Setiap bulannya sebagai buruh tani ia hanya mampu mengantongi tidak lebih dari dua juta rupiah, tak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.Â
Itupun tidak menentu, pasalnya pekerjaan sebagai buruh tani tidak selalu ada. Acap kali Maman dapat menganggur berminggu-minggu karena tawaran menggarap ladang tidak kunjung datang. Â
Melihat kisah Maman, tampaknya tak ada yang lebih tabah dari seorang petani. Lahir di negeri yang subur, makmur, dan kaya akan kekayaan alamnya, negeri yang saat kecil dulu sering diceritakan bahwa apa pun bisa tumbuh subur di atasnya.Â
Negeri dengan lahan sawah yang membentang seluas puluhan juta hektare. Alih-alih sejahtera, nasib sial malah menimpa puluhan juta petani seperti Maman yang  selalu dihantui kegelisahan: apakah hasil panen mereka akan cukup memberi makan keluarga selama enam bulan ke depan?
Dominasi Sistem Kapitalisme
Kisah miris Maman serta puluhan juta petani lainnya merupakan buah dari semakin tercemarnya perekonomian kita oleh sistem kapitalismeebuah sistem yang mengedepankan kepercayaan bahwa self-interest atau kepentingan pribadi akan membawa kesejahteraan bagi perekonomian secara keseluruhan (IMF, 2018).Â
Sistem kapitalisme yang mengutamakan perilaku kompetitif ini menjadi paham mainstream dalam arah pembangunan banyak negara. Pasalnya, sudah banyak bukti konkret mengenai negara-negara yang mengalami pertumbuhan pesat setelah mengadopsi sistem pasar bebas ini.Â
Salah satunya Cina, yang setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis pada tahun 1990, mampu menumbuhkan PDB secara pesat dari $360 miliar menjadi $9.5 triliun pada tahun 2013 (World Bank).
Cukup menggiurkan, bukan? Melesat menjadi salah satu negara adidaya hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 25 tahun. Namun sayang, kenyataannya tak seindah itu.Â
Setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis, muncul permasalahan baru bagi Cina di saat yang bersamaan, yakni melebarnya kesenjangan pendapatan di tengah masyarakat.Â
Hal ini terlihat dari meningkatnya koefisien Gini serta tingkat kesenjangan antar daerah daerah sebesar 18% dan 36% pada periode yang sama, menandakan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata di Cina setelah menganut sistem ekonomi kapitalis (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016).Â