temuan menarik ini menjadi pertimbangan migran untuk melakukan rasionalisasi pilihan, seperti probabilitas fisik dan pelecehan mental, pelecehan seksual, dan ketidakadilan hukum.
Collombat (2014) menyebutkan bahwa kendala utama mobilitas tenaga kerja adalah perlindungan sosial. International Labour Organization melalui ILO's Decent Work Agenda mengakomodasi kompensasi yang memadai bagi pekerja atas risiko kehilangan pekerjaan atau berkurangnya pendapatan dan berupaya membantu pekerja memperoleh akses kesehatan yang mencukupi. Perlindungan sosial dibentuk untuk memenuhi UN Sustainable Development Goals (SDGs), seperti pengurangan kemiskinan, kesetaraan gender dan mengurangi ketidaksetaraan sosial.Â
GarcÃa dan Gruat (2003) menegaskan bahwa perlindungan sosial dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang sejahtera dan keamanan warga negara guna melindungi pekerja dari kerentanan/kekurangan untuk memperoleh kehidupan yang layak. Oleh karena itu, terdapat banyak larangan bagi para pekerja dalam mengakses manfaat sosial sehingga pemerintah perlu mengakomodir kebutuhan pekerja migran dan berupaya menghindari potensi ancaman dari pekerja migran terhadap persatuan sosial dan kesejahteraan nasional (van Ginneken, 2013).
Perlindungan sosial merupakan skema asuransi sosial yang hanya disiapkan untuk pekerja formal. Skema ini memberikan akses kesehatan dan jaminan pendapatan seperti kasus pengangguran, sakit, disabilitas, cedera kerja, bersalin atau kehilangan pencari nafkah.Â
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004, lingkup jaminan sosial menyatu pada lima program, yaitu jaminan kesehatan, hari tua, kecelakaan kerja, disabilitas, dan manfaat kematian. Badan atau lembaga yang menanungi jaminan sosial ini antara lain Jamsostek, Taspen, Askes, dan Asabri.
 Buruknya adalah skema ini tidak berlaku bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri. Pemerintah Malaysia membagi perlindungan sosial menjadi asuransi kesehatan, hari tua, cedera/kecelakaan kerja, disabilitas dan manfaat kematian.Â
Bagi pekerja migran, Malaysia menopang jaminan sosial dengan landasan perlindungan sosial. Perlindungan sosial dapat diajukan apabila migran memiliki legalitas dan keabsahan dokumen maupun bukti pendukung. Hukum imigrasi Malaysia mengklasifikasikan tiga kelompok migran yakni: migran dengan keterampilan rendah; pekerja asing yang bekerja pada posisi manajerial dan eksekutif; tidak melanggar undang-undang keimigrasian (IOM, 2010).Â
Akibat melonjaknya pekerja migran Indonesia ke Malaysia, pada tahun 2006 Indonesia dan Malaysia meratifikasi MoU mengenai pekerja migran, khususnya pekerja rumah tangga.Â
Berdasarkan laporan Mahidol Migration Centre pada tahun 2011, MoU ini menjadi suatu permasalahan sebab tidak memuat jaminan istirahat yang cukup dan melarang migran menikah dan membawa pasangan, melakukan seleksi pekerja dan membedakan pekerja yang memiliki penyakit atau riwayat penyakit tertentu, melarang pekerja berkumpul dengan keluarga dan melarang pekerja menyimpan paspor.
Pandangan kaum Marxist dalam melihat kasus ini adalah terdapat pola lazim dari peralihan masyarakat yakni kepemilikan faktor produksi (the rulling class) yaitu kaum borjuis dan kelas pekerja atau proletar.Â
Pandangan sosialis, keadaan dimana kelompok borjuis menindas kelompok pekerja (migran) tidak akan berlangsung lama sebab kelompok migran akan sadar dan berupaya mengembalikan hak-hak pekerja dan menciptakan gerakan sosial proletar. Setelah masa tersebut, muncul masa peralihan yakni kapitalisme digantikan dengan sosialisme dan dapat menjadi komunisme.Â