Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hattanomics: Demokrasi Ekonomi sebagai Antitesis Kapitalisme

1 November 2024   20:19 Diperbarui: 1 November 2024   20:30 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Figur 1: Gini Index & Interregional Inequality in China 1982-2012 (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016)

Melalui sistem kapitalisme, mekanisme pasar bebas nantinya memungkinkan kedua aktor ini bertemu sebagai pihak yang sama-sama membutuhkan. Namun, meskipun berada di posisi yang sama, hasil yang diperoleh Maman dengan sang juragan beras melalui interaksi ekonomi mereka nantinya akan sangat berbeda. Sebagai buruh tani berpendidikan rendah, Maman sangat mudah dieksploitasi oleh juragan beras agar memberikan jasanya dengan harga termurah. Hal ini terjadi karena sebagai buruh tani, Maman memiliki bargaining power yang jauh lebih rendah dibandingkan sang juragan beras. Jumlah buruh tani sangatlah banyak, sedangkan pemilik lahan sangat sedikit. Jika Maman tidak setuju dengan tawaran pekerjaan, sang juragan dapat dengan mudah beralih kepada buruh tani lain yang rela dibayar lebih murah daripada Maman. Sementara itu, Maman harus menunggu lagi adanya tawaran pekerjaan, yang setiap minggunya pun belum tentu ada.

Begitulah gambaran interaksi dalam perekonomian dengan sistem yang mengedepankan ketamakan. Setiap aktor ekonomi hanya dianggap sebatas seonggok faktor produksi, tidak lebih. Alih-alih menciptakan efisiensi ekonomi, sistem pasar bebas justru menghasilkan kegagalan pasar karena memperbolehkan si lemah dimangsa oleh si kuat (Edi Swasono, 2019). Sistem ini menciptakan kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin, yang melahirkan 'otokrasi ekonomi', di mana kekayaan hanya berputar dan bertambah di sekitar pemilik modal, menghasilkan konsentrasi kekayaan pada segelintir orang."

Demokrasi Ekonomi Sebagai Antitesis Kapitalisme

Kisah kemalangan Maman dalam menghadapi kekuatan tengkulak serta juragan beras ini sebenarnya sudah jauh diantisipasi oleh para bapak bangsa, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Terutama oleh Bung Hatta, seorang ekonom serta tokoh bangsa yang pemikirannya dikenal sebagai Hattanomics. Sebagai sosok yang dikenal atas religiusitasnya, melalui buah pemikiran Hatta lahirlah pasal 33 UUD 1945 yang menjadikan prinsip "sosialisme religius"  sebagai basis dari perekonomian Indonesia. Sebuah prinsip yang mengedepankan rasa persaudaraan dan tolong menolong antarsesama manusia dalam pergaulan hidup (Edi Swasono, 2019).

Pasal yang disusun dengan penuh kehati-hatian oleh Hatta ini dibentuk sedemikian rupa supaya ketika merdeka, Indonesia tidak lagi terbelenggu oleh paham-paham ekonomi Barat yang erat dengan hubungan subordinatif antara si kaya dan si miskin. Di mana Hatta, melalui tiga ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, menjadikan konsep demokrasi ekonomi sebagai kiblat utama pembangunan ekonomi Indonesia, sebuah konsep yang lahir sebagai respons terhadap bengisnya imperialisme dan kapitalisme Barat (Edi Swasono, 2019)."

Kemudian apa itu demokrasi ekonomi? Secara tujuan, demokrasi ekonomi kurang lebih sama dengan demokrasi politik. Keduanya lahir untuk mencegah terjadinya otokrasi ekonomi maupun otokrasi politik. Namun secara esensi, keduanya tidak sama. Negara yang mengimplementasikan demokrasi politik tanpa adanya demokrasi ekonomi hanya menganggap si kaya dan si miskin, laki-laki dan perempuan, setara dalam konteks politik. Keduanya sama-sama memiliki hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota perwakilan rakyat, tetapi tidak lebih dari itu. Dalam konteks perekonomian, prinsip kesetaraan tidak berlaku; si kaya dan si miskin tetap dipandang berbeda (Hatta, 1960).

Sedangkan esensi utama dari demokrasi ekonomi adalah mendahulukan kebersamaan dan asas kekeluargaan dalam interaksi ekonomi. Dalam berekonomi, prinsip "keterbawaan" (emansipasi) harus diutamakan, yaitu memajukan yang kaya namun sembari memberdayakan yang rentan. Artinya, tidak boleh ada eksklusivisme dalam pembangunan. Jika ada pembangunan mal atau supermarket, maka pedagang kaki lima (PKL), usaha informal, pasar rakyat, dan pasar tradisional harus ikut "terbawa serta" dalam kemajuan tersebut (Edi Swasono, 2019). Hal ini menghasilkan pembangunan yang people-based dan people-centered, di mana masyarakat menjadi determinan utama dalam pengambilan keputusan, melengserkan doktrin "daulat pasar" yang dicanangkan oleh sistem kapitalisme menjadi "daulat rakyat" (Edi Swasono, 2019).

Dalam merealisasikan mimpi ini, Bung Hatta mencanangkan bangun usaha koperasi sebagai motor penggerak perekonomian rakyat. Di mana, koperasi merupakan bangun usaha berwatak sosial, yang merupakan sebuah wadah usaha ekonomi yang dimiliki bersama (Edi Swasono, 2019), sehingga seluruh anggotanya menjadi residual claimant dari keuntungan yang diperoleh koperasi tersebut (Torgerson, 1977). Di mana sebagai bangun usaha yang memegang prinsip keterbukaan, sukarela, dan pengelolaan yang demokratis, koperasi memungkinkan rakyat kecil untuk bergabung menjadi pemilik sebuah bangun usaha secara bersama-sama, menyatukan kekuatan ekonomi kecil menjadi suatu kekuatan besar (Edi Swasono, 2019).

Keberadaan koperasi akan memungkinkan Maman serta puluhan juta petani kecil lainnya untuk bergabung dan berhimpun dalam satu bangun usaha, memperbolehkan mereka untuk menyatukan kemampuan serta faktor produksi sehingga menciptakan kesempatan bagi para buruh tani untuk tidak hanya menggarap gabah, tetapi juga mengolahnya menjadi produk bernilai tambah tinggi dan membuka akses ke pasar sekunder bahkan tersier (Elijah, 2022). Hal ini akan menghilangkan faktor endowment yang diperlukan oleh individu untuk meningkatkan kesejahteraannya karena koperasi memungkinkan rakyat kecil memiliki bangun usaha tanpa perlu adanya endowment. Mereka tidak perlu lagi mengemis dan memohon ke bank agar diberikan pinjaman modal demi merealisasikan mimpi rakyat kecil untuk berdaulat--berdiri di atas kaki mereka sendiri.

Pada akhirnya, keberadaan koperasi akan memperbolehkan petani untuk tak lagi bergantung pada tengkulak-tengkulak yang terus menekan harga jual gabah mereka. Tak lagi bergantung pada juragan-juragan beras yang menawar murah jasa mereka, tak lagi tunduk pada kekuatan besar yang terus mengeksploitasi mereka. Koperasi memperbolehkan rakyat kecil untuk "terbawa serta" dalam kemajuan ekonomi serta menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, di mana kue perekonomian tak lagi dikuasai oleh segelintir orang, namun dapat dinikmati dan dikelola bersama. 

"Hattanomics": Sebuah Impian belaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun