Panggil saja Maman, seorang petani gurem yang setiap pagi rutin bergelut dengan padi serta teriknya matahari demi menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil.Â
Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga yang serba sederhana, Maman tak mendapatkan peninggalan apa pun dari kedua orangtuanya; bahkan, ladang sawah seluas seperempat hektare pun Maman tak punya.Â
Maman menggantungkan nasib hidupnya pada sawah sewaan seluas 4.500 meter persegi yang dihargai 15 juta rupiah per tahun.Â
Jika beruntung, dalam setahun ia bisa menghasilkan hingga 3 ton gabah setiap kali musim panen. Hasil yang cukup lumayan bagi seorang petani gurem.
Namun sayang sebagai petani, selain dilanda kecemasan mengenai kehadiran hama yang dapat merusak hasil panen nya, sehari-hari Maman juga gundah dengan keberadaan tengkulak yang dapat merusak harga jual gabah milik nya.Â
Pasalnya, pada saat panen raya tiba, petani-petani kecil seperti Maman tidak berdaya menghadapi tengkulak yang terus menekan harga mereka.Â
Walaupun awalnya menolak, namun karena tidak memiliki tempat penyimpanan dan akses ke pasar, Maman terpaksa melepas hasil gabahnya kepada tengkulak dengan harga sangat murah.
Alhasil, jerih payah serta kesabaran Maman selama setengah tahun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga selama dua bulan. Selebihnya?Â
Sebagai lulusan sekolah dasar, Maman terpaksa bekerja sebagai buruh tani sambil menunggu musim panen berikutnya. Sejahterakah? Tentu saja tidak.Â