Dalam merealisasikan mimpi ini, Bung Hatta mencanangkan bangun usaha koperasi sebagai motor penggerak perekonomian rakyat. Di mana, koperasi merupakan bangun usaha berwatak sosial, yang merupakan sebuah wadah usaha ekonomi yang dimiliki bersama (Edi Swasono, 2019), sehingga seluruh anggotanya menjadi residual claimant dari keuntungan yang diperoleh koperasi tersebut (Torgerson, 1977). Di mana sebagai bangun usaha yang memegang prinsip keterbukaan, sukarela, dan pengelolaan yang demokratis, koperasi memungkinkan rakyat kecil untuk bergabung menjadi pemilik sebuah bangun usaha secara bersama-sama, menyatukan kekuatan ekonomi kecil menjadi suatu kekuatan besar (Edi Swasono, 2019).
Keberadaan koperasi akan memungkinkan Maman serta puluhan juta petani kecil lainnya untuk bergabung dan berhimpun dalam satu bangun usaha, memperbolehkan mereka untuk menyatukan kemampuan serta faktor produksi sehingga menciptakan kesempatan bagi para buruh tani untuk tidak hanya menggarap gabah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi dan membuka akses ke pasar sekunder bahkan tersier (Elijah, 2022).Â
Hal ini akan menghilangkan faktor endowment yang diperlukan oleh individu untuk meningkatkan kesejahteraannya karena koperasi memungkinkan rakyat kecil memiliki bangun usaha tanpa perlu adanya endowment. Mereka tidak perlu lagi mengemis dan memohon ke bank agar diberikan pinjaman modal demi merealisasikan mimpi rakyat kecil untuk berdaulat--berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Pada akhirnya, keberadaan koperasi akan memperbolehkan petani untuk tak lagi bergantung pada tengkulak-tengkulak yang terus menekan harga jual gabah mereka. Tak lagi bergantung pada juragan-juragan beras yang menawar murah jasa mereka, tak lagi tunduk pada kekuatan besar yang terus mengeksploitasi mereka.Â
Koperasi memperbolehkan rakyat kecil untuk "terbawa serta" dalam kemajuan ekonomi serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, di mana kue perekonomian tak lagi dikuasai oleh segelintir orang, namun dapat dinikmati dan dikelola bersama.Â
"Hattanomics": Sebuah Impian belaka
Namun sayang, dalam praktiknya, buah pikiran Bung Hatta nampaknya hanya menjadi angan-angan semata. Pasalnya, melihat kondisi perekonomian Indonesia saat ini, tampaknya masih jauh dari penerapan asas-asas demokrasi ekonomi.Â
Prinsip pembangunan yang terjadi sekarang hanya berfokus pada penciptaan pertumbuhan tanpa penciptaan nilai tambah bagi seluruh segmen masyarakat. Contoh mudahnya dapat dilihat pada periode 2008--2012, ketika terjadi peningkatan harga komoditas dunia yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat secara tiba-tiba.Â
Di waktu yang bersamaan, indeks Gini Indonesia juga mengalami peningkatan secara signifikan (Verico, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dialami Indonesia tidak bersifat inklusif, mengindikasikan adanya otokrasi ekonomi dalam sistem perekonomian, di mana sebagian besar 'kue' hanya dinikmati oleh segelintir orang.
Fenomena ini serta kisah kemalangan Maman di atas sebenarnya sudah cukup menggambarkan bagaimana hubungan ekonomi subordinatif 'Tuan-Hamba' ataupun 'Majikan-Buruh' masih mendarah daging dalam perekonomian Indonesia (Edi Swasono, 2019). Buah dari penerapan sistem ekonomi yang mengedepankan self-interest atau ketamakan, yang memperbolehkan terjadinya eksploitasi terhadap masyarakat miskin oleh kekuatan ekonomi besar.