Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Die-Hard Working: Kultur Workaholic Asia Timur di Balik East Asian Economic Miracle

27 Agustus 2022   18:34 Diperbarui: 29 Agustus 2022   20:01 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja keras dan Loyalitas inilah yang termasuk dianggap signifikan berkontribusi dalam Korean economic boom sejak 1960 dengan pertumbuhan PDB mencapai 14x lipat dari 1970 ke 2011 dan pertumbuhan produktivitas pekerja 6x lipat pada periode yang sama (Jeong, 2020). 

Kultur workaholic dan loyalitas kepada perusahaan tersebut juga terlihat pada perusahaan-perusahaan di Jepang. Sama seperti Korea Selatan, Jepang juga termasuk apa yang disebut sebagai input-oriented society, yakni penilaian kerja yang terutama berdasarkan pada lama waktu bekerja (Ono, 2018). 

Mereka juga menganut paham bernama "ganbaru" (working hard) yang mengusung usaha keras sebagai sesuatu yang simbolik. Tindakan mengorbankan waktu istirahat untuk mendedikasikan diri mereka pada pekerjaan dianggap sebagai "self-sacrifice" dan menandakan loyalitas serta motivasi untuk bekerja, hal yang sama persis dengan di Korea Selatan. 

Hubungan hirarkis yang kaku juga berlaku di Jepang. Jepang mempunyai kebiasaan "tsukiai zangyo" (collective overtime), yakni pekerja merasa tidak enak apabila pulang terlebih dahulu dari rekan kerja dan terutama bos mereka. 

Adanya disiplin keras dan collective overtime di seluruh lini employment ini menjadi salah satu faktor economic boom perekonomian Jepang yang tumbuh rerata 10% lebih di akhir 1960-an hingga awal 1970-an. 

Faktor kultural yang berujung pada achievement motivation dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi terlihat melalui gambar berikut.

 

Figur 1. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Nilai Achievement Motivation dari Publik (Sumber: Granato et al., 1996).
Figur 1. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Nilai Achievement Motivation dari Publik (Sumber: Granato et al., 1996).

Tampak bahwa negara-negara Asia Timur memiliki Indeks Achievement Motivation (didapatkan dengan survey persentase publik yang menekankan "Thrift" dan "Determination" sebagai sesuatu yang krusial pada anak untuk dipelajari, dikurangi "Obedience" dan "Religious Faith") dan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. 

Hal inilah yang memperlihatkan bahwa masyarakat Asia Timur memang memiliki tingkat determinasi untuk pencapaian yang kuat, menghasilkan hubungan causal flow antara ekonomi dan kultur (society's belief). Namun mungkin kalian akan bertanya-tanya, di mana Tiongkok selama ini?

Saat ini, Tsai et al. (2016) menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada di tahap "lepas landas" pada perekonomian mereka. Bertahun-tahun di bawah rezim komunis menghalangi faktor lain pendorong perekonomian negara-negara tersebut, yakni investasi dari negara asing. 

Apabila di Jepang pekerja profesional yang mengalami waktu kerja terlama, maka di Tiongkok sebaliknya, yakni lower-status worker yang kebanyakan mengalami overwork, menunjukkan transisi ekonomi yang masih terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun