Tahun 1970, Asia Timur. The sleeping tigers had been awakened. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jepang sedang mengalami East Asian Economic Miracle, yakni bagaimana segelintir negara yang hanya beberapa tahun sebelumnya porak-poranda pasca Perang Dunia II dengan cepat menjadi salah satu pusat industri dan ekonomi dunia pada akhir abad ke-20.Â
Faktor-faktor institusi dan kebijakan ekonomi berperan utama, namun faktor budaya dianggap secara signikan melengkapi transformasi struktural yang terjadi. Asia Timur sering dipandang sebagai kawasan dengan etos kerja terkuat di dunia.
Sebelum berbicara mengenai etos kerja di budaya Asia Timur, mari kita coba berpikir mengapa seseorang mempunyai etos kerja yang kuat. Yap, karena adanya dorongan dari motivasi untuk mendapatkan penghargaan tertentu (achievement motivation) yang dilakukan dengan secara maksimal berkontribusi pada pekerjaan mereka (Beit-Hallahmi, 1980).Â
Beberapa masyarakat di duna menekankan economic achievement sebagai sebuah impian positif yang perlu digapai oleh seseorang. Masyarakat Asia Timur termasuk di dalamnya melalui budaya Konfusianisme mereka.Â
Pemahaman Konfusianisme yang banyak meresap di masyarakat Asia Timur dianggap sebagai basis mengenai cepatnya pertumbuhan di Asia Timur dengan nilai-nilai Konfusianisme yang menekankan stabilitas, kerja keras, disiplin, loyalitas, dan penghormatan kepada tokoh yang lebih tua (Lin, 2011).Â
Nilai-nilai tersebut banyak tercermin dalam employment system mereka. Di Korea Selatan yang mengalami economic boom pada 1960-an, etos kerja keras ditekankan oleh chaebol, perusahaan yang ditunjuk oleh pemerintah Korea Selatan dahulu untuk menopang pertumbuhan industri.Â
Bantuan dari pemerintah seperti pinjaman dan subsidi menegaskan monopoli industri Korea Selatan oleh chaebol dengan masyarakat umum hampir seluruhnya bekerja untuk perusahaan-perusahaan ini.Â
Sistem employment yang dilakukan oleh chaebol sangat membentuk pasar tenaga kerja Korea Selatan yang menekankan loyalitas total kepada perusahaan.Â
Loyalitas mereka didasarkan dari indoktrinasi chaebol bahwa pekerjaan mereka bukanlah profesionalisme belaka, melainkan sebuah komitmen yang berkontribusi pada suksesnya perusahaan. Perusahaan harus menjadi prioritas utama sebelum keluarga dan bahkan diri sendiri. Pekerjaanmu adalah hidupmu.Â
Loyalitas, kerja keras, dan overwork memiliki definisi yang kabur bagi pekerja Korea Selatan. Loyalitas akan dinilai dari seberapa lama seseorang bekerja dan sangat umum bagi orang untuk bekerja hingga malam hari.Â
Kerja keras dan Loyalitas inilah yang termasuk dianggap signifikan berkontribusi dalam Korean economic boom sejak 1960 dengan pertumbuhan PDB mencapai 14x lipat dari 1970 ke 2011 dan pertumbuhan produktivitas pekerja 6x lipat pada periode yang sama (Jeong, 2020).Â
Kultur workaholic dan loyalitas kepada perusahaan tersebut juga terlihat pada perusahaan-perusahaan di Jepang. Sama seperti Korea Selatan, Jepang juga termasuk apa yang disebut sebagai input-oriented society, yakni penilaian kerja yang terutama berdasarkan pada lama waktu bekerja (Ono, 2018).Â
Mereka juga menganut paham bernama "ganbaru" (working hard) yang mengusung usaha keras sebagai sesuatu yang simbolik. Tindakan mengorbankan waktu istirahat untuk mendedikasikan diri mereka pada pekerjaan dianggap sebagai "self-sacrifice" dan menandakan loyalitas serta motivasi untuk bekerja, hal yang sama persis dengan di Korea Selatan.Â
Hubungan hirarkis yang kaku juga berlaku di Jepang. Jepang mempunyai kebiasaan "tsukiai zangyo" (collective overtime), yakni pekerja merasa tidak enak apabila pulang terlebih dahulu dari rekan kerja dan terutama bos mereka.Â
Adanya disiplin keras dan collective overtime di seluruh lini employment ini menjadi salah satu faktor economic boom perekonomian Jepang yang tumbuh rerata 10% lebih di akhir 1960-an hingga awal 1970-an.Â
Faktor kultural yang berujung pada achievement motivation dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi terlihat melalui gambar berikut.
Â
Tampak bahwa negara-negara Asia Timur memiliki Indeks Achievement Motivation (didapatkan dengan survey persentase publik yang menekankan "Thrift" dan "Determination" sebagai sesuatu yang krusial pada anak untuk dipelajari, dikurangi "Obedience" dan "Religious Faith") dan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi.Â
Hal inilah yang memperlihatkan bahwa masyarakat Asia Timur memang memiliki tingkat determinasi untuk pencapaian yang kuat, menghasilkan hubungan causal flow antara ekonomi dan kultur (society's belief). Namun mungkin kalian akan bertanya-tanya, di mana Tiongkok selama ini?
Saat ini, Tsai et al. (2016) menunjukkan bahwa Tiongkok masih berada di tahap "lepas landas" pada perekonomian mereka. Bertahun-tahun di bawah rezim komunis menghalangi faktor lain pendorong perekonomian negara-negara tersebut, yakni investasi dari negara asing.Â
Apabila di Jepang pekerja profesional yang mengalami waktu kerja terlama, maka di Tiongkok sebaliknya, yakni lower-status worker yang kebanyakan mengalami overwork, menunjukkan transisi ekonomi yang masih terjadi.
Beberapa tahun belakangan lama rata-rata bekerja telah menurun dengan pemerintah menetapkan waktu reguler bekerja maksimal 40 jam/minggu untuk Jepang dan Korea Selatan.Â
Walaupun begitu, Korea Selatan tetap merupakan salah satu negara dengan jam kerja terpanjang di antara negara-negara OECD, bahkan bekerja 350 jam lebih lama dari masyarakat Jepang meskipun produktivitasnya telah menurun (Kang, 2020).Â
Namun tidak dapat dipungkiri, para Asian Tiger tampaknya akan terus menunjukkan taringnya. Satu hingga dua dekade ke depan, dapat ditebak siapalah yang akan menjadi perekonomian terbesar dunia menggantikan Amerika Serikat.Â
Tebak negara mana dengan kultur kerja ultra-workaholic (996 work culture) yang disertai pertumbuhan rata-rata perekonomian 10% per tahun? Yap, Tiongkok.Â
      Â
Referensi
Beit-Hallahmi, B. (1980). Achievement motivation and economic growth. Personality and Social Psychology Bulletin, 6(2), 210--215. Â
Granato, J., Inglehart, R., & Leblang, D. (1996). The effect of cultural values on economic development: Theory, hypotheses, and some empirical tests. American Journal of Political Science, 40(3), 607--626.Â
Jeong, H. (2020). Productivity growth and efficiency dynamics of Korean Structural Transformation. Â
Kang, S. (2020). Workaholism in Korea: Prevalence and socio-demographic differences. Frontiers in Psychology, 11.Â
Lin, Y. J., & Wang Stephanie W. (2012). Demystifying the chinese economy. CambridgeUniversity Press. p. 107. ISBN 978-0-521-19180-7
Ono, H. (2018). Why Do the Japanese Work Long Hours? Sociological Perspectives on Long Working Hours in Japan. Japan Labor Issues, 2(5), 35--45.Â
Tsai, M.-C., Nitta, M., Kim, S.-W., & Wang, W. (2016). Working overtime in East Asia:Convergence or divergence? Journal of Contemporary Asia, 46(4), 700--722.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H