Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hattanomics: Demokrasi Ekonomi sebagai Antitesis Kapitalisme

1 November 2024   20:19 Diperbarui: 1 November 2024   20:30 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Figur 3: Growth, Inflation & Gini Ratio Indonesia 2004-2023 (Verico, 2024)

Panggil saja Maman, seorang petani gurem yang setiap pagi rutin bergelut dengan padi serta teriknya matahari demi menghidupi istri dan dua anaknya yang masih kecil. Sebagai seseorang yang lahir dari keluarga yang serba sederhana, Maman tak mendapatkan peninggalan apa pun dari kedua orangtuanya; bahkan, ladang sawah seluas seperempat hektare pun Maman tak punya. Maman menggantungkan nasib hidupnya pada sawah sewaan seluas 4.500 meter persegi yang dihargai 15 juta rupiah per tahun. Jika beruntung, dalam setahun ia bisa menghasilkan hingga 3 ton gabah setiap kali musim panen. Hasil yang cukup lumayan bagi seorang petani gurem.

Namun sayang sebagai petani, selain dilanda kecemasan mengenai kehadiran hama yang dapat merusak hasil panen nya, sehari-hari Maman juga gundah dengan keberadaan tengkulak yang dapat merusak harga jual gabah milik nya. Pasalnya, pada saat panen raya tiba, petani-petani kecil seperti Maman tidak berdaya menghadapi tengkulak yang terus menekan harga mereka. Walaupun awalnya menolak, namun karena tidak memiliki tempat penyimpanan dan akses ke pasar, Maman terpaksa melepas hasil gabahnya kepada tengkulak dengan harga sangat murah.

Alhasil, jerih payah serta kesabaran Maman selama setengah tahun hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga selama dua bulan. Selebihnya? Sebagai lulusan sekolah dasar, Maman terpaksa bekerja sebagai buruh tani sambil menunggu musim panen berikutnya. Sejahterakah? Tentu saja tidak. Setiap bulannya sebagai buruh tani ia hanya mampu mengantongi tidak lebih dari dua juta rupiah, tak lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Itupun tidak menentu, pasalnya pekerjaan sebagai buruh tani tidak selalu ada. Acap kali Maman dapat menganggur berminggu-minggu karena tawaran menggarap ladang tidak kunjung datang.  

Melihat kisah Maman, tampaknya tak ada yang lebih tabah dari seorang petani. Lahir di negeri yang subur, makmur, dan kaya akan kekayaan alamnya, negeri yang saat kecil dulu sering diceritakan bahwa apa pun bisa tumbuh subur di atasnya. Negeri dengan lahan sawah yang membentang seluas puluhan juta hektare. Alih-alih sejahtera, nasib sial malah menimpa puluhan juta petani seperti Maman yang  selalu dihantui kegelisahan: apakah hasil panen mereka akan cukup memberi makan keluarga selama enam bulan ke depan?

Dominasi Sistem Kapitalisme

Kisah miris Maman serta puluhan juta petani lainnya merupakan buah dari semakin tercemarnya perekonomian kita oleh sistem kapitalismeebuah sistem yang mengedepankan kepercayaan bahwa self-interest atau kepentingan pribadi akan membawa kesejahteraan bagi perekonomian secara keseluruhan (IMF, 2018). Sistem kapitalisme yang mengutamakan perilaku kompetitif ini menjadi paham mainstream dalam arah pembangunan banyak negara. Pasalnya, sudah banyak bukti konkret mengenai negara-negara yang mengalami pertumbuhan pesat setelah mengadopsi sistem pasar bebas ini. Salah satunya  Cina, yang setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis pada tahun 1990, mampu menumbuhkan PDB secara pesat dari $360 miliar menjadi $9.5 triliun pada tahun 2013 (World Bank).

Figur 1: Gini Index & Interregional Inequality in China 1982-2012 (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016)
Figur 1: Gini Index & Interregional Inequality in China 1982-2012 (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016)
Cukup menggiurkan, bukan? Melesat menjadi salah satu negara adidaya hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 25 tahun. Namun sayang, kenyataannya tak seindah itu. Setelah bertransformasi menjadi sistem kapitalis, muncul permasalahan baru bagi Cina di saat yang bersamaan, yakni melebarnya kesenjangan pendapatan di tengah masyarakat. Hal ini terlihat dari meningkatnya koefisien Gini serta tingkat kesenjangan antar daerah daerah sebesar 18% dan 36% pada periode yang sama, menandakan distribusi pendapatan yang semakin tidak merata di Cina setelah menganut sistem ekonomi kapitalis (Haifeng Liao & Dennis Wei, 2016). 

Figur 2: Cause of Economic Inequality  (Core: The Economics, 2017)
Figur 2: Cause of Economic Inequality  (Core: The Economics, 2017)

Hal ini muncul karena Cina mengalami penyakit klasik negara maju yang disebut sebagai "Paradoxes of Prosperity",di mana pertumbuhan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme cenderung diikuti dengan meningkatnya kesenjangan sosial karena hanya dapat dinikmati oleh sebagian segmen masyarakat, sedangkan sebagian lainnya tetap miskin akibat distribusi kekayaan yang tidak merata (Brink, 2013). Hal ini terjadi karena kapitalisme sebagai sebuah sistem yang bertumpu pada "daulat pasar", menjadikan peran modal sebagai "sentra substansial" dan cenderung mengesampingkan peran manusia menjadi "marginal residual" (Edi Swasono, 2019). Alhasil, sistem ekonomi kapitalis menjadikan modal sebagai determinan utama kesuksesan.

Di dalam sistem kapitalisme, sekadar memiliki keterampilan, kemampuan, ataupun keahlian saja tidak cukup untuk mengubah status sosial seseorang. Dibutuhkan modal atau endowment, yang didefinisikan sebagai sesuatu yang dimiliki individu yang dapat memengaruhi pendapatannya (Core: The Economics, 2017). Tanpa adanya endowment, akan sulit bagi seseorang untuk menaiki tangga sosial dalam sistem ekonomi kapitalis. Contohnya Maman, sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan, Maman tumbuh tanpa adanya warisan dari kedua orangtuanya. Dalam kehidupan, yang ia miliki hanyalah secarik kertas bukti bahwa ia pernah menempuh pendidikan sekolah dasar serta kemampuan yang ia miliki dalam bertani. Sedangkan di sisi lain, ada seorang juragan beras yang membutuhkan buruh tani untuk mengolah sepetak lahan warisan orangtuanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun