Mohon tunggu...
Kanzi Pratama A.N
Kanzi Pratama A.N Mohon Tunggu... Lainnya - Salam hangat.

Jadikan membaca dan menulis sebagai budaya kaum intelektual dalam berpikir dan bertindak!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UU Omnibus Law Menurut Realisasi Pancasila

29 November 2020   07:00 Diperbarui: 29 November 2020   07:27 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

5 Oktober 2020, Dewan Perwakilan Rakyat RI menyepakati hasil rumusan RUU Ciptakerja. DPR RI menyetujui rumusan RUU Ciptaker yang tersusun atas 174 pasal dari 15 bab dan memengaruhi 1203 pasal dari 79 UU terkait dengan 7197 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sebelum draft RUU diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, terjadi perubahan yaitu 15 bab, 186 pasar serta merevisi 77 undang-undang. RUU pun akhirnya disahkan secara formal oleh Presiden Joko Widodo pada 3 November 2020. 

Dalam menyikapi kasus ini, masyarakat terbelah menjadi kelompok pro dan kontra. Tentunya masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang kuat dan rasional. Kelompok kontra ini pun didukung oleh akademisi dan cendikiawan yang secara beruntun menyatakan ketidaksepakatannya. 

Sedari awal pemerintah menjelaskan bahwa tujuan perumusan UU “sapu jagat” ini adalah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru khususnya sektor padat karya. Selain itu, target lain pembentukan UU ini adalah untuk memotong alur birokrasi yang memiliki stereotip buruk dalam proses perizinan usaha dan menarik minat investor untuk berinvestasi dalam sektor padat karya dalam negeri. 

Beberapa ahli seperti Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar mengatakan Omnibus Law tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional. 

Pendapat ahli yang lain seperti Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenal Arifin Mochtar menyatakan penolakan terhadap UU Ciptakerja perlu diiringi dengan desakan atau tekanan dari publik secara meluas karena tak sedikit pihak yang dirugikan dari peraturan tersebut. Kaum intelektual juga berpendapat bahwa Omnibus Law perlu dikaji lebih mendalam agar dapat layak dan dapat dilaksanakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Walaupun demikian sampai saat ini, tidak ada dialog antara para ahli, akademisi dan praktisi baik dari pihak pro maupun kontra dalam upaya pelurusan niat dan tujuan UU Ciptaker sebagai upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyat. Baik pihak pro dan kontra tetap memiliki pandangan dan tujuan untuk mensejahterakan rakyat, namun dalam prosesnya sering timbul dan terjadi ketidaksamaan pendapat. 

Tentu ketidaksamaan pendapat merupakan sebua hal yang biasa dala sebuah negara demokrasi. Tetapi yang perlu dipahami adalah perbedaan pandangan dan pendapat tetap mampu menemukan jalan keluar atau problem solving atas segala perbedaan. Jika dikaitkan dalam proses memahami dasar negara, tujuan negara serta berorientasi pada masa depan, Pancasila hendaknya disejajarkan sebagai norma dasar (Grund Norm) dengan penuh tanggungjawab dan konsisten. 

Seorang filsuf politik Hans Kelsen mengenai teori pertingkatan hukum menjelaskan Grund Norm sebagai kaidah teringgi yang fundamental dan merupakan inti dalam tatanan kaidah hukum. Pancasila sebagai Grund Norm berada diatas konstitusi (UUD 1945) atau secara sederhana dimaknai sebagai “payung konstitusi”. 

Adapun posisi UUD 1945 merupakan sumber hukum teringgi dalam tatanan hukum nasional. Dalam sistem hierarki peraturan perundang-undangan terdapat asas yang berbunyi “lex superior derogat legi inferiori”. Asas tersebut diartikan sebagai hukum yang lebih rendah tidak diizinkan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Omnibus Law jika ditilik dari nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah tertinggi yang terinternalisasi UUD 1945 maka konstitusi negara yang konseptual diletakkan sebagai pijakan materi Undang-Undang sampai Peraturan Daerah sesuai hierarki peraturan perundang-undangan.

Slamet Sutrisno (2006) dalam buku Filsafat dan Ideologi Pancasila menulis bahwa ideologi memiliki tiga fungsi. Pertama fungsi distorsi, kedua fungsi legitimasi dan ketiga fungsi integrasi. Fungsi distorsi idiologi dibuat oleh kelas dominan untuk mempertahankan status quo dalam masyarakat. 

Fungsi legitimasi berarti ideologi dihadirkan karena klaim otoritas bagi penguasa dan ditunjang oleh kepercayaan mayoritas masyarakat yang diserahkan pada penguasa guna menutup kesenjangan antara otoritas dan mayoritas atau dalam diksi lain melegitimasi otoritas. 

Fungsi integrasi didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah binatang yang terjebak dalam tenunannya sendiri. Namun konsep hukum dalam konseptual dan pengaturan Pancasila tidak dapat diklasifikasikan maupun dijelaskan. Penerapan Omnibus Law seakan menentang sistem konsep hukum yang dianut yaitu Civil Law karena sejatinya konseptual Omnibus Law lahir, tumbuh dan berkembang di negara Common Law.

Pada masa Presiden Soekarno, diusunglah konsep Tri Sakti mengenai kedaulatan bidang politik, berdikari bidang ekonomi jiwa bangsa merdeka bidang kebudayaan. Di titik ini, Pancasila perlu dikonsepkan sebagai dasar dalam proses kenegaraan dan kepemerintahan. Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo perlu menghadirkan konsep-konsep politik, ekonomi dan kebudayaan yang lengkap dan koheren sebagai upaya mencapai tujuan dasar negara. 

Pemerintahan saat ini juga perlu mengimplikasikan Pancasila sebagai ideologi negara dan Pancasila sebagai pelopor pelembagaan Pancasila. Tradisi Indoktrinasi merupakan fondasi Pancasila. Sejak presiden pertama Soekarno Pancasila telah menjadi doktrin revolusi. Walaupun dalam perkembangannya, Pancasila mengalami penyimpangan menjadi Eka Sila yang erat kaitannya dengan Nasionalis, Agamis dan Komunis (Nasakom). 

Pada masa Presiden Soeharto, doktrinisasi Pancasila telah menghambat kebebasan sipil selama puluhan tahun. Selain itu, kondisi pada masa Orde Baru banyak diwarnai oleh peristiwa pelanggaran HAM. Akibatnya, sampai saat ini kasus-kasus di Masa Orde Baru tetaplah menjadi misteri. Pergantian masa Orde Baru ke Masa Reformasi mampu mengubah sektor-sektor strategis yang mangkak sebelumnya. Pergantian pucuk pimpinan Masa Reformasi tidak merubah indoktrinasi dan slogan represifnya. 

Dengan begitu, Pancasila belum seutuhnya menjadi sumber tatanan hukum nasional karena masih banyaknya UU yang bertentangan dengan UUD. Perekonomian nasional berbasis penanaman modal asing merupakan tindakan yang tidak Pancasilais dan inkonstitusional. Jauh sebelum Omnibus Law dicanangkan, investasi asing telah mencengkram bangsa ini. Pada masa Presiden Soeharto, banyak tanah rakyat yang diambil paksa, migas dan gunung emas yang diserahkan pada asing untuk dikelola. Ditambah maraknya pelanggaran HAM merupakan hal yang wajar pada masa itu.

Salim HS dan Budi Sutrisno dalam Hukum Investasi di Indonesia menyebutkan bahwa investasi adalah aktivitas penanaman modal yang dilakukan oleh investor, baik itu investor dalam negeri maupun investor dari luar negeri yang saling berkaitan dalam berbagai bidang jenis usaha. Sebagai negara dengan perekonomian yang terbuka, sudah sangat wajar Indonesia membuka ruang investasi bagi investor domestik maupun investor luar negeri. 

Namun, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan lebih lanjut, diantaranya adalah perihal waktu/momentum dan trade off dari penyusunan kebijakan yang dapat bertindak sebagai stimulan investasi investasi. Sehingga Omnibus Law merupakan sebuah payung hukum dari bundling kebijakan pemerintah yang digadang-gadang dapat meningkatkan kinerja investasi Indonesia yang bermuara pada perluasan lapangan pekerjaan

Presiden Joko Widodo dalam Pidato Presiden 14 Juli 2020 secara ambisius menyatakan terkait pembukaan pintu investasi yang seluas-luasnya, pemerintahannya sekarang akan melaksanakan dan melakukan pengawasan. Namun pembukaan investasi tersebut sudah menabrak konstitusi dan menjauhkan negara dari tujuan awal serta mengembalikan pasal kolonial dan inkonstitusional  bahkan mengizinkan pers area yang dapat dimasuki investasi asing.  

Presiden tak luput menyoroti realisasi pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 selalu berada diatas pertumbuhan ekonomi Indonesia. 5 tahun terakhir, realisasi investasi Indonesia selalu mengalami peningkatan, walaupun dengan taraf pertumbuhan yang fluktuatif. Rancangan UU Ciptakerja yang diajukan oleh pemerintah secara subtantif bertujuan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. 

Beberapa ahli berpendapat bahwa Investasi di Indonesia seringkali terhambat oleh birokrasi yang berbelit-belit dan juga beberapa peraturan serta kebijakan yang tidak harmonis antar pemerintah pusat dan daerah. Hal inilah yang dianggap menjadi sebab bobroknya peringkat kemudahan bisnis yang dikeluarkan oleh World Bank pada laporanya yang bertajuk Easy of doing business 2020. Peringkat Indonesia jauh dibawah negara negara Asia Tenggara lainya, seperti Singapura di peringkat 2, Malaysia di peringkat 12,Thailand di peringkat 21, Brunei Darussalam di 67 dan Vietnam di 70.

Faktor lain yang memperparah buruknya iklim investasi di Indonesia adalah tingginya angka korupsi yang menjadi faktor penghambat utama kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Korupsi dalam wujud apapun merupakan polusi bagi iklim investasi bagi Indonesia, terutama berkaitan dengan “biaya tambahan” yang harus dikeluarkan oleh investor. 

Biaya tambahan yang dimaksud disini biasanya dalam bentuk suap kepada pihak-pihak pemangku jabatan, dalam rangka mempercepat alur birokrasi. Sudah sepantasnya pemberantasan korupsi menjadi salah satu fokus utama pemerintah jika memang ingin membentuk suatu iklim investasi yang lancar dan pada akhirnya akan berujung pada daya saing investasi yang akan semakin baik. 

Namun, jika ditilik beberapa waktu kebelakang, terlihat jika pemberantasan korupsi bukanlah hal yang dianggap penting oleh pemerintah. Pelemahan KPK melalui revisi Undang-undang KPK dan beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang oleh para ahli justru dianggap sebagai kemunduran dalam pemberantasan korupsi. 

Peningkatan pemberantasan korupsi bukan upaya yang dipilih oleh pemerintah untuk dapat meningkatkan investasi di Indonesia. Inefisiensi birokrasi menjadi faktor kedua penghambat kegiatan bisnis dan investasi di Indonesia. Alur yang berbelit, tumpah tindih aturan dan sederat aturan lainya dianggap sebagai penghambat Investasi di Indonesia.

Jadi, UU Ciptakerja yang sudah ditekan Presiden Joko Widodo pada 3 November 2020 perlu diiringi dengan efisiensi birokrasi, harmonisasi kebijakan pusat dengan daerah,penguatan peran KPK dan peninjauan dan penyusunan ulang aturan yang tidak sederajat atau tumpang tindih agar tujuan utama yaitu pembentukan iklim investasi yang lancar dapat tercipta dan terlaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun